Debat Capres Ketiga, Menakar Politik Luar Negeri dan Ketahanan Nasional

Oleh. Dr. Muhadam Labolo


Harus diakui bahwa performa Prabowo dalam debat capres kali ini lewat tema politik luar negeri dan ketahanan nasional seperti menyediakan seperangkat senjata dan amunisi agar dirakit dalam waktu singkat menjadi semacam modal pertempuran debat yang apik. Lewat pengalaman panjang dalam dunia militer serta lama bermukim di beberapa negara menjadikan Prabowo tampak lebih siap dalam menjawab sejumlah isu yang menjadi topik perbincangan sesi persesi. Jika Jokowi mengandalkan kematangan pengalaman dalam manajemen pemerintahan di Solo dan DKI Jakarta, maka Prabowo seperti mendapatkan tempat yang tepat untuk meyakinkan publik soal pengalaman dan pengetahuan politik luar negeri serta ketahanan nasional. Bicara soal dua tema besar itu saya sependapat kiranya akar masalah sebenarnya adalah bagaimana kemakmuran negara dapat dicapai selekas mungkin. Kemakmuran negara, sadar atau tidak menjadi titik soal sekaligus refleksi kekuatan politik dan ketahanan suatu bangsa. Semakin rendah kemakmuran suatu bangsa,  semakin lemah posisi tawar serta ketahanan nasional yang dimiliki. Inti kemakmuran bangsa menurut saya adalah sejauhmana kualitas sumber daya manusia suatu bangsa. Ini tentu saja menyangkut aspek kebijakan dibidang pendidikan. Mesti disadari bahwa alasan bergaul dengan bangsa lain baik bilateral maupun multilateral lebih didorong oleh kebutuhan dasar masyarakat dalam suatu negara. Tingginya kemakmuran suatu bangsa dengan sendirinya menciptakan magnet yang kuat bagi bangsa lain untuk turut menikmati dampak dari kue kemakmuran itu. Amerika, Jepang, Korea, Singapura hingga sebagian besar negara didaratan Eropa merupakan contoh negara yang menimbulkan magnet bagi mobilitas masyarakat dunia hingga terciptanya strategi politik luar negeri untuk mengendalikan dampak migrasi. Dalam konteks Indonesia, rendahnya kemakmuran yang kita rasakan sekaligus menjadi pemicu bagi warga negara untuk mengadu nasib di negara-negara yang memiliki tingkat kemakmuran lebih tinggi. Terbatasnya lapangan kerja domestik berhadapan dengan terbukanya kesempatan kerja di negara-negara maju pada akhirnya menciptakan politik luar negeri yang cenderung 'mengalah' agar mobilitas warga negaranya dapat meraup keuntungan dalam bentuk devisa. Mereka yang berangkat bahkan diberi gelar 'pahlawan devisa', sekalipun harus pulang dalam kondisi relatif tak makmur, bahkan tersiksa akibat tekanan fisik dan psikis. Negara pada ujungnya dibuat 'repot' dan 'kelimpungan' mencarikan jalan keluar bagi perkara yang sering mengantarkan sejumlah TKI menuju tiang gantungan. Dalam kondisi seperti itu negara terkadang kehilangan fokus mengurus ketahanan nasional dari ancaman bangsa lain kecuali menyelesaikan ekses orang perorang yang setiap saat mengadu nasib ke negara lain lewat cara-cara ilegal. Kita boleh mengatakan bahwa semua itu adalah kewajiban negara dan hak warga negara untuk memperoleh perlindungan sesuai amanah konstitusi, namun secara keseluruhan kita sebenarnya secara tak sadar sedang meremukkan daya tahan nasional. Disatu pihak kelemahan bangsa kita akibat rendahnya sumber daya manusia dalam pengelolaan kekayaan alam yang maha luas menciptakan magnet bagi negara-negara maju untuk mengeruk keuntungan hingga ke perut bumi. Sinyalemen bahwa negara-negara maju seperti Amerika dibangun jauh hari dari kontribusi kekayaan bangsa kita sepertinya tak menimbulkan kebangkitan heroisme untuk segera mengarahkannya bagi kemakmuran bangsa sendiri. Sejauh ini kita seperti tak memiliki 'taring' untuk mengembalikan sejumlah aset yang hilang dibawa kabur. Diluar itu, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya terkesan tak lagi dikuasai negara sepenuhnya. Sebagian besar jatuh ditangan pemodal asing dan sekelompok komprador yang menurunkan harga diri bangsa.  Semua kelemahan tadi akhirnya menjadi peluang bagi bangsa lain sebagaimana dipertontonkan Malaysia dalam kasus Ambalat dan Mercusuar di Pulau Datu, penyadapan Australia, serta klaim sepihak Tiongkok atas sebagian laut Natuna. Bagi saya, politik luar negeri dan ketahanan nasional bergantung pada kekuataan sumber daya manusia dalam mengelola kekayaannya sendiri. Semakin rendah sumber daya manusia, semakin tinggi ketergantungan kita pada bangsa lain, ini sekaligus mendorong migrasi bangsa lain ke negara kita dan kita ke negara lain. Sialnya mereka mengirim tenaga kerja bernilai tinggi sehingga kita mesti membayar dengan harga tinggi. Pada saat yang sama kita sendiri mengirim tenaga kerja berkualitas rendah yang tentu saja cukup dihargai dengan harga rendah sebagaimana buruh rumah tangga. Sebaliknya, semakin tinggi sumber daya manusia, semakin tinggi pula peluang kita mengirim tenaga kerja berkualitas tinggi yang tentu saja berharga tinggi. Pada saat yang sama kita dengan sendirinya membatasi masuknya tenaga kerja asing yang dalam era perdagangan bebas boleh jadi berkeliaran dimana-mana.  Inilah alasan utama mengapa Prabowo mencoba membangun paradigma baru yaitu ketahanan yang ideal adalah kemakmuran bangsa itu sendiri. Kemakmuaran hanya mungkin jika kualitas sumber daya manusia mampu bersaing dalam pergaulan dunia international. Kualitas sumber daya manusia bergantung pada sejauhmana political will pemerintah dalam hal pengembangan pendidikan. Pendidikan kita percaya haqqul yaqin menjadi modal dasar dalam peningkatan sumber daya manusia. Inilah pangkal soalnya. Bagi Jokowi sendiri, sejumlah aset yang berpindah tangan ke negara lain akibat kondisional kebijakan negara pasca jatuhnya orde baru 1998 patut dipertimbangkan agar dibeli kembali dengan harga yang wajar. Persoalannya, berapakah nilai dari kewajaran itu? Saya pesimis jika negara kecil seperti Singapura atau Thailand mau menjual kembali dengan harga dua kali lipat, boleh jadi lima hingga sepuluh kali lipat agar Indonesia tak sanggup membeli kembali nasionalismenya yang pernah hilang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian

Memosisikan Mahakarya Kybernologi Sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia[1]