Menemukan Titik Temu Polemik Empat Pulau
Oleh. Muhadam labolo
Polemik 4 pulau antara Aceh dan Sumut terus memanas. Konfliknya terasa lebih vertikal. Sepintas, Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek telah ditetapkan menjadi bagian administratif Tapanuli Tengah Provinsi Sumut melalui Kepmendagri No. 050-145/2022 yang diperbaharui kembali lewat Kepmendagri 300.2.2.2138/2025.
Melampaui itu, sejarah penetapan keempat pulau secara historis telah dilakukan sejak era Rudini (1992). Gubernur Ibrahim Hasan dan Raja Inal Siregar sepakat, keempat pulau milik Aceh dengan seluruh konsekuensi seperti hak administratif, pengelolaan dan eksploitasinya.
Malangnya, konsensus 1992 tersebut tak berlanjut, sekalipun terang-benderang tertuang dalam Pasal 246 UU No 11/2006 Tentang Pemerintahan Aceh, serta Putusan Mahkamah Agung No.01.P/HUM/2013. Fakta hukum ini jelas tak hanya mengecewakan Pemerintah Aceh, juga masyarakat Aceh pada umumnya.
Kini, bagaimana menemukan jalan keluarnya. Tentu saja pemerintah harus memperjelas dulu garis demarkasi keempat pulau tersebut berdasarkan tiga alasan di atas. Pemerintah punya kewenangan untuk menetapkan batas antar provinsi sesuai UU 23/2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
Bila pun pemerintah ingin menetapkan keempat pulau tersebut sebagai kawasan khusus, atau semacam kawasan otorita, siapa yang akan menjadi pengelolanya. Apakah akan sama dengan status Kepulauan Seribu dibawah kendali Provinsi DKI Jakarta, atau seperti Badan Otorita Batam dengan Walikota sebagai pengelolanya.
Praktek kawasan khusus semacam itu juga bisa dilaksanakan langsung oleh pemerintah pusat seperti Kawasan Strategis Nasional di sejumlah daerah. Pemerintah menunjuk langsung orangnya. Daerah hanya menjadi penerima dampak dari projek atas nama kawasan strategis nasional seperti kasus IKN dan Pulau Rempang.
Secara teoritik-konseptual, kawasan otorita masuk kategori daerah administratif, bukan daerah otonom. Ciri daerah administratif biasanya tak punya dewan lokal dan kepalanya ditunjuk. Sebaliknya, ciri daerah otonom punya dewan lokal dan kepala daerah yang kedua-duanya dipilih. Daerah otonom sendiri ada dua jenis di Indonesia, yaitu daerah otonom simetrik dan daerah otonom asimetrik.
Daerah administratif ada yang posisinya di bawah pemerintah daerah seperti Jaksel, Jakut, Jakpus, Jaktim, Jakbar, dan Kepulauan Seribu di Provinsi DKI Jakarta. Kewenangannya tergantung UU Pemda. Kategori kedua dibawahi langsung oleh pemerintah pusat seperti Kawasan Otorita Batam, IKN, Kapet dll. Kewenangannya tergantung UU kawasan otorita masing-masing.
Secara yuridis, pengaturan daerah administratif dan daerah otonom didasarkan pada konstitusi pasal 18 ayat (1). Sedangkan pengaturan daerah otonom asimetrik didasarkan pada pasal 18B ayat (1). Namun begitu, perlu diingat bahwa daerah otonom asimetrik yang dimaksud adalah daerah khusus dan istimewa yang sudah ada sebelum republik terbentuk seperti Aceh dan Jogja. Kecuali Jakarta dan Papua yang ditetapkan setelahnya.
Jadi sebenarnya bukan daerah-daerah khusus yang dibentuk kemudian seperti IKN, Otorita Batam, Kapet dll. Itu bukan kategori daerah khusus, tapi daerah administrasi khusus semata yang secara teknis dibawah kendali daerah maupun pusat. Tidak bersifat otonom murni. Otonom itu bila daerah tumbuh dari bawah (bottom up), punya head dan legislative member sendiri sebagaimana daerah otonom pada umumnya.
Pembentukan dan kewenangan kawasan otorita maupun daerah khusus di atur oleh UU, PP, atau Kepres masing-masing. Itulah mengapa UU DKJ, UU Papua, UU Aceh, UU Jogja, UU IKN berbeda-beda (lex specialis). Sedangkan pengaturan daerah otonom di atur melalui UU yang sifatnya umum seperti UU 23/2014 tentang Pemda (lex generalis).
Karena itu, Pemerintah Aceh harus pandai bernegosiasi dengan pemerintah pusat. Tinggal pilih skenario apa yang mungkin dapat diajukan. Pilihan pertama, status keempat pulau itu dijadikan semacam kabupaten administratif. Dikendalikan Provinsi Aceh seperti kasus Kabupaten Kepulauan Seribu di DKI Jakarta. Hanya saja, perlu penduduk dan pemerintah administratif disana.
Jadi Gubernur Aceh sebagai wakil pemerintah pusat tak hanya mengawasi daerah otonom, juga punya kabupaten administratif. Gubernur dapat mengembangkan dan mengendalikan pemerintahan dan pembangunan. Gubernur dapat mengelola lebih jauh dengan mengundang investor agar tak semata bersandar pada APBD.
Pilihan kedua, tetapkan 4 pulau tersebut sebagai kawasan otorita yang pengelolaannya diintegrasikan ke Bupati Aceh Singkil sebagai Kepala Otoritanya. Ini dapat dilihat dalam kasus Kawasan Otorita Batam. Konsekuensinya pemerintah pusat berurusan langsung dengan Bupati Aceh Singkil atau mendelegasikan korbinwasnya kepada Gubernur Aceh.
Sekarang bergantung pada kemampuan Aceh bernegosiasi dengan pemerintah pusat. Tinggal pilih, mana yang lebih menguntungkan dari aspek politik, ekonomi, dan socio-cultural. Pilihan-pilihan tersebut perlu dikaji dan dipertimbangkan dengan matang agar tercapai win-win solution, bukan win-lose.
Persoalan Aceh memang perlu didekati dengan hati-hati, mengingat latar historis yang panjang, dinamika yang fluktuatif, serta sense of belonging atas konsensus masa lampau. Kita boleh paham sejarah bangsa lain, tapi kita juga harus bijak untuk memahami sejarah bangsa sendiri.
Dalam kasus sepele, Pangeran Diponegoro menyatakan perang hanya untuk urusan pergeseran patok sekian meter yang ditancap Belanda melampaui batas makam leluhurnya. Itu hanya makam, apalagi 4 pulau yang relatif luas dan katanya mengandung kekayaan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Aceh khususnya, dan Indonesia pada umumnya.
Komentar
Posting Komentar