Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Oleh. Muhadam Labolo

Focus Dialektika Ilmu Pemerintahan

Pada setiap generasi, perdebatan tentang eksistensi ilmu pemerintahan selalu saja berkutat pada persoalan syarat ilmu pengetahuan yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologinya. Pertanyaan di seputar ontologi misalnya apakah pemerintah dan pemerintahan itu, mengapa pemerintah dibutuhkan manusia, serta dapatkah manusia hidup tanpa pemerintahan. Pada tingkat selanjutnya perdebatan meningkat ketika para pembelajar pemerintahan mencoba untuk merumuskan dan menyepakati mana objek materi dan objek formalnya.  Dari sisi epistemologi berkaitan dengan adakah konsep-konsep pemerintahan itu, dengan cara apa dan bagaimana ia dipelajari. Dua masalah pokok di sini muncul yaitu bagaimanakah metodologi ilmu dan metodologi penelitiannya. 

Sementara di tingkat aksiologinya berkenaan dengan persoalan bagaimanakah pemerintahan itu sebaiknya di desain dan dipraktikkan (diajarkan) agar sesuai kebutuhan manusia sehingga mereka dapat mencapai kesejahteraan dalam kehidupan sehari-hari. Pada aspek ilmunya tentu berkaitan dengan metodologi pengajarannya baik didaktik maupun metodiknya. Tiga persoalan mendasar itu selalu saja menjadi topik perdebatan para pembelajar pemerintahan yang sering menanjak tajam di tensi tertentu atau bahkan tenggelam di kedalaman ilmu lain yang tetap menganggap ilmu pemerintahan hanyalah satu program studi sekaligus teknik yang khas dalam mengelola kekuasaan (terapan). 

Ada baiknya kita coba memahami tiga persoalan di atas dengan merujuk pada makalah utama, Problematika Perkembangan Ilmu Pemerintahan di Indonesia (Prof. Muchlis Hamdi, MPA, Ph.D), Perkembangan Ilmu Pemerintahan di Indonesia antara Eropa Kontinental dan Anglo-Saxon/Pilihan Terapan dan Sains di IPDN (Prof. Purwo Santoso, MA., Ph.D), Perkembangan Ilmu Pemerintahan Kontemporer di Indonesia (Prof. Dr. Utang Suwaryo, MA), Sejarah Perkembangan Teori dan Terapan Ilmu Pemerintahan di Indonesia (Prof. Dr. Tjahya Supriatna, SU), Muscle Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia dari Hulu sampai Hilir (Prof. Dr. Sadu Wasistiono, MS), Memosisikan Mahakarya Kybernologi sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia (Dr. Muhadam Labolo), serta Posisi IPDN Dalam Pengembangan Ilmu Pemerintahan, Antara Keilmuan dan Terapan (Dr. Halilul Khairi).

Eksistensi Pemerintahan sebagai Alasan Ontologik

         Secara historis tak ada catatan paling presisi terhadap kehadiran pemerintahan di atas permukaan bumi ini. Menurut Suwaryo (2020), pemerintahan sebagai fenomena konkrit telah menyatu dan berdampingan dengan kehidupan manusia sejak ribuan tahun ke belakang. Melalui kitab suci, pemerintahan diyakini hadir sejak di alam Surgawi hingga terciptanya dunia ini.  Ketika Taman Eden dikreasi, relasi antara Tuhan sebagai yang memerintah dengan manusia, malaikat dan iblis sebagai yang diperintah telah berlangsung dengan sendirinya (mahluknya). Gambaran tersebut membawa kita ke dalam refleksi dunia nyata di mana manusia pada dasarnya adalah kumpulan mahluk yang diperintah oleh sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Kuasa. Relasi ini telah mengilhami satu model pemerintahan klasik, teokrasi. 

Dalam model di atas, seseorang dengan seluruh genetiknya ditasbihkan Tuhan sebagai representasinya untuk melakukan tugas-tugas pemerintahan.  Karena yang memerintah dianggap sebagai wakil Tuhan, maka cara menyelenggarakannya (sistem politik dan pemerintahannya) lazim bersifat absolut-monarchi. Hubungannya cenderung formal dan sentralistik. Setiap sanggahan maupun kritik kepada penguasa identik dengan mengingkari firman Tuhan.  Sabda raja adalah pandito ratu yang mesti dilaksanakan, bukan didiskusikan apalagi sampai ditentang. Inilah paham kedaulatan di tangan Tuhan yang dipercaya selama ribuan tahun hingga tersisa sedikit seperti pemerintahan di Vatikan, Roma. Jika dikaji lebih jauh model teokrasi secara teoritik hampir mirip dengan gagasan Thomas Hobbes (1651) sekalipun ia sendiri tak mempersoalkan model pemerintahan seperti apa yang paling tepat diterapkan.  

Baginya, tidak ada cara paling efektif untuk mengendalikan sifat alami manusia yang soliter, kejam, keji dan selfisis kecuali menghadirkan satu sosok mahluk raksasa (leviathan) untuk menciptakan keteraturan sosial dengan menciptakan rasa takut. Tanpa itu, mereka yang lemah sekalipun dapat bersatu untuk melawan kelompok lain dengan alasan yang sama (survival of the fittest). Situasi ini dalam kondisi ekstrem dapat mendorong terciptanya gejala homo homini lupus maupun bellum omnium contra omnes. Dalam keadaan demikian diperlukan seseorang atau sekelompok orang yang mampu menyelamatkan manusia dari serangan brutal sesamanya atau ancaman dari kelompok lain. 

Gagasan Hobbes telah mendorong terbentuknya pemerintahan absolutis, totaliter dan fasis dengan mengandalkan polisi sebagai penjaga keamanan dan militer sebagai satuan penjaga serangan dari luar negara. Inilah negara penjaga malam (maach-state). Sekalipun demikian gagasan Hobbes dianggap lebih optimistik, logis dan rasional dalam menghadirkan pemerintahan dengan model apapun yang dimungkinkan untuk melindungi masyarakat dari situasi yang mencekam dan tak beraturan itu. Bahkan dengan alasan apapun jauh lebih baik pemerintah hadir dengan sifatnya yang paling kejam dibanding tidak ada  pemerintah sama sekali. Sifat kejam pemerintah pada akhirnya dapat ditolerir sebagai kejahatan yang diperlukan pada situasi dan waktu tertentu. Alasannya, tindakan pemerintah setidak-tidaknya dapat melindungi sedikit banyak masyarakat daripada tidak ada satupun yang mampu memastikan keselamatan semua orang.

Pandangan Hobbes yang dilatarbelakangi oleh ketakutan luar biasa akibat kekacauan dilingkungannya dalam perkembangannya mendapat kritik dan penyempurnaan oleh John Locke, JJ Roasseau dan Imanual Kant. Guna menghindari totalitarianisme pemerintah dalam berbagai model sistem politik dan pemerintahan yang dibentuk sebagai konsekuensi logis atas gagasan Hobbes, sebagian hak-hak warga negara yang bersifat prinsipil dan pemberian Tuhan tidaklah mungkin diserahkan begitu saja kepada pemerintah. Hak hidup, hak berdoa kepada penciptanya, hak berbicara, hak berkumpul dan berserikat adalah sedikit contoh yang tak bisa diserahkan begitu saja kepada pemerintah. Hak-hak demikian cukup diakui, dihormati, difasilitasi dan dipenuhi oleh pemerintah, setidaknya pada tingkat paling minimal (Ndraha, 2002).  

Selain itu tidak ada satupun pemerintah yang boleh mengambil hak-hak tersebut tanpa alasan yang dimungkinkan.  Dalam keterikatan dengan pemerintah, sepanjang pemerintah mampu memenuhi seluruh kewajibannya, manusia dapat terus bergabung di dalamnya. Tanpa jaminan itu setiap manusia dapat menentukan kapan seseorang mesti berhenti untuk berada dalam sistem pemerintahan atau bergabung dengan pemerintahan lain. Pemikiran ini telah mendorong gagasan tentang konsep trias politica yang berusaha membatasi penumpukan kekuasaan pada satu tangan. 

Pengurangan kekuasaan tiranik yang melekat pada seseorang (monarchi) hingga sekelompok orang (oligarkhi) telah mendorong diferensiasi kekuasaan melalui pembagian kekuasaan (separation of power) maupun pembagian kekuasaan (distribution of power) pada tiga cabang utama kekuasaan yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif.  Dalam masa selanjutnya gagasan tersebut berkembang seiring dengan bergesernya orientasi dari negara penjaga malam ke negara kesejahteraan (welfare-state).

Pandangan optimistik Hobbes tentang urgensi pemerintahan sebagai satu kebutuhan bukanlah tanpa resistensi. Gagasan William Godwin (1793) lewat paham anarchisme memperlihatkan hal sebaliknya, pemerintah sesungguhnya bukanlah institusi yang paling diperlukan. Sekalipun latar sosial yang dikemukakan Hobbes adalah kecenderungan yang mencekam penuh ketidakteraturan namun Godwin menganggap bahwa pada akhirnya dengan kesadaran terus-menerus dari setiap individu, konflik yang terjadi tak akan berlangsung lama sebagaimana juga perdamaian yang bersifat relatif. Manusia dapat sempurna dengan melakukan perbaikan terus-menerus. 

Dengan menyadari bahwa kepentingan umum lebih utama dari kepentingan pribadi mereka akan terus berdiskusi secara rasional menuju kesempurnaan. Setiap individu akan mengorganisir diri dengan alasan bahwa pada dasarnya tidak ada satupun manusia yang menyukai kekerasan, kekejaman, konflik dan pertumpahan darah berlangsung selama-lamanya.  Bila setiap individu telah mampu mengatur dirinya sendiri maka kehadiran pemerintahan tak terlalu diperlukan.  

Ide Godwin tampak sejalan dengan Karl Marx (1848) yang menganggap negara pada dasarnya dikendalikan oleh sekelompok kelas yang memerintah dan karenanya menjadi sumber penindas bagi kepentingan kelas yang lain (proletariat) sehingga peranannya dapat membahayakan. Pandangan pesimistik Godwin atas relativitas pemerintah menunjukkan bahwa eksistensi pemerintah mungkin bukan satu-satunya institusi yang dibutuhkan sekalipun kita akan sedikit kesulitan ketika mengonfirmasi kembali entitas seperti apa yang akan menggantikan peran pemerintah di tengah keraguan kita terhadap konsistensi atas tanggungjawab setiap individu dalam masyarakat. Kebimbangan ini setidaknya dapat dipinggirkan mengingat tesis James Madison (1788) bahwa andainya semua manusia adalah malaikat maka kemungkinan kita tak membutuhkan kehadiran pemerintah.

Dialektika di atas setidaknya cukup walau belum lengkap untuk mewakili pandangan ontologik politik pemerintahan sebagaimana arus utama pemikiran Ryaas Rasyid (1999) dan kajian studi ilmu pemerintahan di berbagai perguruan tinggi sejak perkembangannya pada level akademik di akhir abad 20. Tentu saja kurang lengkap kiranya jika perspektif di atas tidak kita luaskan pada pandangan lain khususnya basis sosial dan ekonominya, sebab manusia tidak saja merupakan zoon politicon, juga homo socius dan homo economicus.  Kedua bagian ini akan menyempurnakan pandangan politik yang kemudian membentuk kerangka pikir pengembangan nilai sebagaimana dikonstruksi oleh Taliziduhu Ndraha (2002).  Tentu saja ada banyak pandangan dalam konteks ini, namun dengan pertimbangan tertentu untuk basis sosialnya kita dapat pilih gagasan Mc Iver dalam bukunya The Web of Government (1947), sedangkan basis ekonominya dapat dilihat dari pikiran Adam Smith dalam The Wealth of Nation (1776). 

Ide Iver dalam kaitan ini bahwa fenomena pemerintahan terbentuk sebagai kebutuhan dari setiap individu sebagaimana ilustrasi perangkap jaring laba-laba. Setiap individu selalu berhubungan dan karenanya membutuhkan orang lain untuk mencapai tujuan kelompok dari yang paling tradisional (keluarga) hingga yang paling kompleks (negara). Tanpa perikatan antara individu dalam kelompok sulit mencapai tujuan besar yang hendak diraih. Setiap individu memiliki potensi namun tak akan berarti apa-apa jika tak berada dalam satu kelompok yang kuat.  Dalam kelompok besar sebagai akumulasi dari kelompok-kelompok kecil, manusia dapat meraih apapun yang mereka inginkan. Kemampuan mengorganisir kelompok oleh beberapa orang yang memiliki kemampuan lebih (khusus) dapat melahirkan kepercayaan dalam membentuk pemerintahan.  Pandangan Iver telah meyakinkan kita bahwa naluri setiap individu untuk hidup berkelompok adalah alamiah sekaligus mendudukkan keluarga sebagai basis utama dan akar bagi pertumbuhan dan perkembangan pemerintahan ke arah negara modern. 

Dari perspektif ekonomi, gagasan Smith sekalipun terkesan kontradiktif dalam melihat peran dan fungsi negara, namun Smith setuju bahwa eksistensi pemerintah dibutuhkan dalam kondisi tertentu guna mengintervensi pasar sepanjang dengan alasan menciptakan stabilitas bagi kemakmuran dan keadilan sosial. Dalam keadaan normal intervensi pemerintah tak diperlukan karena pasar dapat mereleksasi dirinya secara alamiah (laissez faire).  Apapun itu, bahkan sekalipun pandangan Locke (1632-1704) kita anggap lebih memadai sebagai filsuf ekonomi, Smith pada prinsipnya setuju bahwa tangan pemerintah sebagai tangan Tuhan (invisible hand) tetap dibutuhkan manakala terjadi ketidakteraturan yang dapat mendistorsi kepentingan rakyat, termasuk kepentingan ekonomi dalam hal ini.

Dari berbagai pandangan politik, sosial dan ekonomi di atas baik yang bersifat optimistik maupun pesimistik terhadap perlunya kehadiran pemerintahan pada akhirnya telah menarik minat kita untuk mempelajari lebih jauh tentang perilaku, organisasi, proses, bentuk, tipe dan sistem pemerintahan yang dapat didekati baik sebagai ilmu pengetahuan maupun praktek dinamis dari unsur-unsur yang membentuk pemerintahan. Inilah alasan ontologis-filsafat mengapa kita membutuhkan dan mempelajari pemerintahan pada tingkat selanjutnya.  Untuk selanjutnya kita coba menguraikan objek materil dan formal ilmu pemerintahan dari sisi epistemologinya.

Menemukan Objek Materil dan Formal dari Sisi Epistemologi

Pemerintah dan pemerintahan pada dasarnya dapat dimaknai dari berbagai perspektif. Sedemikian banyak pemaknaan terhadap pemerintah dan pemerintahan itu ada baiknya kita pilihkan satu pemaknaan yang lebih umum dan sering digunakan oleh para ahli ilmu pemerintahan. Agar mencakup hal yang lebih luas selanjutnya akan lebih banyak digunakan istilah pemerintahan yang dipandang meliputi pula istilah pemerintah di dalamnya. Bila objek materilnya negara, secara konkrit yang menjadi pusat perhatian utamanya adalah pemerintahan (luas dan sempit). Pertanyaan lebih jauh adalah di dalam unsur pemerintahan itu apakah yang akan menjadi titik perhatian kita, apakah subjeknya, organisasinya, prosesnya, ataukah sistemnya (Finer, 1964). Tentu saja persoalan ini tak dapat disempitkan begitu saja, karena ketika kita memfokuskan pada subyek pemerintahan maka pembicaraan pemerintahan akan terkait dengan perilaku pelaku pemerintahan, yaitu pemimpin dan fenomena kepemimpinannya. 

Kepemimpinan merupakan fenomena alamiah yang muncul bersamaan dengan eksistensi umat manusia. Artinya dimanapun ada pemerintah di sanalah pemimpin muncul. Disini peran ilmu sosiologi penting dalam menjelaskan sebab, tipe, model, sifat, karakteristik hingga gaya kepemimpinan dalam pemerintahan. Ilmunya dibatasi pada sosiologi pemerintahan dan pada obyek kepemimpinan pemerintahan. Berkaitan dengan organisasi, pusat perhatian utamanya adalah bagaimana bekerjanya organisasi pemerintahan, termasuk bagaimana implikasi atas tindakan-tindakan yang dikeluarkan oleh institusi pemerintahan. Di sini peran ilmu manajemen dan hukum yang dibatasi pada aspek manajemen pemerintahan dengan keseluruhan fungsi dan unsur-unsur yang mengikutinya seperti perencanaan, organisasi, pelaksanaan, dan pengawasannya. 

Pada aspek hukum dibatasi pula pada hukum pemerintahan. Bila titik perhatian kita berada pada proses pemerintahan itu sendiri, maka hal mana berkaitan dengan relasi antara mereka yang melayani dan yang dilayani (administrasi), mereka yang memerintah dan yang diperintah (pemerintahan), produsen dan konsumen (ekonomi), yang menindak dan yang di tindak (hukum), atau antara penguasa dan mereka yang dikuasai (politik). Konteks ini setidaknya melahirkan peran ilmu administrasi, ekonomi, hukum dan politik. Terkait sistem, yang menjadi fokus perhatian kita adalah sistem pemerintahan seperti apakah yang ideal diterapkan pada satu masyarakat.  Hal ini tentu berkenaan dengan peran ilmu politik dan hukum.

Melihat cakupan dan fokus pemerintahan yang cukup luas itu maka posisi pemerintahan sebagai salah satu unsur negara akan sangat bergantung pada konteks apa pemerintahan itu dimaknai, apakah subyeknya, organisasinya, prosesnya, ataukah sistemnya. Demikian pula dari titik manakah cara pandang kita saat melihat setiap obyek dalam cakupan dan fokus pemerintahan itu. Cara pandang inilah yang kita sebut objek formalnya, sementara objek pemerintahan itu sendiri kita sebut sebagai objek materilnya. Keempat hal itu pada akhirnya bergerak sepanjang berkaitan dengan wewenang dan pelayanan. 

Bila objek materil pemerintahan itu telah kita pahami dalam empat unsur utama di atas (subjek, organisasi, proses dan sistem), maka objek formalnya akan sangat bergantung pada posisi atau lokasi di mana kita melihat objek materilnya, instrument apa yang kita gunakan, kapan kita melihatnya, serta faktor apakah yang mempengaruhi cara kita melihat obyek materil pemerintahan itu. Guna melihat pemerintahan itu kita tak mungkin hanya terpaku pada salah satu objek materil di atas, dapat saja kita bersentuhan dengan persoalan perilaku kepemimpinan pemerintahan, bagaimana bekerjanya organisasi pemerintahan, bagaimana proses atau hubungan pemerintahan itu terjadi, serta sistem pemerintahan seperti apakah yang adaptif diterapkan pada suatu masyarakat. Namun begitu, kepemimpinan, organisasi, proses, maupun sistem dapat berjalan sejauh pemerintah memiliki kewenangan untuk melaksanakan pelayanan. Inilah objek materil sesungguhnya.

Sejauh ini dan pada umumnya unsur penting yang dilihat dari pemerintahan itu adalah prosesnya. Proses berkaitan dengan hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah (hukum), hubungan antara yang melayani dan yang dilayani (administrasi), yang menguasai dan yang dikuasai (politik), atau hubungan antara produsen dan konsumen (ekonomi). Pilihan atas proses mengarahkan penglihatan kita pada aspek-aspek lain seperti subyek, organisasi dan sistem pemerintahan yang tercakup di dalamnya. Menurut Ndraha (2002), proses atau hubungan pemerintahan itu berkaitan dengan relasi antara yang memerintah dan yang diperintah terkait tata kelola kekuasaan dan pelayanan baik jasa publik maupun layanan civil. Tak jauh dengan Wasistiono (2020), relasi antara pemerintah dan mereka yang diperintah terkait penggunaan kewenangan serta pelayanan.

Pandangan Ndraha dengan mengaitkan konsep kekuasaan pada relasi kedua kutub di atas tampak lebih luas selain aspek ekonomi dan sosial yang kemudian menjadi kerangka pikir pengembangan nilai ilmu pemerintahan paradigma baru (kybernologi). Ndraha menggambarkan hal itu lewat diagram sederhana sebagai satu hubungan yang kuat dan saling bergantung antara subkultur kekuasaan (SKK), subkultur ekonomi (SKE), dan subkultur sosial (SKS). Diagram hubungan antar subkultur menunjukkan nilai pemerintahan menjadi lebih luas dan kompleks. Luas karena cakupannya berkaitan dengan alasan kehadiran pemerintahan sejak bernama mahluk Tuhan hingga berakhir pada realitas manusia sebagai warga negara dari sistem sosial tertinggi. Kompleks, karena di dalam realitasnya pemerintahan itu berhubungan dengan semua urusan manusia dari lahir sampai mati yang menjadi tanggungjawabnya termasuk aktivitas organisasi tertingginya, negara. Konteks ini telah menempatkan posisi pemerintahan tidak saja sebagaimana kerangka pikir di atas, juga pada level tertinggi dari ontologi pemerintahan (kybernologi).

Dalam pada itu, pandangan Wasistiono melihat hubungan pemerintahan dalam cakupan yang lebih sempit, yaitu soal tata kelola kewenangan dan pelayanan masyarakat. Tata kelola kewenangan berkaitan dengan aspek kekuasaan yang bersifat formal (authority), atau dapat diartikan sebagai konsep kekuasaan yang pada sisi praktikal di sebut dengan tugas pokok dan fungsi pejabatnya, atau dalam istilah lain di sebut urusan pada institusinya. Dalam perspektif hukum, wewenang melekat pada person (pejabatnya), sedangkan kewenangan melekat pada institusi. Keduanya dapat digunakan berdasarkan batasan waktu, teritorial, dan cakupan pelayanan. Dalam hal penggunaan wewenang tak dapat melampaui, mencampur-adukkan, membiarkan, termasuk bersikap sewenang-wenang. 

Jika boleh disederhanakan hal ini berkaitan dengan bagaimana wewenang atau tugas dan fungsi yang melekat pada setiap pelaku pemerintahan (subjek) dapat digunakan, termasuk bagaimana kewenangan atau urusan yang melekat pada institusi itu dapat dijalankan sesuai aturan untuk mencapai tujuan. Pada aspek pelayanan berkaitan dengan bagaimana pelayanan itu dapat dilaksanakan melalui prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (efisien dan efektif). Pandangan ini setidaknya lebih mempersempit relasi pemerintahan dan memaksa kita pada peran ilmu hukum dan administrasi pemerintahan. Kedua pandangan di atas tentu saja dapat dikanalisasi dengan menempatkan gagasan Ndraha pada kajian ilmu pemerintahan yang bersifat akademik. Sementara pandangan Wasistiono dapat menjadi bahan pengembangan ilmu pemerintahan terapan di tingkat vokasi, profesi, dan pasca sarjana terapan pemerintahan.

Pada aras epistemologi ilmu pengetahuan, upaya menemu-kenali obyek baik sepintas maupun sepanjang masa lazim dilakukan lewat metodologi ilmu dan metodologi penelitian. Titik point yang pertama berkaitan dengan upaya memahami materi (objek materi) lewat kacamata formal (objek formal). Obyek materi boleh sama sebagaimana kita memandang negara sebagai kumpulan padat atas unsur pemerintah, rakyat, wilayah dan kedaulatan (Hamdi, 2020). Semakin lengkap konsep yang digunakan, semakin mandiri dan jelas faktor pembeda suatu ilmu dihadapan ilmu lain. Bagi ilmu pengetahuan yang masih belia seperti ilmu pemerintahan, diakui konsep-konsep tertentu mesti dipinjam-pakai dari ilmu pengetahuan lain lewat transfusi, pencangkokan dan okulasi interdisiplin, antardisiplin hingga multidisiplin. 

Dalam masa tertentu, hasil hybridized disciplin tersebut melahirkan disiplin baru dalam rumpun yang sama. Kybernologi misalnya, harus diakui adalah disiplin baru yang dibangun di atas paradigma subkultur kekuasaan, ekonomi dan sosial dalam taksonomi rumpun ilmu sosial. Walau bila dirunut secara historiografi termasuk ilmu tua yang mengalami normal science pasca turbulensi reformasi. Sebagaimana ilmu pengetahuan lain, konsep-konsep Ilmu pemerintahan dapat berasal dari rumpun ilmu-ilmu sosial, ilmu humaniora maupun ilmu eksakta. Dalam upaya memandirikan ilmu pemerintahan tentu saja diperlukan berbagai cara (metodologi) agar konsep-konsep pemerintahan dapat lebih mudah dipahami baik sebagai di tingkat akademik, maupun di level terapan pemerintahan (appliyed)

Kegagalan para pembelajar memahami metodogi ilmu pemerintahan mengakibatkan kaburnya konsep-konsep pemerintahan yang dianalisis melalui kajian literatur.  Kebuntuan ini membuat pengaji ilmu pemerintahan terjebak pada kubangan kajian asal-usul ilmu pemerintahan, bukan merujuk pada konsep atau teori yang telah diadaptasi oleh ilmu pemerintahan. Setidaknya hasil transfusi, pencangkokan, okulasi, asimilasi, adaptasi, bahkan hibridisasi dari spesies lain pada rumpun ilmu sosial. Kenyataan ini menjadikan pembelajar ilmu pemerintahan di level doktoral khususnya selain gagal paham atas konsep-konsep hybrida ilmu pemerintahan, juga gagal mengontribusikan hasil risetnya guna memperkuat body of knowledge ilmu pemerintahan. 

Mirisnya lagi bila pembimbing dan yang dibimbing sama-sama berada dalam labirin gelap Jendela Johari, kemungkinan kita sedang menuju kesesatan yang nyata. Di dalam jalan panjang memahami ilmu pemerintahan itu, Taliziduhu Ndraha telah menuntun kita lewat bukunya, Metodologi Ilmu Pemerintahan (2010) dan Metodologi Pemerintahan Indonesia (1983). Buku pertama bersifat konseptual teoritik, yang kedua lebih pada upaya mendekatkan kita dalam memahami pemerintahan Indonesia secara konseptual-praktikal. 

Guna melahirkan konsep-konsep baru dalam ranah ilmu pemerintahan kita membutuhkan metodologi penelitian. Produk penting dari hasil penelitian itu adalah apa yang kita istilahkan invention dan novelty. Invention diharapkan mampu melahirkan konsep baru yang akan digunakan secara mandiri sekaligus pembeda bagi ilmu pemerintahan dihadapan ilmu pengetahuan lain. Demikian pula novelty, sebuah produk hasil modifikasi atau hibridisasi yang dapat memperkuat disiplin ilmu pemerintahan dalam performa body of knowledge-nya. Karena itu, menjadi penting bagi pembelajar ilmu pemerintahan untuk memahami metodologi penelitian agar output yang dicapai tidak sekedar memaksakan hibridisasi dengan mencantolkan nama peneliti dalam akronim model-konsep-teori sebagai novelty. Hal ini sama halnya dengan pemerkosaan telanjang terhadap konsep maupun teori baku dalam ilmu-ilmu sosial.

Pilihan metodologi penelitian dalam ilmu sosial (termasuk ilmu pemerintahan) dapat menggunakan pendekatan kuantitatif, kualitatif atau mixed method (Bungin, 2019). Pilihan pertama bila populasinya bersifat meluas, cenderung homogen dan karena itu dilakukan pengambilan sampel untuk disimpulkan lewat induksi. Inilah generalisasi. Kegunaannya untuk melihat trend yang sedang berlangsung, sifatnya relatif tergantung ruang dan waktu. Dewasa ini perilaku calon pemimpin dan basis konstituen dapat di ukur pada skala tertentu lewat survei quick qount.  Metode penelitian ini sifatnya mengukur, sumber pemikirnya Aristoteles, berkembang di Inggris dan Perancis, aliran filsafatnya behavioralisme, empirisme, naturalisme, dan saintisisme.

Pemikiran positivistik ini dikembangkan oleh Auguste Comte untuk melihat realitas sesaat sehingga dapat dilakukan intervensi.  Sebaliknya, pilihan kedua bila obyeknya spesifik, khas, heterogen, dan kasuistik. Hasil simpulnya tanpa generalisasi. Penelitian dengan metode ini berusaha untuk mencapai kepuasaan (satisfaction), keberartian (meaningful), kedalaman (interdepth), dan keutuhan obyek (holistic). Metode penelitian kualitatif yang berbasis pada cara pikir Plato merupakan antitesis dari cara pikir posivistik yang dikembangkan Hegel di Jerman. Ilmu pemerintahan perlu menggunakan metode kualitatif dengan sejumlah alasan. Satu diantaranya agar kita sebagai pemerintah benar-benar mampu menangkap dan merasakan langsung apa yang menjadi kemauan masyarakat, bukan sekedar laporan hasil sampling. Selain itu model penelitian yang mesti dikembangkan pada level terapan adalah evidance base dengan realitas empirik sebagai kasus utama (Purwo Santoso, 2020). 

Sementara bila kita ingin mengembangkan sains akademiknya maka penelitian dasar (grounded research) menjadi relevan untuk menemukan dan memperkaya teori pemerintahan sebagaimana saran Utang Suwaryo (2020).  Perlu diketahui bahwa konsep-konsep yang dipinjam pakai antar bidang ilmu seperti makhluk, manusia, individu, rakyat, penduduk, masyarakat, bangsa dan negara tidaklah menjadi penanda yang ketat dewasa ini (borderline). Akhirnya, pilihan terhadap salah satu metode atau campuran keduanya sangat bergantung pada tujuan peneliti terhadap obyek, apa yang ingin dicapai, serta bagaimana ruang-lingkupnya, bukan berdasarkan batas-batas administrasi pemerintahan seperti strata doktor di pusat pemerintahan, magister di provinsi, sarjana di kabupaten/kota, diploma di kecamatan dan desa.

Salah satu pertanyaan penting yang sering diajukan adalah apakah judul penelitian para pembelajar telah mendarat dalam bidang kajian pemerintahan? Pertanyaan ini sesungguhnya bertalian dengan upaya membatasi cakupan yang menjadi fokus perhatian ilmu pemerintahan. Bila fokus materil dalam pemerintahan itu berkaitan secara teknis dengan subjek, organisasi, proses dan sistem, maka yang penting diingat bahwa ketika kita memfokuskan pilihan pada subkajian subjek (pelaku pemerintahan), semestinya dengan serta-merta dapat dikonstruksi hubungan antara pelaku pemerintahan misalnya kepala daerah dengan masyarakatnya (yang memerintah dengan yang diperintah). Bila kita memilih subkajian dalam hal ini adalah organisasi pemerintahan, sejogjanya terhubung dengan masyarakat atau organisasi masyarakat itu sendiri. 

Demikian pula bila pilihan kita pada proses dan sistem pemerintahan, selalu saja dikonstruksikan kedalam relasi antara proses pelayanan pemerintah dengan masyarakat, atau bagaimana bekerjanya sistem pemerintahan itu pada masyarakat.  Jadi dalam setiap penelitian yang akan dilakukan selalu saja terdapat dua variabel minimal yang mendeskripsikan relasi antara yang memerintah dan yang diperintah pada obyek materil pemerintahan itu sendiri, yaitu subyek, institusi, proses dan sistemnya. Soal cara pandang (obyek formal) sangat bergantung pada pembelajar masing-masing. 

Bagaimana dengan penelitian deskriptif satu variabel misalnya? Penelitian model ini bukan tak dibolehkan, namun kurang konsisten dengan frame work dan core utama ilmu pemerintahan, yaitu suatu relasi antara yang memerintah dan yang diperintah pada berbagai konteks sehingga memungkinkan posisinya dapat berubah-ubah baik vertikal, horisontal, hirarkhis dan fungsional. Kapan dan dimana posisi mereka yang memerintah dan yang diperintah sekali lagi bergantung konteks hubungan apa yang telah dan sedang dibangun.

Merumuskan Pokok-Pokok Aksiologi Ilmu Pemerintahan

Di atas telah digambarkan secara singkat alasan yang memungkinkan pemerintahan hadir, demikian pula alasan mengapa semestinya pemerintah dibutuhkan bahkan dipelajari baik sebagai sains maupun praktek sehari-hari. Guna memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam tentang fenomena pemerintahan itu dibutuhkan cara untuk mempelajarinya (metodologi ilmu pemerintahan), dan bagaimana cara menangkap realitas pemerintahan agar kita dapat memecahkan masalah baik pada mereka yang memerintah, terlebih lagi terhadap mereka yang diperintah (metodologi penelitian pemerintahan). Pada level aksiologik bagaimana menurunkan keduanya ke dalam bahan ajar (didaktik) termasuk bagaimana metodologi pengajarannya (metodik). Guna merumuskan pokok-pokok didaktiknya pada kurikulum sebaiknya kita kembali pada dua bagian penting sebelumnya yaitu cakupan ontologi dan epistemologi ilmu pemerintahan.  Sedangkan aspek metodiknya akan mengikuti apakah cukup dipelajari lewat pendekatan akademik murni ataukah perlu diikuti dengan pola penerapannya baik langsung atau terpisah. Catatan selanjutnya setidaknya berpijak pada tiga catatan kunci yaitu Prof. Purwo Santoso, Prof. Tjahya Supriatna, dan Dr. Halilul Khairi.

Untuk memahami ontologi ilmu pemerintahan tidak ada jalan lain kecuali dimulai dengan ilmu filsafat. Pendekatan filsafat akan membuka cakrawala pembelajar pemerintahan menjadi lebih luas, utuh dan komprehensif. Dalam kaitan dengan bermulanya pemerintahan oleh Tuhan pada mahluknya suka tidak suka akan memaksa kita untuk mempelajari fenomena umum pemerintahan melalui pengetahuan agama (teologi pemerintahan), etika dan ekologi pemerintahan. Proses evolusi pemerintahan dari titik spiritual hingga berbentuk realitas pemerintahan modern baik perilaku, organisasi, proses dan sistemnya tentu saja menghadirkan kebutuhan kita untuk mempelajari unsur-unsurnya secara lebih mendalam.  

Dalam hubungan itu kita dapat melakukan pendekatan dari berbagai disiplin ilmu seraya mengidentifikasi pengetahuan berdasarkan sains murni dan terapan. Sains murni diperlukan untuk mengisi aspek kognisi selaku kompas, sementara terapan untuk melengkapi pembentukan keahlian dalam menjalankan pemerintahan (psikomotorik) ditambah pembentukan sikap kepemimpinan sehingga dapat dioperasikan secara utuh di lapangan pemerintahan. Sedemikian banyaknya pengetahuan yang mesti dipelajari oleh seorang pembelajar pemerintahan sehingga perlu dibekali dengan ilmu pengetahuan inti, dasar dan penunjang. Pengetahuan inti tentu saja berhubungan dengan kerangka pikir awalnya semisal ilmu politik, ekonomi dan sosial pada basis filsafat dan sains kybernologi.  Pada ranah pratik diperlukan dukungan penuh ilmu politik, administrasi, hukum, dan manajemen.  Pengetahuan dasar berkaitan dengan basis pengetahuan untuk memberi fundamen bagi pengembangan ilmu intinya, misalnya filsafat, agama, dan bahasa. Sedangkan pengetahuan penunjang dibutuhkan untuk melengkapi pengetahun inti agar secara teknis dapat dijalankan dengan baik.

Pengetahuan terhadap subyek dalam pemerintahan tidak hanya berkaitan dengan apa dan mengapa pemerintah serta pemerintahan itu, tetapi berkaitan pula dengan apakah keahlian yang dibutuhkan dalam memerintah di lapangan, termasuk sikap dan perilaku seperti apakah yang dapat diterima dalam masyarakat dalam proses interaksi. Di sini berhubungan dengan ilmu kepemimpinan, manajemen, sosiologi, psikologi dan antropologi baik sains maupun terapan. Contoh lain pengetahuan terhadap organisasi pemerintahan dan proses bekerjanya membutuhkan sekurang-kurangnya ilmu manajemen, administrasi, perkantoran, psikologi, ekologi, kinerja, dan sumber daya. 

Dalam hal proses pemerintahan berkenaan dengan ilmu pengetahuan tentang pelayanan, hak dan kewajiban, sistem politik dan pemerintahan, sistem hukum, prinsip dan dasar tata kelola pemerintahan yang baik, serta ekologi pemerintahan. Pada sistem pemerintahan setidaknya kita membutuhkan ilmu pengetahuan tentang perbandingan dan sistem/politik pemerintahan, kinerja pemerintahan, output, outcome, benefit, dan impact dari bekerjanya sistem pemerintahan.  Semua ilmu pengetahuan tersebut secara didaktif dilengkapi dengan bahan ajar praktik dan praktikum guna menghasilkan tidak saja pengetahuan kognitif juga psikomotorik. Lebih dari itu pembentukan karakter sesuai tujuan instruksional umum dan khusus merupakan upaya guna mewujudkan profile lulusan yang ditetapkan melalui visi dan misi organisasi pembelajaran seperti IPDN (Supriatna, 2020).

Visi pendidikan di IPDN pada dasarnya untuk menghasilkan profile kader pemerintahan yang tidak saja melayani sebagai bagian dari aparatur sipil negara dalam birokrasi, juga ilmuwan dalam bidang pemerintahan. Menurut Joseph sebagaimana di kutip Karnavian (2020), jika kebijakan mengecualikan pengetahuan hanya akan melahirkan peruntungan nasib (gambler), seterusnya pengetahuan tanpa policy action (tindakan), hanya melahirkan pengetahuan semata. Guna mewujudkan hal itu maka pembentukan kader pemerintahan yang khas sesuai kebutuhan Indonesia mesti didesain melalui kurikulum yang tepat. 

Masalahnya kita agak kesulitan untuk membedakan mana kebutuhan akan sarjana pemerintahan dan mana kebutuhan akan sarjana terapan pemerintahan di lapangan birokrasi (Halilul, 2020). Keduanya mencair ketika berhadapan dengan setiap masalah, apalagi ketentuan normatif tak secara tegas menyatakan hal itu. Dalam faktanya birokrasi pemerintahan itu membutuhkan pemikiran dalam bentuk konsep dan narasi argumentatif sebelum diimplementasikan lebih jauh. Apalagi setiap masalah dewasa ini mesti didekati dan diselesaikan melalui berbagai pendekatan disiplin ilmu. Alasan inilah sehingga kita membutuhkan sejumlah program studi baik sains dan terapan melalui program akademik, vokasi, profesi dan pendidikan lanjutan (pasca sarjana dan terapan). 

Pengembangan didaktif lewat berbagai pilihan tersebut membutuhkan metode yang berbeda-beda sesuai tujuan yang diinginkan oleh pemerintah selaku owner dan masyarakat birokrasi selaku pemetik manfaat dari pemerintahan.  Hasil evaluasi pada sejumlah stakeholder alumni maupun non-alumni menunjukkan bahwa kebutuhan akan kader pemerintahan yang bersifat terapan selain memuaskan juga sangat dibutuhkan, namun tidak sedikit yang mengharapkan agar laju kognisi mesti ditingkatkan guna menghadapi globalisasi yang semakin ketat (Agus Harahap, 2019).  

Petunjuk ini lebih jauh dibaca bahwa sekalipun kita tetap memproduk kader pemerintahan yang lebih banyak menerapkan ilmu pemerintahan, tak dapat dipungkiri bahwa kebutuhan akan pemikiran di bidang pemerintahan juga diperlukan guna menjawab tantangan ke depan yang semakin abstrak dan tak terbatas. Di sinilah perlunya program akademik baik di tingkat sarjana, magister maupun doktoral. Pengetahuan di level doktoral lebih dimaksudkan untuk menyiapkan kepemimpinan pemerintahan yang memiliki visi pemerintahan luas sebagaimana kata Nurcholis Madjid (1999), semakin abstrak semakin pemimpin semakin teknis semakin pekerja-birokrat. Jadi metode yang digunakan dalam hal pembentukan insan pemerintahan akademik akan relatif berbeda dengan metode pembentukan kader pemerintahan yang bersifat terapan. Kurikulumnya akan sedikit berbeda sehingga dibutuhkan perbandingan ke berbagai negara yang telah menerapkan hal ini secara baik seperti ENA di Perancis.

Jika simposium pertama ilmu pemerintahan mencoba menemukan jati dirinya, selanjutnya mengembangkan model dan orientasi kepemimpinan bahari, lalu mengalami metamorfosa kearah ilmu pemerintahan berparadigma baru (kybernologi), maka simposium tahun ini ilmu pemerintahan setidaknya mencoba menempatkan kembali posisinya yang khas dari hulu hingga hilir. Di hulu kita dapat memahami kembali perkembangan ilmu pemerintahan kendatipun tak banyak yang dapat diharapkan dalam sejumlah makalah yang bahkan mengalami pergantian judul dipenghujung simposium. Namun setidaknya dapat dikatakan bahwa secara historis ilmu pemerintahan yang berkembang di Eropa Kontinental dan Anglo-Saxon tak banyak mengalami perkembangan signifikan. 

Di Amerika lewat serial The Science of Government mengalami kemandekan hingga 1778. Sementara perkembangan ilmu pemerintahan di Prusia (Jerman) juga mengalami stagnasi. Di negara-negara Anglo-Saxon ilmu pemerintahan tampaknya mengalami peleburan kearah politik, hukum dan administrasi. Sama halnya ilmu hukum, ilmu pemerintahan di Indonesia mendapatkan pengaruh kuat sejak era Romawi ke Jerman, Jerman ke Perancis, Perancis ke Belanda, Belanda ke Indonesia. Di hilir, ilmu pemerintahan mendarat dalam dua kelas yang berbeda, kelas pertama dibawah subordinasi ilmu politik dan diajarkan diberbagai perguruan tinggi umum (fakultas ilmu sosial dan ilmu politik). 

Kelas kedua mendarat secara mandiri sebagai ilmu pemerintahan terapan yang diajarkan di sekolah kedinasan Pamongpraja sejak OSVIA, MOSVIA, KDC, APDN, STPDN dan IPDN. Sementara ilmu pemerintahan sebagai sains diajarkan di Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) sejak tahun 1972.  Dalam masa itu ilmu pemerintahan tidak saja berbasis politik, juga mengalami kemandirian sebagai studi ilmu pemerintahan mandiri lewat kerjasama dengan Universitas Padjadjaran (2002-2012). Harus diakui bahwa pasca kerjasama tersebut ilmu pemerintahan dengan kekhasannya mengalami stagnasi oleh sebab eksternal dan internal. Eksternal, kebijakan pemerintahan melalui Kemenristekdikti tak memberi ruang yang cukup untuk mengembangkan ilmu pemerintahan sebagai sains. Sementara Unpadj dan perguruan tinggi lain kembali kedalam studi pemerintahan berbasis politik, hukum dan administrasi. IPDN sendiri secara internal kembali ke ilmu pemerintahan terapan baik di tingkat diploma, profesi dan pasca sarjana. 

Dua masalah tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi IPDN dalam mengembangkan ilmu pemerintahan bertaraf sains dimasa akan datang. Kedepan diperlukan kerjasama untuk mengembangkan inang kybernologi sekaligus inkubator pengembangan ilmu pemerintahan diberbagai perguruan tinggi selain upaya keras IPDN dalam meningkatkan kualitas tenaga pendidik dibidang ilmu pemerintahan, konversi kitab kybernologi, perubahan orientasi pendidikan pascasarjana yang lebih menekankan mutu dibanding jumlah, serta perlunya reformasi kepengurusan lembaga keilmuan masyarakat seperti Masyarakat Kybernologi Indonesia (MKI).

Referensi: 

Averus, Ahmad & Muhadam Labolo, 2017. Kepamongprajaan di Indonesia, Ghalia, Jakarta

Almond, G.A dan Coleman, J.S, 1960, The Politics of the Developing Countries, Pricenton, NJ

Blakeslee, SV, 1876. Archeology, New York and San Fransisco, Roman Company

Easton, D, 1965. A System Analysis of Political Life, New York

Finer. S.E, 1974. Comparative Government, Hard-mondsworth

Friedman, R. B, 1973. On the Concept of Authority in Political Phylosophy, dalam R.E Flathman (ed) Concept in Social in Political Phylosophy, New York.

Hamdi, Muchlis, 2005. Bunga Rampai Pemerintahan, Yarsif Watampone, Jakarta

Hamdi, Muchlis, 2020. Problematika Perkembangan Ilmu Pemerintahan di Indonesia, Makalah, Jatinangor

Hobbes, Thomas, 1996. Leviathan, Revised Student Edition, Cambridge University Press.

Iver, Mc, 1947. The Web of Government (terj jilid 1 & 2), New York, The Macmillian Company.

Iver, Mc, 1950. The Modern State (terj), RM. Publisher London; Oxford University Press.

Khairi, Halilul, 2020. Posisi IPDN Dalam Pengembangan Ilmu Pemerintahan, Antara Keilmuan dan Terapan, Makalah, Jatinangor.

Kooiman, J, 1993. Modern Governance; New Government-Society Relation, London

Labolo, Muhadam, 2020. Memosisikan Mahakarya Kybernologi sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia, Makalah, Jatinangor

Labolo, Muhadam dkk, 2008. Beberapa Pandangan Dasar Tentang Ilmu Pemerintahan, Bayu Media, Jogjakarta.

----------------------------, 2015. Dialektika Ilmu Pemerintahan, Ghalia Indonesia, Jakarta.

----------------------------, 2018. Memahami Ilmu Pemerintahan, Rajawali Press, Jakarta

Leontine E Visser dkk, 2008. Bakti Pamongpraja Papua di Era Transisi Kekuasaan, Kompas, Jakarta.

Ndraha, Taliziduhu, 2010. Metodologi Ilmu Pemerintahan, SCC, Tangerang

-----------------------, 2002. Kybernologi I & II, SCC, Tangerang.

-----------------------, 1988. Metodologi Pemerintahan Indonesia, Bina Aksara, Jakarta

Oetang, Suwaryo, 2020. Perkembangan Ilmu Pemerintahan Kontemporer di Indonesia, Makalah, Jatinangor

Rasyid, Ryaas, 1999. Makna Pemerintahan, Tinjauan dari Segi Etik. Yarsif Watampone, Jakarta

Roosevelt, Clinton, 1841. Natural Law, New York by Dean Treevet

Santoso, Purwo, 2020. Perkembangan Ilmu Pemerintahan di Indonesia antara Eropa Kontinental dan Anglo-Saxon, Makalah, Jatinangor

Supriatna, Tjahya, 2020. Sejarah Perkembangan Teori dan Terapan Ilmu Pemerintahan di Indonesia, Makalah, Jatinangor

Van der Wal, 2001. Kenang-Kenangan Pangreh Praja Belanda Antara Tahun 1920-1942, Djambatan, Jakarta

Wasistiono, Sadu, 2020. Muscle Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia dari Hulu sampai Hilir, Makalah, Jatinangor

Weber, M, 1978. Economy and Society, 2 Vols,ed. G Roth and C Wittich, Berkeley, CA

Wasistiono, Sadu, 2018. Perkembangan Ilmu Pemerintahan, IPDN Press, Jatinangor.

World Bank, 1992. Governance and Development, Washington, DC

Yunanto, Sutoro Eko, 2020. Ilmu Pemerintahan, Anti Politik, Lupa Pada Hukum, Enggan Pada Administrasi, Jurnal Ilmu Pemerintahan Semesta, Governability, Vol.1, No.1 Juni, Jogjakarta

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian

Memosisikan Mahakarya Kybernologi Sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia[1]