Postingan

Menampilkan postingan dari 2023

Abstraksi dan Teknikalitas Pemimpin

Oleh. Muhadam Labolo Hari-hari menuju bilik suara semakin dekat. Para kandidat capres dan cawapres terus meyakinkan kita dengan ragam metode, baik softly maupun hardly. Dalam cara pertama terbaca lewat dialektika di media sosial sebagai political marketing. Cara kedua terlihat lewat pertengkaran pikiran dalam dialog maupun debat yang difasilitasi negara. Di kelas atas, tekanan pada ikhtiar pemenangan memompa adrenalin. Mereka yang terus berpikir soal masa depan bangsa terbebani secara psikologis oleh kapabilitas kepemimpinan. Sementara kelas bawah yang lebih peduli dengan urusan jangka pendek tak begitu terbebani oleh siapapun pemimpin terpilih. Kelas mereka mayoritas di banding elit yang sering tak diperhitungkan di kotak suara. Kelas elit sejogjanya mencerminkan kehendak kuat kelas bawah. Malangnya, pikiran, perilaku, dan produk elit selalu berkebalikan dengan alit. Pikiran elit tentang substansi gagasan (das sollen), pikiran alit soal teknikalitas gagasan (das sein). Perilaku e

Adik Saya, Firdaus Latuconsina

Oleh. Muhadam Labolo Setahun bertugas di Palopo, saya kedatangan 4 purna 05. 3 asal Bali, 1 dari Maluku, Firdaus Latuconsina. Sepintas Ia bukan orang sembarangan, turunan aristokrat Ambon. Walau begitu Ia baik, kocak, lucu, lugu, sederhana, dan sedikit serampangan. Bagian terakhir itu yang sering buat seniornya gemas, sekaligus menjadi sabar meladeninya. Saya sekosan dengan Firdaus. Dekat kantor kelurahan lama, Batupasi. Ia sendiri menjadi lurah di Rampoang, sebelahan dengan kelurahan saya, Bara. Waktu mau pelantikan, Ia dicari setengah mati bagian pemerintahan, sebab tokoh utama yang mau dilantik oleh walikota justru tak ada di tempat. Pak wali geram, katanya, "cari Firdaus hidup atau mati!" Rupanya Ia sedang dalam perjalanan. Tertidur semalaman, begadang hingga larut. Ia lupa bahwa hari itu pelantikan dirinya jadi lurah. Sewaktu ke tempat pelantikan Ia juga lupa baju PDUB, terpaksa Ia balik lagi. Orang suruhan walikota berselisih waktu ke tempat kosan. Dia pergi lagi, orang

Dialektika Debat Calon Presiden

Oleh. Muhadam Labolo Debat pertama dengan tema politik, hukum, demokrasi, etika dan pemerintahan mendeskripsikan ragam pesan bagi pemilih. Pesan itu menjadi sinyal bagi pemilih untuk menentukan capres terbaik diantara paslon (primus interpares). Andai pemilih punya kesadaran cukup, pesan itu tak hanya dikonsumsi kelompok terdidik yang hanya 6-12%, juga sisa dari 204 juta pemilih kebanyakan. Tentu saja ketiga capres punya titik lebih dan titik kurang. Debat memberi peluang bagi pemilih mengoleksi sebanyak mungkin titik lebih guna mengurangi margin error. Dengan alasan itu pemilih tak hanya menilai kognisi, juga psiko dan afeksi capres sebagai kesatuan integritas. Karenanya, siapapun capres terpilih adalah cerminan dari budaya masyarakatnya. Pemilih rasional kebanyakan menanti kekayaan kognisi lewat lafadz gagasan yang logis dari tiap etape dialektika. Gagasan dimulai dari pertanyaan. Pertanyaan membuahkan jawaban. Jawaban memproduksi gagasan. Jadi gagasan hanya mungkin bila dimulai da

Tangga Seribu di Manglayang

Oleh. Muhadam Labolo Tangga seribu mewakili rasa frustasi praja. Frustasi menghadapi teriakan dari arah jalan raya, tempat menunggu jajaran Polpra, Komando, dan Satgap. Tangga itu banyak, curam, dan beresiko, apalagi malam hari. Tak sedikit yang putus asa bila harus bolak-balik sampai 4 kali ganti atribut, trening, Menwa, PDH, sampe PDUB. Kadang salah kostum, bawah PDH Keki, atas PDUB. Belum lagi lupa kaos kaki, ikat pinggang, hingga emblem. Bila di hitung, tangga dari paving block itu tak lebih dari 300 undakan. Letaknya sebelah utara Menza, tempat madya praja bercokol. Hidupnya antara memeras Muda sambil berperilaku Bunglon bila berhadapan dengan Nindya. Muda bisa berjam-jam diinterogasi. Nindya bisa pula menarik acak satu-dua madya yang lagi apes. Paling tidak sama-sama punya bawahan, dibanding muda yang punya dua atasan sekaligus. Kadang Madya suka bersiul kencang bila ada praja berpasangan jalan sore-sore dekat lapangan bola. Tak taunya itu Nindya, bukan Madya, apalagi Muda. Tren

Analisis Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Daerah, Sebuah Catatan Kaki

Oleh. Muhadam Labolo Eksistensi sebuah lembaga negara pada dasarnya ditentukan oleh seberapa besar kewenangan yang dimiliki. Artinya, kita tidak melihat besarnya suatu lembaga secara institusional, tapi lebih pada seberapa besar kewenangan yang melekat padanya. Hal ini akan menunjukkan kebesaran suatu lembaga semacam DPD, apalagi bila efektif digunakan. Pasca amandemen konstitusi (1999-2022), kita menemukan mahluk DPD sebagai salah satu organ dalam tubuh bikameral MPR. Kita tidak ingin memastikan sebagai sebuah sistem bikameral karena tingginya debat soal eksistensi DPD dalan rumah besar MPR. Hal ini jika dibandingkan dengan praktek sistem bikameral di negara maju seperti Amerika Serikat. Problem penting yang dikandung DPD adalah minimnya kewenangan yang dimiliki di banding DPR sekalipun keduanya berada dalam rumah besar MPR. MPR sendiri sesuai amandemen terakhir memiliki tugas dan wewenang; mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar, menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara, dan me

Pelajaran dari Coldplay

Oleh. Muhadam Labolo Usai konser Coldplay Rabu 15 November 2023 di GBK, penonton sekitar 70 ribuan itu tak hanya menyumbang 1,16 triliun buat event organizer, juga meninggalkan sepenggal catatan penting dalam upaya membangun karakter bangsa, esok dan seterusnya. Karakter itu berkaitan dengan dua nilai utama, yaitu bagaimana menumbuhkan tanggungjawab dan kemandirian di ruang publik. Terlepas pro-kontra musik rock itu di tengah duka Palestina, seorang penonton mengeluhkan betapa rendahnya tanggungjawab ribuan pengagum musisi asal Inggris itu. Masalahnya sepele. Gelang penanda yang dipinjamkan panitia ke setiap penonton untuk menyalakan suasana lewat sinar terang di pergelangan tangan tak banyak kembali. Ia malu ketika panitia membandingkan dengan negara lain. Panitia menyandingkan tingkat pengembalian gelang itu dengan negara lain saat konser Coldplay. Di Copenhagen, angka pengembalian mencapai 96%. Di Tokyo mencapai 97%. Malangnya, angka pengembalian gelang di GBK hanya mencapai 52%.

Warisan Rudini Untuk Pamongpraja

Oleh. Muhadam Labolo Dalam buku Rudini, Jejak Langkah Sang Perwira (222-225), Ia menuliskan asa tentang masa depan pendidikan Pamongpraja. Empat mimpi besar itu pertama, menciptakan aparat yang disiplin. Rudini membayangkan postur aparatur yang selalu berpegang teguh pada rules, tak peduli bagaimanapun situasi yang dihadapi. Tentu saja imaji Rudini akan sosok ideal demikian terbangun oleh pengalaman dirinya sebagai perwira, selain apa yang dihadapinya ketika suatu saat melewati imigrasi sipil di bandara Amerika. Ia pernah dilucuti karena membawa sebilah pisau souvenir pasca studi gabungan perwira angkatan darat di West Point. Pengalaman itu membuat Rudini terkesan. Integritas aparat sipil rupanya dapat di bentuk tanpa memandang siapa, dan dimana. Ia merenung sepanjang penerbangan pulang ke tanah air. Andai aparat sipil di didik khusus semacam itu, mungkin saja pemerintahan akan lebih profesional, disiplin, dan netral. Ketika Rudini diberi kesempatan menjadi Menteri Dalam Negeri (198

Guru dan Kemajuan Jepang

Oleh. Muhadam Labolo Jepang pernah menjajah kita, 3,5 tahun. Walau ringkas, Jepang meninggalkan kita dalam kondisi yang tak lebih baik dari Belanda. Untuk bangkit kita butuh waktu lama. Lebih 78 tahun kita terus membangun, namun hasilnya tak secepat recovery Jepang pasca luluh-lantak oleh bom atom. Jepang hanya butuh dua kali rencana pembangunan jangka panjang, atau kurang dari 40 tahun untuk menyusun kembali puing-puing Nagasaki dan Hiroshima. Dengan tekad kuat pemimpin dan rakyatnya, kehancuran itu  justru menjadi cambuk untuk bangkit. Modalnya sederhana, ilmu pengetahuan. Semua orang tau, di tengah retaknya kota, Kaisar Hirohito ke 124 itu tak mencari tentara. Ia mengais guru dari satu tempat ke tempat lain, mengumpulkan, menghitung, dan memberi arahan pendek pada 45.000 guru, bangun semangat anak-anak Jepang dan beri mereka pengetahuan untuk membangun negara itu. Dengan kepatuhan tinggi, para guru melaksanakan misi pemimpinnya. Tidak siang maupun malam, mereka meletakkan impian tin

Menanti Negarawan

Oleh. Muhadam Labolo Sirkulasi kekuasaan tinggal menghitung hari. Pemilu menjadi media efektif melahirkan kepemimpinan pemerintahan yang paling di percaya. Sekurangnya di percaya untuk lima tahun kedepan. Untuk maksud itu, para pemimpin berangkat dari rel jangka panjang, atau visi dimana pemimpin dapat membawa realitas hari ini ke masa depan yang lebih optimistik. Di atas rel itu perencanaan di tata dari masa ke masa. Tak penting siapa pemimpin yang akan terpilih. Tanggungjawab moralnya menyambung bagian yang selesai sebagai rangkaian gerbong yang tak boleh putus. Untuk semua itu semua calon pemimpin penting memiliki kemampuan melihat masa depan sejauh-jauhnya (visionable). Kemampuan menjangkau masa depan itu untuk memastikan rangkaian gerbong menuju tujuan idealnya, kesejahteraan rakyat, sebagaimana tertera dalam konstitusi. Supaya sampai, ada baiknya seluruh kebijakan berfokus pada rel itu agar tak hanya saling menarik, juga tercipta getaran kebijakan yang saling mendukung (Nugroho,

Belajar Dari Reuni Putri Pasopati

Oleh. Muhadam Labolo Saya diingatkan berkali-kali oleh Regina, Imelda, Siti Fatonah, dan Sukma untuk tidak lupa menyempatkan waktu di acara reuni putri Pasopati. Saya percepat ujian terbuka di Jakarta, menjajal kereta cepat pergi-pulang Halim-Padalarang, ngajar DPRD Sukabumi, dan akhirnya tiba di Hotel De Boekit Hambalang pukul 19.30. Aula kosong, lengang, tanpa peserta. Rupanya peserta sedang persiapan. Saya japri Manguluang Mansur, jawabannya menggairahkan, "pak ketua takut di perkosa ya?" Dengan emotion tersenyum lebar. Saya jawab, "iya!" Karaeng Mansur mengusulkan ikut Subhan Rahman, yang katanya bisa jadi pawang. Rupanya beliau ada rapat. Untung Mas Eko Supriyanto dan Mas Burhan ada di TKP mendampingi istri. Selamat dari perkosaan berjamaah. Pilihan reuni putri kali ini luar biasa. Lokasinya jauh dari kota, butuh waktu 1-2 jam dari Jakarta. Hasrul frustasi, batal. Putri rupanya serius reuni, bukan untuk hal lain. Suasananya sejuk, dingin, indah, lengkap dengan

Prahara Politik Dinasti

Oleh. Muhadam Labolo Ketika rezim pemerintahan daerah di gergaji pada 2014, terbentuklah dua rezim baru selain pemda, yaitu pilkada dan desa. Rezim pilkada di atur lewat UU No.22/2014. Salah satu pasal dalam rezim ini jelas-jelas membatasi meluasnya praktek politik dinasti dalam pemilukada. Pasangan kada dilarang daftar sejauh punya relasi dinasti setingkat ke atas, bawah, dan ke samping.  Malangnya, nasib rezim itu lenyap kurang dari dua bulan sejak SBY mengeluarkan Perpu No.1/2014. Kendati pasal politik dinasti itu sendiri sempat bertahan, namun sebuah keluarga besar di Makassar menguji keajegannya di MK, dan menang. Putusan itu sekaligus menimbulkan efek ne bis in idem bagi perkara yang sama bila ingin dibatasi. Putusan itu segera meramaikan jagad politik dinasti di daerah. Para gubernur, bupati dan walikota tanpa malu-malu menyiapkan anak, menantu, ponakan dan istri maju sebagai pejabat eksekutif dan legislatif. Semua dipersiapkan melanjutkan trah kuasa menurut tradisi turun-temur