Postingan

Menampilkan postingan dari 2024

Meminimalisir Kelemahan Dipilih DPRD

Polemik mekanisme pemilihan kepala daerah menggema ulang. Kali ini dimulai dari pimpinan tertinggi, Presiden Prabowo Subianto di depan Munas Golkar. Ini tentu menggembirakan, sebab dimulai dari atas, bukan dari bawah. Biasanya, kemauan arus bawah (bottom up) sulit menemukan kanalisasi dibanding bila Ia menjadi kemauan arus atas (top down). Maknanya, polemik perubahan mekanisme itu punya peluang jalan tol, jika saja semua parpol yang tergabung dalam KIM Plus sepakat.  Soal PDIP seingat saya sudah lama insyaf untuk kembali ke mekanisme tak langsung, termasuk perubahan proporsional terbuka ke tertutup untuk pemilihan legislatif di tahun 2029 kelak. Saya tidak ingin menguliti lagi kelebihan dan kelemahan dipilih langsung dan tak langsung. Sejak 2012 wacana ini telah digulirkan kembali hingga melahirkan UU 22/2014 Tentang Pilkada yang memaksa kembali dipilih DPRD. Malangnya, beleid itu hanya bernafas dua bulan ketika Presiden SBY menjegal lewat Perpu 1/2014 yang mengembalikan ke mekani...

Relevansi Sekolah Gubernur Era Ottoman & Indonesia

Pidato Presiden Prabowo Subianto dalam Milad Muhammadiyah ke 112 di Universitas Muhammadiyah Kupang tanggal 4 Desember 2024 menarik dicermati. Menariknya ketika beliau memperkenalkan Akademi Gubernur yang pernah eksis di era Turki Utsmani (1299-1924). Sekolah ini pada dasarnya mengajarkan ilmu kepemimpinan hingga ke level terendah semacam bupati. Prabowo menjelaskan bahwa salah satu pelajaran penting yang diajarkan tidak ada negara tanpa tentara yang kuat. Tidak ada tentara kuat tanpa uang. Tidak ada uang tanpa kemakmuran. Tidak ada kemakmuran tanpa rakyat yang bahagia-sejahtera. Dan tidak ada kebahagiaan & kesejahteraan tanpa pemerintahan yang bersih dan adil. Tentu saja problem mendasar kita adalah korupsi yang membuat bangsa ini belum bersih. Kedua, ketidak-adilan dalam berbagai aspek. Dua problem tersebut menciptakan kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan. Sedemikian pentingnya keadilan sebagai nilai tertinggi dalam politik, Tuhan memerintahkan kita berbuat baik dan berlaku adil...

Mengefisienkan Demokrasi Lokal

Demokrasi lokal serentak diwarnai satu dua kegaduhan. Basis pendukung di Kabupaten Parimo dan Toli-Toli bergesekan saat debat paslon dimulai. Di Jawa, setidaknya ada dua debat yang hampir gagal dilanjutkan. Untung saja keriuhan itu tak merembes hingga ke luar ruangan. Konflik dapat disudahi oleh pihak keamanan. Tahapan debat hampir selesai. Namun kasus di atas setidaknya menjadi catatan kaki bagi upaya merawat demokrasi lokal di periode selanjutnya (2029). Dengan begitu perhelatan debat bukan sekedar memenuhi prosedur demokrasi, juga melahirkan substansi demokrasi yang bermutu. Utamanya kualitas paslon dan basis konstituen. Kasus di atas mengindikasikan bahwa peradaban demokrasi kita butuh perkakas pendidikan politik yang memadai, bukan sekedar menggugurkan tahapan yang telah disepakati. Apalagi biaya debat yang hampir mencapai 2,5 M di level provinsi. Dengan tiga kali debat, anggaran yang diperlukan mencapai 7,5 M kali 37 provinsi di luar Provinsi DIY. Dengan biaya sebanyak itu, bukan...

Menguji Kecerdasan Paslon Kepala Daerah

Menikmati debat pasangan calon kepala daerah sebelum pemungutan suara 27 November 2024 menyadarkan kita tentang sejauhmana kapasitas calon kepala daerah menghadapi masalah diwilayahnya masing-masing. Setiap daerah tentu berbeda karakteristiknya hingga butuh pemimpin yang adaptif dengan masalahnya. Pasangan calon boleh jadi sukses di satu daerah, namun belum tentu berhasil di tempat lain. Banyak kasus demikian, sebutlah Nurdin Abdullah, Ahok, Risma dll. Mereka sukses di kampung halamannya, tapi mengalami semacam disorientasi di ruang lain. Kepemimpinan butuh kapasitas sesuai masalah yang dihadapi. Kapasitas kepemimpinan kepala daerah bergantung pada sejumlah variabel. Kecerdasan misalnya, dapat dideteksi dari intelektualitas, spiritual, sosial, dan mental. Kecerdasan intelektual punya tempatnya. Ia dibutuhkan untuk memecahkan ragam masalah di daerah. Bukan hanya itu, Ia dikehendaki tak hanya mampu menggagas, juga menemukan alternatif atas kesulitan daerahnya. Kapasitas spiritual (spirit...

Debat Kepala Daerah

Pilkada serentak 27 November 2024 melibatkan 37 provinsi, 415 kabupaten dan 93 kota. Demokrasi lokal itu menyedot kurang lebih 41 triliun plus hibah sebesar 28,6 triliun (KPU, Antara & Kompas, 2024). Kita berharap dengan biaya sebanyak itu, demokrasi lokal bukan saja sukses, juga melahirkan kepala daerah bermutu, bukan bermuka tua. Salah satu tahapan menarik adalah debat Pilkada. Beberapa mengatakan cerdas-cermat pilkada, menimbang formatnya yang dinilai beda dengan mekanisme debat di Pilpres USA misalnya. Ya, kita memang bukan Amerika, sekalipun prinsip-prinsip debat tetap diadaptasi sesuai kultur keIndonesiaan. Debat seringkali menjadi kurang fokus karena pesertanya lebih dari dua pasangan calon. Bila debat hanya antara dua pasangan calon tentu akan lebih dialektis dan fokus. Tiap pasangan calon akan saling menguliti visi, misi dan program unggulan yang menjadi gagasan pendek untuk di jual ke publik. Misalnya antara Paslon Republik vs Demokrat. Jualan politisi yang laku dihadapan...

Sekapur Sirih Buku Mas Sugito

Saya terbawa perasaan (baperan) ketika membaca diary pendek Mas Sugito. Seorang alumni 04 yang merasa 'dibuang' di Timor-Timur. Ia dan teman seperjuangan dari Jawa, Mas Agus Haryanto, Halik, dan Pancarini bertarung melawan kecemasan yang menghantui di hari-hari pertama. Tapi seperti para pejuang kemerdekaan yang pernah dibuang ke Digul dan Ende, mereka melawan pemberontakan dalam hati lewat pena. Sugito menuliskan kegalauan itu di setiap moment yang mencekam agar Ia dapat melawan waktu. Waktu untuk sampai di ujung pengabdian. Sugito anak petani yang sekalipun telah dilantik Presiden Soeharto pada 1995, Ia tetap landai sebagai Pamongpraja Muda yang ditempatkan nun jauh disana. Sedemikian pilu, Ia tetap teguh dihadapan kedua orang-tua, yang mungkin juga sesak menahan duka karena kata pisah yang terlalu singkat. Mungkin dengan keikhlasan mereka, Ia mampu bertahan hingga berakhirnya hubungan Indonesia dan Timor-Timur. Sugito mencoba membunuh waktu dengan berbagai cara sebagai upay...

Pengantar Buku Memakmurkan Otonomi Prof Djohermansyah Djohan

Mungkin, tak banyak pemikir di Indonesia yang dalam 25 tahun terakhir sejak UU 22/1999 dicanangkan mewakafkan waktunya untuk menelaah setiap perubahan kebijakan terkait desentralisasi dan otonomi daerah secara konsisten kecuali Prof. Djohermansyah Djohan. Ia dengan serius menyoroti, bahkan dengan tajam mengkritiknya agar diinsyafi oleh rezim penguasa. Buku dihadapan kita bukan monograf yang terbiasa dikurasi dengan alot di ruang kelas, namun kumpulan artikel ini adalah bukti atas apa yang pernah dirancangnya dulu hingga Ia pantas di sebut Koki Otonomi Daerah. Tak heran bila hampir seluruh artikel yang pernah dimuat Harian Kompas ini menunjukkan betapa Ia menjadi satu-satunya garda terdepan pengawal kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Kritik Pak Djo kian menyala ketika Ia dihadapkan pada gejala resentralisasi yang mengental di era Jokowi. Ia menilai tak hanya otonomi yang kehilangan luas dan isi, juga dangkalnya para desainer kebijakan ketika misalnya mengkonstruksi Ibu Kota Nu...

Produk Akhir Revolusi Mental

Oleh. Muhadam Labolo Sepuluh tahun pasca Jokowi, mentalitas bangsa tak banyak berubah. Padahal mentalitas itulah yang menjadi fokus garapan ketika Ia memulai debut perdana sebagai presiden ketujuh. Jokowi percaya tentang mantera Revolusi Mental, yang kemudian dikemas rapi sebagai visi nawa-cita. Diterjemahkan kedalam sistem perencanaan. Revolusi mental yang ditujukan pada perubahan radikal dibidang politik, ekonomi dan sosial budaya pada akhirnya meninggalkan antitesa yang mencemaskan. Politik lebih memproduksi kepemimpinan korup ketimbang memandu warga yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Korupsi menjadi wabah paling akut yang sulit dicari penawarnya. Sejak pilkada diterapkan hingga 2024, lebih 503 kepala daerah, 2.496 birokrat, 5 ketua partai, 27 kepala lembaga/menteri, dan lebih 500 wakil rakyat mendekam di buih (Prasodjo, 2024). Politik tak mampu menghentikan, bahkan terperangkap pada urusan prosedur yang tak efisien mengorbankan isi perut rakyat. Padahal prosedur hanya soal b...

Korupsi Menelan Pajak

Oleh. Muhadam Labolo Tak terhitung ratusan kritik terhadap gejala korupsi di semua sektor seperti menabrak tembok kokoh. Mereka yang cemas dan berupaya menghentikannya di anggap asing. Seakan di tengah kubangan korupsi mereka yang berteriak pertanda gila, munafik dan bodoh. Keresahan publik berubah menjadi kepasrahan, bahkan cenderung permisif. Korupsi bukan lagi perilaku kotor. Disatu sisi pemerintah tiap hari berpikir menarik pajak. Anehnya bumi yang kaya seakan tak sanggup menyelesaikan hutang. Cara paling cepat hanya merogoh uang di saku rakyat. Sementara kekayaan alam raib ibarat air yang menguap. Andai eksploitasi kekayaan tak bocor, mungkin inilah satu-satunya negara yang minim pajak. Negara-negara lain mungkin akan belajar soal bagaimana mengelola sumber daya alam yang melimpah. Ironisnya kita bukan ahli disitu, tapi justru belajar memungut pajak seperti negara-negara minus sumber daya alam. Singapura misalnya. Apa saja bisa di pajak demi menutupi kelangkaan sumber daya alam. S...

Arah Pembangunan Pemerintahan

Oleh. Muhadam Labolo Kesadaran membangun pemerintahan tampak kian redup. Setidaknya tergambar dari tujuan yang mencemaskan, otoritas berkelebihan, relasi yang kurang kokoh, serta tata kelola layanan yang belum menyentuh akar masalah. Keempat variabel itu merujuk pada nilai penting pemerintahan (Wasistiono, 2023). Tujuan jangka panjang yang diimajinasikan belum tergambar secara konsisten. Apa yang berserakan dimasa transisi kecuali pemenuhan instant bagi generasi belia, makan siang gratis. Tujuan belum menyentuh lanskap yang luas, kemakmuran kolektif untuk kurang lebih 289 juta populasi. Selebihnya bagaimana posisi bangsa di tengah dinamika geopolitik. Pertama, kemakmuran mesti dirasakan mayoritas. Demikian amanah konstitusi. Bukan semata para pengusung, timses, pemandu sorak, _influenzer & buzzer._ Bila kemenangan selesai dengan hanya balas budi transaksional pada elit, rasanya suara rakyat tak berarti apa-apa, alias kehilangan daulat. Lapis atas menikmati kemewahan kuasa, level ba...

Krisis Global dan Minimnya Panduan Ilmu Politik

Oleh. Muhadam Labolo Krisis global kini menandai gerak sebagian dunia. Setidaknya pada rasialisme, lingkungan, dan kekuasaan. Rasialisme menguat kembali pada sejumlah komunitas akibat meningkatnya dominasi kelompok. Lebensraum menjadi alasan meluapnya populasi dan migrasi hingga menghimpit komunitas minoritas dan pribumi. Eksesnya perambahan dan deforestasi. Krisis lingkungan menandai dua dekade terakhir. Sedemikian parahnya hingga begawan sekelas Emil Salim (2023) tak sudi menerima penghargaan lingkungan karena gagal mengantisipasinya. Sumber daya alam kini menjadi semacam alat tukar dengan kuasa jangka pendek. Lingkungan sebagai penopang hidup kehilangan arti bagi kelangsungan ekosistem.  Kedua krisis tersebut ditengarai bersumber dari kompetisi kuasa. Inilah krisis yang meluas dari global ke tingkat lokal. Hasrat berkuasa tak hanya mendorong peminggiran, lokalisasi, bahkan genoside. Mereka yang lemah diperangi, diintimidasi, dikucilkan dalam sistem sosial bernegara. Beberapa n...

Menyudahi Begal Konstitusi

Oleh. Muhadam Labolo Kekuatan-kekuatan politik yang dulu senyap kini digelitik oleh aksi begal konstitusi wakil rakyat. Putusan hukum tertinggi pilkada sebagai benteng terakhir sengaja dimanipulasi. Para pembegal seakan memilih yang sunnah dan mengecualikan yang wajib demi memproteksi masa depan kuasa anak raja.  Kekuasaan membegal konstitusi patut dihentikan. Ia melukai hati rakyat. Peluang rakyat berkompetisi di suntik mati. Ruang tanding dikuasai dinasti dan oligarki. Untuk apa berdemokrasi bila semua pintu ditutup, bahkan di konci rapat. Bukankah lebih tepat kita ber-monarki ria. Tak perlu kompetisi dengan hanya melawan kotak kosong. Agar kuasa tiran tak mengubur demokrasi hidup-hidup, Ia hanya mungkin bila dikontrol, dibagi, dan diinstitusionalisasikan (Foucault, 1926). Masalahnya, institusi pengontrol mengalami kebuntuan karena ada dalam pekarangan koalisi. Pemilik daulat terpaksa turun dan mengingatkan. Mereka lupa bahwa daulat di tangan rakyat. Hanya dititip sementara dan ...

Demoralisasi Peradaban Bangsa

Oleh. Muhadam Labolo Demoralisasi peradaban bangsa kian mendekati tubir. Setidaknya dari lunturnya identitas berbangsa hari-hari ini. Demoralisasi menyentuh bagian sensitif perilaku, simbol, instrument, serta tujuan bernegara. Keseluruhan variabel itu ciri kebudayaan. Kebudayaan cermin peradaban. Peradaban maju atau mundur bergantung parameter tersebut. Setidaknya dengan membandingkan kualitas peradaban era Orla, Orba dan Reformasi. Perilaku berbangsa dipenetrasi oleh wabah korupsi. Korupsi bukan lagi penyakit kurap yang menjangkiti elit, kini menyentuh alit di lapis bawah. Dalam rentang 2005-2023 tercatat 449 kepala daerah/Waka, 503 anggota DPR/DPRD, 27 kepala lembaga/menteri, 5 ketua umum partai, serta 2.496 birokrat di buih (Prasodjo, 2024). Itu di luar setahun terakhir. Trend korupsi meningkat meski Indeks Persepsi Anti Korupsi turun 0,07 point (ICW, BPS, 2024). Demoralisasi etik kaum elit dipertontonkan tak hanya sekali. Setiap hari berkali-kali. Kasus Ketua KPK, MK, KPU, Menteri,...

Mengaktifkan Etika

Oleh. Muhadam Labolo Sudah lama publik tak mendengar etika ditegakkan. Harapan itu ditambatkan berhubung hukum tak berfungsi (lawless). Hukum hanya menyentuh bagian landai seperti pencuri ayam, judi kecengan, hingga pemadat narkoba kelas teri. Lebih lagi bila hukum pilih buluh, mahal, berliku, bahkan dipenuhi penjaja hukum yang bersembunyi di rumah pengadilan. Ketika DKPP menjatuhkan hukuman etik kepada Ketua KPU Hasyim As'ary, moral publik seakan di cubit kembali. Putusan itu dinilai memuaskan, sekaligus menepis keraguan publik soal putusan akhir ketiga dan terakhir. Putusan itu juga pesan pada semua cabang kekuasaan yang memiliki badan-badan etik agar tak segan menjatuhkan sanksi etik untuk perbuatan amoral. Rasanya hampir semua cabang kekuasaan punya badan etik, tapi mandul dan sepi aksi. Legislatif punya Badan Kehormatan. KPK punya Dewan Etik. Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman punya dewan etik. Korporasi juga punya komisi etik. Bahkan di organisasi masyarakat sebagai represe...