Tangga Seribu di Manglayang

Oleh. Muhadam Labolo

Tangga seribu mewakili rasa frustasi praja. Frustasi menghadapi teriakan dari arah jalan raya, tempat menunggu jajaran Polpra, Komando, dan Satgap. Tangga itu banyak, curam, dan beresiko, apalagi malam hari. Tak sedikit yang putus asa bila harus bolak-balik sampai 4 kali ganti atribut, trening, Menwa, PDH, sampe PDUB. Kadang salah kostum, bawah PDH Keki, atas PDUB. Belum lagi lupa kaos kaki, ikat pinggang, hingga emblem.

Bila di hitung, tangga dari paving block itu tak lebih dari 300 undakan. Letaknya sebelah utara Menza, tempat madya praja bercokol. Hidupnya antara memeras Muda sambil berperilaku Bunglon bila berhadapan dengan Nindya. Muda bisa berjam-jam diinterogasi. Nindya bisa pula menarik acak satu-dua madya yang lagi apes. Paling tidak sama-sama punya bawahan, dibanding muda yang punya dua atasan sekaligus.

Kadang Madya suka bersiul kencang bila ada praja berpasangan jalan sore-sore dekat lapangan bola. Tak taunya itu Nindya, bukan Madya, apalagi Muda. Treningnya double garis kuning. Pejabat korps lagi. Ambyar. Nindyanya jelas ngamuk, bukan cuma oknum Madya yang di tarik, seringkali 1 barak, 1 wira, 1 sena, bahkan 1 angkatan. Jungkir lengkap. Itu bisa berlangsung beberapa pekan, sampai si Nindya puas. Dianggap pelecehan pejabat korps.

Tangga seribu punya banyak kenangan. Banyak yang jatuh disitu, terpeleset, terkilir, terguling, bahkan berhenti bernapas sejenak. Untuk turun, Madya bisa mencapai 60km/jam. Tapi untuk naik yang kesekian kalinya Ia hanya mampu di 40-20km/jam. Lututnya tak kuat, bergetar, bahkan tungkainya serasa lepas, lemah lunglai. Beberapa beralasan sakit agar cukup menjadi helikopter, atau angkat kaki sebelah bergantian.

Parahnya bila para kontroler itu perintahkan jalan jongkok. Madya makin putus asa. Tangannya diminta memegang kepala, naik dengan hitungan. Ada yang merasa daging betisnya keram mengejang. Sekali-kali tangannya menggapai tangga berikutnya, merangkak agar tak terlihat senior, merenggangkan kaki, mengubah gaya diam-diam. Sepanjang tak terlihat bagus. Kalau ketahuan, resikonya besar.

Satu dua Madya di suru berdiri. Mereka di tuduh makan tulang. Semacam dakwaan kasar bagi pengkhianat jalan jongkok. Dianggap mencari kesenangan pribadi di tengah derita kolektif. Mereka di gampar hingga terhuyung. Muts di pundak sesekali terjatuh, keringat mengucur deras, liur menetes panjang. Bagian putihnya terlihat di ujung bibir, pertanda hampir kehabisan bahan bakar. Madya hanya bisa menggerutu, itupun sayup-sayup. Semacam makian dan kutukan, pukima dan semacamnya.

Tangga seribu masih ada, walau beberapa undakan telah diganti batu bata. Beberapa retak karena ribuan kali dilewati praja. Walau begitu tangga seribu masih bertahan kokoh, menahan beban dan caci-maki praja. Tak jarang dia diludahi oleh praja yang kini sebagian besar melampaui dirinya, duduk di eselon tertinggi. Tangga seribu tak pernah mengeluh, walau Ia terlihat makin renta dan tak dipedulikan bila praja melewati derita diatasnya.

Tangga seribu jadi saksi bisu. Saksi atas rasa sakit, perih, kecewa, frustasi, dan putus asa. Tentu saja Ia tak mengalami hal serupa, walau menua di tempatnya, menyediakan diri untuk di injak, dilangkahi, bahkan diduduki. Beberapa saat berdiri di atas tangga seribu, menatap kebawah, seperti tak percaya, rasanya bangga, lolos dari incaran musuh, seperti kopral yang diselamatkan oleh seorang kapten dalam film Saving Private Ryan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian

Memosisikan Mahakarya Kybernologi Sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia[1]