Korupsi Pemerintahan Mendekati Tubir

Korupsi Pemerintahan Mendekati Tubir
Oleh. Dr. Muhadam Labolo

          Hingga akhir April 2012 kita memperoleh data dari Kemendagri yang sangat menggelisahkan, 173 kepala daerah dari 530 daerah otonom berstatus terperiksa dalam hal ikhwal korupsi (Jawa Pos, April 2012). Dari jumlah tersebut 70 persen telah diputus pengadilan. Artinya, 1/3 dari total kepala daerah diduga merugikan negara, memperkaya diri sendiri maupun orang lain baik sengaja atau tidak. Jumlah laporan perkara korupsi sendiri hingga awal Juli 2012 mencapai 3.423 kasus. Jika dirata-ratakan maka setiap kepala daerah berkontribusi terhadap kurang lebih 20 kasus korupsi. Dari belitan masalah itu, 85 persen berkisar pada kasus pengadaan barang dan jasa. Jika celah korupsi berkutat pada empat masalah pokok selain tender pengadaan barang dan jasa, maka dapat dipastikan 15 persen sisanya berkaitan dengan penggunaan APBD/APBN yang kabur, manipulasi perizinan di pusat dan daerah, serta ekses pemilukada yang merembes pada penghamburan uang dipinggiran jalan dalam wujud money politics. Setahun lalu, Juni 2011, gejala pertumbuhan korupsi sebenarnya telah terdeteksi oleh PPATK, dari 2.258 laporan transaksi keuangan terdapat 1.153 transaksi mencurigakan dilakukan bendahara daerah. Modusnya membeli surat Bank Indonesia dan mendepositokan uang daerah. Disamping bendahara daerah, 376 kepala daerah dan 339 pejabat lain melakukan transaksi mencurigakan. Di level pemerintah pusat lebih gawat lagi, tiga departemen sebagai personifikasi jiwa dan raga pemerintah menunjukkan gejala yang memprihatinkan. Jika diibaratkan tubuh manusia, ukuran kesehatan bisa dilihat dari sehat fisik, sehat pikir dan sehat spirit. Pertama, sehat fisik sehari-hari diupayakan oleh pemerintah lewat kementrian kesehatan. Kesehatan diperlukan sebagai modal bagi setiap manusia Indonesia untuk bekerja sungguh-sungguh agar mampu melaksanakan perintah Tuhan, Nabi dan Pemerintah. Dengan kesehatan pula kita dapat bekerja memenuhi kewajiban sebagai manusia untuk menafkahi keluarga satu sama lain. Simpelnya, dengan modal kesehatan kita dapat melaksanakan hubungan vertikal, terlebih lagi hubungan horisontal. Tanpa itu, kita hanya seonggok tubuh yang menjadi beban bagi orang lain, atau menjadi bahan santapan makhluk lain. Harus diakui, salah satu kualitas hidup ditentukan oleh seberapa sehat kita dalam menjalani kehidupan guna menyokong mutu peradaban manusia dikemudian hari. Dengan kesadaran dan upaya tersebut kita berharap dalam tubuh yang sehat lahir otak yang waras sebagaimana slogan tempoe doeloe, mensano in comparesano. Paling tidak dalam tubuh yang sehat terbentuk mentalitas yang kuat hingga mampu melahirkan kecerdasan emosional. Indikasinya, setiap warga negara dapat hidup dan bekerja secara aman, nyaman dan wajar. Dengan modal kesehatan itu maka produktivitas negara dapat terrukur dengan jelas. Guna maksud itu maka pemerintah berkewajiban sesuai perintah undang-undang menyediakan sarana dan prasarana kesehatan, termasuk jaminan kesehatan masyarakat. Sayangnya, kasus pengadaan obat, alat kesehatan sampai jaminan kesehatan masyarakat tampak bermasalah hingga menyeret petinggi di kementrian kesehatan dalam pusaran korupsi. Hingga akhir Juni 2012, Wakil Menteri Kesehatan menjanjikan jaminan kesehatan sejumlah 76,4 juta orang dengan asumsi 6.500 perorang. Jumlah tersebut dijanjikan bertambah hingga 86,4 juta jiwa dengan asumsi 7.000 perorang. Ironisnya, sekalipun setiap kepala daerah menjanjikan kesehatan gratis, terdapat sejumlah kasus di beberapa daerah dimana pasien miskin dilarang masuk Rumah Sakit. Kedua, sehat pikir diupayakan oleh kementrian pendidikan nasional.  Sehat pikir mengantarkan kita kearah terbentuknya kecerdasan intelektual. Dengan harapan itu kita mampu memproduk manusia Indonesia yang tidak saja mampu mengubah kehidupannya menjadi lebih baik, berkualitas dan sejahtera, lebih dari itu mampu mengubah tatanan dunia agar mampu bertahan selama-lamanya dari bahaya sesamanya. Kita percaya, hanya dengan pendidikan yang baik manusia Indonesia dapat mewujudkan semua impiannya sebagaimana kemustahilan yang selama ini dapat dikonkritkan oleh negara-negara terdidik. Untuk sampai pada impian itu maka kita perlu membaca banyak ilmu pengetahuan yang terselip dalam buku-buku bermutu. Dan untuk memudahkan setiap warga negara mengakses pendidikan, pemerintah berkewajiban sesuai perintah konstitusi menyediakan sejumlah bantuan operasional sekolah. Faktanya, kasus pengadaan buku hingga dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tak kunjung sepi dari masalah korupsi baik di hulu maupun di hilir. Disisi lain penambahan tunjangan kesejahteraan lewat sertifikasi guru dan dosen tidak dengan sendirinya menghentikan praktek korupsi dibeberapa perguruan tinggi ternama. Alih-alih meningkatkan kompetensi guru dan dosen, rendahnya mutu lulusan menunjukkan kegagalan strategi peningkatan kualitas pendidikan nasional dewasa ini. Inilah indikasi runyamnya alam semesta pendidikan kita. Ketiga, sehat spirit setidaknya diupayakan oleh kementrian agama, sekalipun kita sadar bahwa tanggungjawab spiritual berada dimasing-masing lembaga keluarga dan organisasi masyarakat. Kita sadar bahwa Tuhan bukan urusan kementrian agama, apalagi sampai Tuhan diurus-urus. Tuhan tentu saja tak membutuhkan pertolongan, sebab Dia-lah yang maha penolong bagi semua makhluk-Nya. Melalui kecerdasan spiritual kita berharap manusia Indonesia tumbuh diatas keyakinan bahwa dari Tuhan-lah kita berasal dan kepadaNya-lah kita menuju.  Kesadaran demikian diharapkan mampu mengarahkan setiap individu tidak saja bertanggungjawab pada diri dan lingkungannya, lebih dari itu kepada Tuhan Yang Maha menciptakannya. Untuk mencapai tujuan mulia itu, pemerintah berkewajiban mengusahakan agar setiap warga negaranya percaya dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana pondasi pertama Pancasila.  Pada tingkat operasional pemerintah menyediakan sarana dan prasarana ibadah yang memungkinkan setiap warga negaranya dapat berkomunikasi dan mendekatkan diri dengan penciptanya. Indikasi dari semua itu dapat dilihat dari terbentuknya kesholehan individu dan sosial yang tercermin pada pribadi yang bertanggungjawab serta kerukunan hidup beragama, bermasyarakat dan bernegara. Dlam hubungan inilah pemerintah memastikan tersedianya rumah ibadah hingga kitab suci bagi penganut agama masing-masing. Aibnya, korupsi menerjang benteng terakhir tadi dalam bentuk tender pengadaan kitab suci. Untung saja bukan ayat-ayat Quran-nya yang dikorupsi, sehingga kita bakal kehilangan satu dua ayat ketika tadarusan di bulan suci Ramadhan.  Kasus ini menurut sebagian pengamat terlalu kecil dibanding kompleksitas urusan haji setiap tahun hingga negara mampu memobilisasi dana abadi umat triliunan rupiah. Persoalannya, dimanakah dan siapakah yang bertanggungjawab terhadap dana sebesar itu, bagaimana mekanisme penggunaannya, apa saja yang telah digunakan selama ini, tentu saja hanya Tuhan dan kementrian agama-lah yang dapat menjelaskan serinci-rincinya. Jika semua gejala diatas memperlihatkan sepak terjang aktor pemerintah di ranah eksekutif, maka tebak sendiri bagaimana meluasnya korupsi di ranah legislatif dan yudikatif. Catatan kita di ranah legislatif tak perlu mencari data jauh-jauh, lihat saja hasil survei salah satu lembaga ternama di Jakarta tahun 2012, legislatif masih memperoleh posisi teratas sebagai lembaga terkorup di jagad Indonesia. Secara umum indeks persepsi korupsi Indonesia tak bergerak diangka 2,8 menurut survei TII (2011). Bagaimana wajah korupsi di lembaga yudikatif sebagai cabang kekuasaan yang berkeharusan mengadili semua perkara korupsi? Catatan kita ternyata bukan tanpa stabillo merah, polisi, jaksa dan hakim sebagai rangkaian penegak, penuntut dan pengadil berguguran ditimpa penyakit kronis korupsi. Lalu, bagaimanakah dengan masyarakat? Kita sadar sesadar-sadarnya bahwa pemerintah adalah produk masyarakat, maka darisanalah mereka di seleksi dan kembali ketika pensiun. Lewat penampilan pemilukada di setiap daerah nampak kasat mata transaksi tukar-guling kandidat kepala daerah berlangsung menurut disiplin waktu. Jika pesta demokrasi dimulai pagi hari maka transaksi berwujud serangan fajar, jika berlangsung siang hari bernama serangan dhuha, dan jika berlangsung sore hari beristilah serangan siang-bolong. Akhirnya, siapakah yang bersalah dalam perilaku yang memalukan seperti ini? Menyitir penyair besar Meksiko pada abad 17, Sor Juana Ine de la Cruz, sebagaimana dikutip Presiden Costa Rica, Oscar Arias Sanchez dalam pidato pemenang hadiah Nobel perdamaian tahun 1987, siapakah yang paling bersalah dalam dosa bersama? Si perempuan yang menjual dosa, atau si lelaki yang membeli dosa? Tentu saja Juana bukan Muslim yang mengerti hadits nabi seperti arraasy wal murtasy finnar (penyuap dan yang disuap sama-sama neraka). Sampai disini yang ingin saya sampaikan bahwa semua indikasi penyelewengan yang menerpa pemerintah baik di tingkat daerah maupun pusat telah memasuki area paling tubir dalam luasnya lautan korupsi di negeri ini. Jika di setiap kita tak memiliki itikad baik dan kehendak kuat untuk melepas semua nafsu memperkaya diri tanpa alasan wajar, maka bukan mustahil bangsa ini akan lenyap perlahan-lahan di tengah tubirnya lautan kepentingan negara lain. Bukankah indikasi dimaksud terbaca jelas dalam dua belas indikator peringatan negara gagal akhir juni 2012? (Hotel Kahayan, Palangkaraya).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Memosisikan Mahakarya Kybernologi Sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia[1]