Puasa dan Pemurnian Jiwa

Oleh. Muhadam Labolo

Puasa, dalam kontektualisasi religi mengandung aneka makna. Satu diantaranya pemurnian jiwa (nafs). Jiwa diasumsikan tercemar dosa saban tahun. Entah itu dosa individu maupun kolektif yang berefek-tular pada lingkungan. Lingkungan terpolusi itu bisa jadi domestik, komunitas, maupun organisasi. Sumbernya bisa macam-macam, salah satunya kecenderungan untuk menilai (Subhi, 2018).

Kecenderungan menilai memang sulit diatasi. Apalagi berhadapan dengan gawai. Hidup kita seakan dikendalikan oleh luapan informasi hingga terasa sunyi dalam keramaian, namun ramai dalam kesunyian. Isi kepala kita dijejali berbagai isu. Sedemikian melimpah hingga kesulitan terbesarnya  menapis mana sampah dan mana nutrisi, mana kulit dan mana isi, mana kebenaran dan mana kepalsuan (hoax). Terkadang semua di telan bulat-bulat. Refleks kita ingin menilai dalam bentuk tanggapan.

Menilai adalah kerja pikiran, dan karenanya penilaian berarti produk pikiran. Agar telaga kesadaran kita jernih kembali maka cara bijaknya membuang dengan mengurangi atau berhenti menilai. Dengan begitu kita sedang mengosongkan ruang pikiran dari kotoran menilai berlebihan. Folder yang kosong itu kita isi dengan makanan jiwa. Mungkin banyak makanan jiwa, satu diantaranya religi. Religi dipercaya berabad-abad lamanya obat penawar jiwa.

Jiwa-jiwa yang kembali pulih lazimnya menjadi tenang, seakan kembali kepada Tuhan dalam sukacita dan dicintai. Segenap jiwa di antar dan bergabung dalam ruang yang dijanjikan, surgawi (QS Al Fajr 27-30). Tak banyak yang pulih, kecuali mereka yang bersungguh-sungguh melakukan pemurnian jiwa sebulan penuh. Proses pemurnian itu tanpa sadar dapat menyisihkan kita dari kemenangan jiwa dan raga.

Sebagian besar kita jelas telah memenangkan pemurnian raga. Setidaknya itu kemenangan yang tak terlampau memalukan. Satu proses puasa yang tak hanya berhasil menurunkan berat badan, juga mensterilisasi sampah dalam tubuh. Peraih nobel Yoshinori Ohsumi pada 2016 membuktikan secara saintifik bahwa puasa dalam durasi 8-16 jam akan mendorong kerja authopagy, semacam protein khusus yang berfungsi sebagai cleaning service. Tak dapat disangkal pemurnian raga telah berhasil.

Dalam karya besar Imam Gazhali, Ihya Ulumuddin (597 H), Ia membagi kaum shoimin dan shoimat dalam tiga kategori utama; awam, khusus, dan khusus fil khusus. Kategori terakhir menurutnya adalah kelompok yang berupaya melakukan pemurnian jiwa (tazkiyatun nafs). Ini memang bukan perkara gampang di tengah banjir informasi yang mendorong ghirah untuk menilai. Sadar atau tidak jemari kita dipandu oleh pikiran untuk tetap melakukan respon.

Tentu saja ada banyak cara mengurangi hasrat kuat untuk menilai. Kita dapat memilah hal paling urgen untuk menilai, kita hanya menilai dengan bijak jika diminta, atau kita tak perlu menilai dengan mengubah posisi menjadi penonton. Sebagai penonton kita dapat menikmati limpahan informasi serta pertengkaran pikiran yang membuahkan pengetahuan baru. Menjadi penonton yang baik mungkin akan membantu kita menetralisir dorongan yang ingin menyeruak ke tengah lalu-lintas padat informasi.

Mengurangi tindakan menilai akan membentuk sikap bijak dalam bermedia sosial. Membatasi menilai dapat memberi peluang untuk mengisi jiwa dengan hembusan spiritualitas yang tinggi. Membaca lintasan pengetahuan dan mengambil manfaat dari perdebatan mungkin akan memberi kita pelajaran wisdom yang jika dipelihara dapat menjadi karakter manusia ideal. Inilah salah satu output dari hasil pemurnian puasa, menjadi orang-orang yang bertaqwa (QS. Al Baqaroh, 183). 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian

Memosisikan Mahakarya Kybernologi Sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia[1]