Refleksi Pasopati (II)

Oleh. Muhadam Labolo


Dalam tahun-tahun yang membanggakan kini, kitapun berlomba dengan waktu yang kian menipis. Dalam dua-tiga tahun kedepan kita berada di titik terbaik dalam hidup, golden age, 50 tahun. Tentu saja patut disyukuri seraya mendoakan sejumlah sahabat Pasopati yang tak sempat tiba di titik itu.

Andaikan mereka bersama dalam ruang ini, perhentian kolektif kita dapat dinikmati pada tahun-tahun mendatang. Setidaknya, dari 808 anggota Pasopati yang terdaftar dalam buku kenangan akan pensiun perdana di tahun 2027. Akhir pensiun kolektif pada tahun 2033. Di luar itu, kelompok fungsional tahun 2038.

Pada 5 tahun kedepan (2027) ada 8 tugas belajar pensiun (1969). Pada 2028 ada 12 orang pensiun (1970). Tahun 2029 ada 25 orang pensiun (1971). Tahun 2030 ada 120 pensiun (1972). Terbanyak pensiun pada tahun 2031 dengan jumlah 428 (1973). Pensiun selanjutnya tahun 2032 sebanyak 200 orang (1974). Sisanya, pensiun tahun 2033 sebanyak 15 orang (1975).

Perkiraan di atas tentu dikurangi yang telah pensiun mendahului sebanyak 24 orang dan wafat 54 orang. Artinya, numerik di atas tak akan sebanyak itu, apalagi jika angka harapan hidup kita lebih rendah dalam 10 tahun kedepan. Menyadari itu, rentang hidup yang singkat ini perlu dikelola sebaik mungkin agar hari-hari selanjutnya penuh sukacita dibanding dukacita.

Agar kualitas sukacita itu dapat diperoleh dengan mudah, kita hanya perlu memperkokoh relasi horisontal sebanyak mungkin. Kata Aristoteles, satu musuh terlalu banyak, seribu kawan tak cukup. Untuk semua itu syaratnya cuma satu, sehat walafiat. Menimbang 89% mereka yang telah mendahului tak jauh oleh komplikasi jantung, diabetes dan ginjal. Sisanya, 11% kecelakaan.

Kualitas sukacita kedua dapat diperoleh lewat kekokohan kita membangun relasi vertikal. Spiritualitas berguna membimbing kita mengisi kualitas horisontal dalam berbagai posisi. Posisi apapun yang kita emban kiranya Tuhan mengarahkan pada jalan terbaik untuk diri dan lingkungan. Diri dalam arti pribadi yang kian membaik dari hari kehari. Lingkungan, dalam kontribusi kita pada nusa dan bangsa.

Dengan kualitas itu, produktivitas Pasopati tak hanya gemilang di dunia, juga cemerlang di keabadian. Angka harapan hidup di atas hanyalah upaya kita mengukur diri agar tak ada masa yang terbuang sia-sia. Kata Tuhan, demi waktu, kita ada dalam kerugian. Dalam kesadaran itu, kita hanya perlu melakukan reorientasi hidup selekas mungkin. 

Perubahan itu hendaknya pada tiga aspek penting, yaitu cara pikir, cara laku, dan artefak yang kita produksi selama ini. Cara pikir setidaknya terubah kedalam pilihan berpikir besar, berpikir positif, berpikir sehat, dan berpikir bijak. Terhadap laku sekurangnya bertindak jujur dalam semua tindakan. Pada artefak kita mampu menghasilkan legasi kepemimpinan yang amanah, dan pelayanan yang memuaskan sebanyak mungkin.

Pada sebaliknya, kita perlu mengecilkan cara berpikir negatif, sesat dan tendensius agar cahaya kekuasaan yang menyilaukan tak mudah menceburkan kita dalam kubangan derita di akhir tua. Tentu saja kita butuh sedikit waktu untuk sekedar relaksasi. Bersukacita atas legasi yang telah kita torehkan sebelum Sang Kuasa menjemput. Tapi bukan berdukacita atas sengsara dunia akibat sakit dan hukuman di buih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian

Memosisikan Mahakarya Kybernologi Sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia[1]