Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2023

Menyiapkan Kepemimpinan Pemerintahan

Oleh. Muhadam Labolo Dua kandidat terbaik secara resmi diumumkan partai sebagai calon presiden Indonesia (2024-2029). Publik menunggu sisanya sebagai pelengkap kompetisi. Bisa jadi Anies, Ganjar, Prabowo dan lainnya. Episode terakhir tentu tinggal menanti calon wakil presiden, sekaligus menguntak-atik pasangan agar merepresentasikan kemajemukan identitas, idiologi maupun kultural. Menyiapkan pemimpin bukan perkara gampang. Idealnya disiapkan sejak tumbuh hingga berkembang. Di negara monarchi pemimpin cukup ditunggui brojol dari rahim pendahulunya (was born) . Legitimasinya bersifat tradisional. Di negara non monarchi pemimpin mesti dikembangkan (was created) lewat mekanisme partai politik. Legitimasinya dapat bersifat rasional maupun kharismatik.  Logikanya, semakin banyak partai semakin banyak stok kepemimpinan. Oleh sebab kekuasaan termasuk sumber daya langka, maka semakin ke puncak semakin padat kompetisinya. Berebut posisi kepala desa tentu tak seriuh meraih posisi presiden. Jum

Eksistensi Kebenaran Alternatif

Oleh. Muhadam Labolo Kini, kebenaran faktual seakan menjadi satu-satunya kebenaran akhir. Sains dan modernitas menjadikan kebenaran faktual sebagai penanda relatif. Tanpa fakta, semua gejala yang diyakinkan ke muka kita hanya omong kosong dan fatamorgana. Sesuatu yang tampak dari kejauhan menjanjikan, namun nihil saat di sentuh-genggam. Tanpa fakta semua pernyataan dan dielektika bisa beraneka konsekuensi. Pendek kata, setiap kebenaran di tuntut disertai fakta. Tanpanya bukan kebenaran. Fakta adalah jenis kebenaran penting bagi manusia. Politik tanpa fakta tentu menyesatkan. Pengadilan minus fakta tak lebih dari sandiwara. Sains nirfakta tak ubahnya gosip yang membahayakan. Bahkan media tuna fakta hanyalah projek propaganda  hoax  yang membingungkan jagad raya. Karenanya, sejak lama fakta di percaya sebagai kebenaran sekaligus prestasi modernitas (Hardiman, 2023). Tapi adakah kebenaran di luar kebenaran faktual yang mesti diterima kini dan akan datang? Bila kebenaran faktual menjadi sa

Puasa dan Pemurnian Jiwa

Oleh. Muhadam Labolo Puasa, dalam kontektualisasi religi mengandung aneka makna. Satu diantaranya pemurnian jiwa (nafs). Jiwa diasumsikan tercemar dosa saban tahun. Entah itu dosa individu maupun kolektif yang berefek-tular pada lingkungan. Lingkungan terpolusi itu bisa jadi domestik, komunitas, maupun organisasi. Sumbernya bisa macam-macam, salah satunya kecenderungan untuk menilai (Subhi, 2018). Kecenderungan menilai memang sulit diatasi. Apalagi berhadapan dengan gawai. Hidup kita seakan dikendalikan oleh luapan informasi hingga terasa sunyi dalam keramaian, namun ramai dalam kesunyian. Isi kepala kita dijejali berbagai isu. Sedemikian melimpah hingga kesulitan terbesarnya  menapis mana sampah dan mana nutrisi, mana kulit dan mana isi, mana kebenaran dan mana kepalsuan (hoax).  Terkadang semua di telan bulat-bulat. Refleks kita ingin menilai dalam bentuk tanggapan. Menilai adalah kerja pikiran, dan karenanya penilaian berarti produk pikiran. Agar telaga kesadaran kita jernih kemba