Sekapur Sirih Buku Mas Sugito

Saya terbawa perasaan (baperan) ketika membaca diary pendek Mas Sugito. Seorang alumni 04 yang merasa 'dibuang' di Timor-Timur. Ia dan teman seperjuangan dari Jawa, Mas Agus Haryanto, Halik, dan Pancarini bertarung melawan kecemasan yang menghantui di hari-hari pertama.

Tapi seperti para pejuang kemerdekaan yang pernah dibuang ke Digul dan Ende, mereka melawan pemberontakan dalam hati lewat pena. Sugito menuliskan kegalauan itu di setiap moment yang mencekam agar Ia dapat melawan waktu. Waktu untuk sampai di ujung pengabdian.

Sugito anak petani yang sekalipun telah dilantik Presiden Soeharto pada 1995, Ia tetap landai sebagai Pamongpraja Muda yang ditempatkan nun jauh disana. Sedemikian pilu, Ia tetap teguh dihadapan kedua orang-tua, yang mungkin juga sesak menahan duka karena kata pisah yang terlalu singkat.

Mungkin dengan keikhlasan mereka, Ia mampu bertahan hingga berakhirnya hubungan Indonesia dan Timor-Timur. Sugito mencoba membunuh waktu dengan berbagai cara sebagai upaya bertahan di tempat tugas. Ia menjalin relasi dengan aparat keamanan yang dikemudian hari menjadi 'orang,' sebagaimana Ia pun menjadi pejabat eselon satu di Kementrian Desa.

Di Timor, semangat Sugito dibangun oleh banyak wejangan, termasuk induk semangnya. Ia bukan saja mengingat kuat tiap tahapan ketika setengah di doktrin oleh para pejabat struktural yang menjadi atasannya, juga menyimpan file itu dalam lisan dan tulisan. Ia bahkan pernah berkonflik untuk sebuah idealisme walau perkaranya sederhana. Ia semacam personifikasi aparatur yang membawa semangat Manglayang agar tetap kokoh melayang disana.

Untuk melawan kesepian yang menjadi musuh kolektif di tengah zona yang sewaktu-waktu memanas, Ia menyempatkan menulis diary ini. Buku ini tentu saja kumpulan dari perjalanan singkatnya, mengenang hari-hari pertama ketika melapor ke pemerintah Timor-Timur. Juga bagaimana Ia mengakhirinya, menjadi Mahasiswa LAN Jakarta, sekaligus pelarian dari kenyataan yang membuahkan hasil.

Saya yakin, ada banyak pertarungan idealisme seperti dialami Sugito dibelahan lain. Namun tak semua mampu mengungkapkan lewat tulisan. Sebagian besar terpendam dalam ingatan, terkubur bersamaan dengan kerentanan kita mengabdi pada bangsa dan negara. Ia hanya muncul dalam percakapan terbatas untuk ditertawakan, tapi tidak untuk dipetik nilainya oleh generasi Pamongpraja Muda.

Saya berharap buku ini dibaca. Dibaca oleh Pamongpraja Muda yang sebagian besar waktunya dimanjakan oleh teknologi digital sebagai produk sains yang memudahkan, tapi seringkali kehilangan makna yang menyentuh nilai secara kualitatif. Dengan pengalaman itu, Pamongpraja Muda dapat menjadikan buku ini sebagai lentera untuk memandu ke medan tugas yang penuh onak dan duri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian