Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2022

Kesadaran Politisi Terhadap Birokrasi

Oleh. Muhadam Labolo Statmen Politisi Demokrat Achsanul Qosasih dalam twitter tanggal 29 September 2022 soal competitiveness dalam dunia birokrasi yang dihadapkan dengan politisi patut di apresiasi setinggi-tingginya. Menurut saya, itu bentuk kesadaran politisi atas seluk beluk birokrasi yang selama ini dianggap underdog. Lima point itu penting direnungkan oleh politisi yang latah melibatkan shadow government dalam tubuh birokrasi. Birokrasi sebaiknya diletakkan secara profesional dengan mengaransemen ide Weber (1946). Tujuannya agar lebih manusiawi dan fleksibel. Politisasi menjadikan birokrasi dianggap mesin manajemen yang acap kali menjadi kambing hitam, beban negara, patologis, korup, kaku, boros, tak inovatif, tak kreatif, indisiplin, serta tak berubah. Semua noktah hitam itu disematkan saat birokrasi malfunction, dan karenanya mereka diawasi. Agar Ia lebih energik sepantasnya digiatkan dengan menimbang lima hal (Qosasih, 2022). Pertama, untuk menduduki jabatan dalam dunia bi

Jemi Harun Rupanya Kosong Tiga

Oleh. Muhadam Labolo Jemi Harun, angkatan kosong tiga. Perawakannya gagah, tampan, dada busung, otot bisepsnya kencang, klimis walau sudah purnapraja. Beliau peranakan China-Manado, tugas di Gorontalo Utara waktu itu. Saya sendiri pernah tugas di Palopo. Ini dua lokasi yang tak dekat. Jangankan di daerah yang berjauhan itu, di Kampus Manglayang pun kami tak pernah bersua. Entah kenapa, suatu malam saya tak sengaja jumpa beliau dalam perjalanan Palopo-Makassar. Di Makassar kebetulan ada temu alumni se-Sulsel. Semua purna di undang tak kecuali. Beliau dari kunjungan keluarga di Palopo, balik Gorontalo. Bermaksud ikut reunian di Makassar. Saya berangkat via Bus Piposs malam hari. Di tengah jalan naiklah Jemi. Samar terlihat seperti praja sedang cuti. Pakai pet, kaos putih masuk dalaman, celana keki, ikat pinggang mengkilap, sepatu mulus di lilin. Pikir saya, ini mungkin Nindya atau Wasana Praja. Duduk pas dibelakang kursi. Saya tak acuh, tidur. Pukul tiga dini hari Bus istrahat di Pare-Pa

Dilema Idiologis Victor Fun

Oleh. Muhadam Labolo Di Barak Sumbar Atas, ada dua kawan baik saya. Namanya mirip dan sama-sama Protestan taat. Pertama Victor Fun, Kontingen Papua lahir di Ambon, 1972. Kedua, Victor Sinjal, lahir di Manado, 1973. Victor Fun terakhir menjabat Kadispora di Nabire. Sementara Victor Sinjal tugas di Kota Manado sebagai Kabid di dinas yang sama dengan Victor Fun.. Saya dan Fun sering berselisih soal kerapian. Mulai muts, kilatan kepala ikat pinggang, hingga kemulusan sepatu. Dengan Sinjal, saya selalu bertengkar soal perebutan posisi tengah di baris penutup. Sebenarnya bukan hanya dengan Sinjal, saya juga bersaing dengan Wayan Wiratma dan Eko Udiyono. Maklum, ini persaingan khusus corps 160 pas. Posisi itu strategis untuk melindungi serangan dadakan. Bila dipikir-pikir, soal posisi tengah bagian belakang hanya soal sepele. Tapi hal-hal sepele terkadang membuat kesempurnaan. Rupanya kesempurnaan bukanlah hal sepele. Begitu nasehat dosen saya, Dr. Ondo Riyani, suatu hari saat coffe morning.

Profile dan Optimisme Kualitas Hidup Alumni Nol Empat

Oleh. Muhadam Labolo Memasuki usia kita di kisaran 40-50 tahun ini, saya ingin menyampaikan profile singkat alumni 04 STPDN sebagai titik ungkit menuju optimisme generasi emas pada 5-10 tahun kedepan. Tulisan ini di buat tahun 2017-2018. Sebagai bagian dari angkatan ini saya berkeinginan agar kebangkitan 04 di penghujung 20 tahun kedepan benar-benar bernilai tinggi. Maksud saya setidaknya matang dalam pengalaman, dewasa dalam kepribadian, serta dipenuhi gerak spiritualitas yang berfaedah optimum bagi lingkungannya.  Kawan alumni lain mengatakan bahwa 04 itu ibarat Tank Panser buatan Jerman yang khusus digunakan untuk PD II, klasik, tahan banting, focus, bulat dan solider. Rasanya, dengan alumnus sebanyak 808 orang itu memang tidak semua bisa survive sebagaimana pengalaman menundukkan Manglayang.  Dari 707 pria (87,5%) dan 101 wanita (12,5%), sebanyak 3,9% atau 32 orang telah mendahului kita (2018). Hingga tahun 2022 yang wafat mencapai 54 orang. Ada pertambahan 22 orang selama kurun w

Pak Sabiq Sakke, Dosen Kultural

Oleh. Muhadam Labolo Di awal tahun 1990an, akademi pemerintahan dalam negeri yang tersebar di 21 daerah di regrouping menjadi APDN nasional. Konsekuensinya, seluruh tenaga pendidik diberi pilihan, bergabung dengan Pemda atau merantau ke Jatinangor. Satu diantara tenaga pendidik terbaik dari APDN Makassar itu akhirnya rela melepas lingkungan sosiologisnya untuk bergabung dengan tenaga pendidik lain di Jatinangor.  Secara faktual beliau memang meninggalkan tanah kelahirannya di Bone, tapi tidak secara spirit kultural yang menjadi ciri khas manusia sulawesi di bagian selatan. Di kelas, beliau masuk dengan wajah apa adanya. Dialek Bugis yang kental dan mendayu-dayu seringkali membuat praja di masa itu merasa geli menahan tawa. Tapi ekspresi kegelian praja itu terhalang senyuman dan tawa oleh kharisma kumisnya yang tebal, putih dan melengkung kebawah persis gambaran bangsawan lokal atau tuan kompeni di jaman Belanda.  Saya kira, tanpa marahpun praja sudah ciut nyalinya, sebab untuk menstab

Catatan Pinggir; Perencanaan dan Pj Gubernur Jabar di Pilpres 2019

Oleh. Muhadam Labolo Rasanya terlalu simpel jika perdebatan atas kasus pj Jabar hanya berhenti pada soal teknis legalitas hukum dengan memcampuradukkan gatra UU Kepolisian, ASN dan Pilkada. Apapun  perbedaan tafsir antara politisi sebagai pembuat kebijakan di Senayan selalu saja akan berbeda pada tingkat penterjemahan oleh eksekutif di level regulasi teknis (PP dan Permen) serta praktek pemerintahan.  Rasanya Itu sah-sah saja, sebab imaji politisi selalu ideal ketika mendesain teks undang-undang agar ideal pula di kenyataan. Di ranah praktek tentu saja jamak berselisih pandangan dengan eksekutif (baca, birokrasi). Eksekutif dapat membaca secara linier atau fleksibel bergantung orderan rezim yang dilayani. Tinggal diutak-atik agar argumentasi hukumnya memenuhi aspek formalnya.  Dapat dimaklumi mengapa perdebatan teknis semacam itu seringkali melupakan spektrum yang lebih luas dari aspek politik. Dalam sejumlah survei dimasa lalu menunjukkan bahwa posisi Pasangan Calon PDIP di Jabar bera

Distorsi Otonomi Daerah & Sistem Perencanaan

Oleh. Muhadam Labolo Mungkin desainer undang-undang pemerintahan daerah maupun kebijakan di sektor lupa, bahwa pasca reformasi 98' corak negara kita mengalami pergeseran dari bentuk negara kesatuan sentralistik menjadi negara kesatuan bermotif desentralistik. Salah satu Tap MPR 1998 sebagai politik hukum kala itu dengan jelas mengamanahkan agar para pembuat kebijakan dimasa berikutnya harus mampu mendesain desentralisasi dengan titik berat di level kabupaten/kota sebagai yang paling dekat dengan problematik dan kebutuhan masyarakatnya (Rasyid, 1999).  Sekali lagi, ditekankan disini bahwa titik berat otonomi daerah berada di tingkat kab/kota, bukan provinsi sebagaimana tergambar sesak dalam UU 23/2014 tentang Pemda. Penyakit amnesia itulah yang tampaknya mendorong para pembuat kebijakan alih-alih memberi diskresi  Pemda lewat otonomi yang dimilikinya, faktanya hampir semua kebijakan pemerintah berbau resentralisasi yang dimulai dari UU Pemda sebagai omnibus regulasi hingga undang-un

Erhan & Poltar Siregar

Oleh. Muhadam Labolo Dulu, di Sekolah Manglayang ada Polisi Tarweh. Biasa di sebut Poltar. Semacam unit reaksi cepat yang dibentuk saban Ramadhan. Mungkin identik dengan Satgas Merah Putih. Anggotanya senior Bintalroh. Tugasnya mengecek praja yang malas turun Tarweh. Poltar datang dadakan, tergantung kuantitas praja muslim di masjid. Jika terlalu sedikit, mereka turun gunung. Malam itu, Erhan asal Maros dan tiga kawannya ketiduran lepas buka puasa. Mungkin banyak makan kolak hingga ambyar. Mereka tidur di petak yang sama, berderetan. Tiba-tiba pintu depan paling ujung di dobrak salah satu Poltar. Keempat praja mengkerut kaget, tak bergeming di tempat tidur. Ditanya Poltar, "mana Jaga Barak?" Yang dicari berlari terengah-engah dari ruang belajar, menyeret kopel rim sambil dilingkar ke pinggang. Ia kaget, Poltarnya Bang Rahmat Siregar, kosong dua. Terakhir kali bertugas di Tapanuli Selatan. Bang Siregar galak kalau urusan ritus. Ia punya bekas jahitan di kepala hingga dipanggi

IB Gelap Immanuel Panggabean

Oleh. Muhadam Labolo Immanuel Panggabean lahir di Medan, 12 Juni 1973, kontingen DKI Jakarta. Teman semarganya Sihar Panggabean. Selain mereka, ada Ali Mansur Siregar, dan keluarga besar Sitorus seperti Jackson Sitorus, Henri Perez Sitorus, Martua Sitorus dan Thomas Sitorus. Sebenarnya, nama asli Immanuel panjang, Immanuel Panuturi Maruli Tua Panggabean, disingkat Immanuel PMT Panggabean. Lebih singkat lagi, Immanuel. Immanuel lahir dari keluarga berada. Ayahnya pejabat tinggi di Dairi, Sumut. Rumahnya di Medan sebelahan dua rumah dengan Faisal seangkatannya, Kepala BKD Provinsi Sumut. Tragisnya, tepat seberang rumahnya berhadapan dengan Andre Lubis, senior 03. Nyaris sepanjang hidup di masa Muda hingga Madya, Ia tak pernah merasa  tidur  nyenyak. Serasa di awasi senior di kampus, lebih lagi cuti. Gerak-geriknya terkontrol hingga wajah stresnya menggambarkan titik kumpul dilapangan Parade. Bila mungkin dibayar asal tak jumpa senior dan pengasuh, Ia cash & carry. Sampai tulisan ini

Urgensi Polisi & Pemerintah

Oleh. Muhadam Labolo Ucapan Ibnu Taimiyyah (1263-1328) yang dikutip Mahfud tentang 60 tahun bersama polisi buruk jauh lebih baik dibanding tidak ada Polisi sama sekali, ada baiknya dilihat secara kontekstual. Maksudnya, dalam situasi apa urgensi Polisi aktif dibutuhkan, dan dalam kondisi apa Polisi cukup menjadi penjaga malam. Polisi adalah bagian dari alat negara. Oleh sebab negara dalam hal ini dijalankan pemerintah, maka suka tidak suka Polisi dikendalikan pemerintah atas nama negara. Disini seringkali kita kesulitan melerai mana tindakan Polisi sebagai alat negara dan mana sebagai alat kekuasaan. Kita yakin bahwa sejauh pemerintah berjalan sesuai pesan konstitusi negara, maka semua tindakan polisionil lewat kendali pemerintah dianggap sah. Sebaliknya, semua tindakan Polisi yang tak koheren dengan aturan tapi lebih mereflesikan kehendak pimpinan secara struktural boleh jadi sebuah pelanggaran. Dalam konteks pemerintahan, pikiran Ibnu Taimiyyah sejalan dengan pandangan Hobbes (1651),

Son, San & Duo Dedi, Pasopati di DPD

Oleh. Muhadam Labolo Berempat, angkatan nol empat, tugas di DPD RI. Lembaga terhomat, simbol kedaulatan rakyat dari Sabang sampai Merauke. Rahmat Holison, Kabag Wakil Pimpinan DPD, Sanherif Karo Pimpinan, Dedi Ikhsan Kabag Perlengkapan, dan Dedi Iswandi Kepala Kantor Perwakilan DPD di Jogja. Holison pernah sebarak di Muda. Beliau alumni Sumbar Atas yang populer karena di asuh Rene Rinaldi. Son punya kakak kosong dua. Mungkin kita pikir aman. Nyatanya tidak. Di barak Ia salah satu santapan lezat Rene. Biar akur, pernah suatu kali didamaikan lewat group WA eks Barak Sumbar Atas. Naas, Rene keluar group setelah tiga hari berturut-turut di teror Son. Dia keluar seperti babak belur. Mungkin muts dan kopel rim ikut tertinggal di group. Son pernah tugas di Sumut, lalu hengkang ke DPD pasca reformasi. Dia beruntung juga kala lembaga itu baru dibentuk. Melanglang buana ke benua Amerika, Australia, Eropa Barat & Timur, hingga Asia. Dengan merendah katanya, kerjaku cuma satu, bawa tas dan SPP

Bung Hasrul Edyar Rohas

Oleh. Muhadam Labolo Inspektur di Kementrian Desa ini sosok yang unik. Lincah dan gesit, kata bait lagu Ebiet G. Ade. Mungkin unik dari udiknya, di Sibigo, Aceh Barat, Sinabang. Saat pemekaran dia dapat berkahnya, meniti karier sebagai Pamong dari staf, camat hingga wakil bupati di Simeulue tahun 2012-2017. Sekarang jadi inspektur setelah mutasi dari direktur pulau terluar dan terpencil. Waktu di kampus Manglayang, raganya kecil tapi spiritnya kuat. Larinya sebanding Nindya Putri Harmoni. Krisis air di barak tak memukul mentalnya. Ketika Praja kesulitan air termasuk hujan, dia sudah mandi setengah jam sebelum subuh di masjid. Dengan enteng beliau menyusup dibarisan aerobik. Disitu sebagian tahan nafas. Bau mulut dan keringat menyatu, seperti Jengkol bersenyawa dengan Minyak Kasturi. Beliau praja yang rajin. Tak ada kasus di BAP pengasuhan. Andai diperiksa rekam jejaknya via digital, pun sulit ditemukan. Kecuali gaya di  PKL, BKP atau Desa LUK. Semua praja relatif sama, sulit dideteksi.

Motivasi & Kualitas Pendidikan

Oleh. Muhadam Labolo Psikolog sosial McClelland dalam buku klasiknya The Achieving Society (1961)  menggambarkan hasrat sosial pada tiga kebutuhan utama yaitu needs for power, needs for affiliation & needs for achievement. Tiga kebutuhan itu dikembangkan dua puluh satu tahun setelah Maslow meletakkan theory of needs yang bersifat piramidal (1940). Needs for power, adalah kecenderungan yang dicirikan oleh hasrat menguasai atau dikuasai, relasi kuat-lemah, superior-inferior, penyeragaman dan takut pada perbedaan, membangun rivalitas bukan kompetisi, serta menguatkan kroni dibanding kompetensi. Need for affiliation adalah ketergantungan pada kelompok, kecemasan bila tak memperoleh pengakuan, mementingkan popularitas semu, berlindung di sebalik kelompok yang paling menguntungkan, cara memandang dan mementingkan pada soal siapa, bukan tentang apa (the singer, not the song). Need for achievement berhubungan dengan semangat kompetisi secara sehat, komitmen dan berusaha mencapai hal t

Memastikan Pangan dan Energi Kita

Oleh. Muhadam Labolo Kata Wapres RI dalam sambutan digitalisasi pertanian di Kabupaten Bandung (Maret, 2022), kemampuan bertahan tanpa suplai pangan Indonesia hanya 21 hari. Selisih dua hari dengan Vietnam, 23 hari. Thailand 143 hari, India 151 hari, China 681 hari, dan Amerika bisa 1.068 hari atau hampir tiga tahun. Data itu berasal dari Departemen Pangan Amerika Serikat (2022). Laporan State of Food Security and Nutrition (SOFI, 2020) menyebutkan angka kelaparan meningkat 10 juta dari tahun 2019-2020. Total menjadi 60 juta sejak 2014. Indonesia sendiri peringkat 70 dari 117 negara dengan kategori serius. Serius dalam tiga indikator pokok, yaitu suplai pangan yang tak layak, kekurangan gizi (wasting & stunting), serta melonjaknya angka kematian bayi (GHI, 2020). Bagaimanakah kita dapat survive di tengah krisis dengan sumber daya melimpah tanpa bisa menikmatinya? Mungkin ini sebuah pertanyaan konyol, kontradiktif sekaligus intropektif, mengingat kita bukanlah negara  yang teramat