Membatasi Libido Kuasa Kepala Desa

Oleh. Muhadam Labolo

Unjuk rasa kepala desa soal perluasan kuasanya hingga 9 tahun tanggal 17 Januari 2023 di Senayan menarik dicermati sejak libido kuasanya dibatasi pasca collaps nya orde baru yang mencapai 8 tahun. Tentu saja hasrat meningkatkan durasi kekuasaan itu punya alasan politik di setiap momentum demokrasi. Hal ini bisa di baca dari dialektika antara kepala desa dan aktor politisi tertentu yang membonceng di tengah perhelatan pesta demokrasi.

Secara politik, kades dan politisi pengusungnya memiliki kepentingan berbanding lurus. Kucuran dana desa triliunan rupiah selama 8 tahun terakhir memberi alasan pragmatis mengapa kades begitu antusias memperlama kuasanya. Sementara aktor penyokong APDESI di Senayan memanfaatkan keinginan memperpanjang kuasa itu sebagai alat tukar untuk meningkatkan popular vote tidak saja bagi elektabilitas dirinya, juga partai pengusungnya. Simbiosis ini bersambut di tengah persiapan pesta demokrasi yang hanya menghitung waktu. 

Di masa orba, kuasa kepala desa dibatasi UU 5/74 selama 8 tahun dengan durasi maksimal 2 periode. Jauh sebelum itu masa jabatan kepala desa yang berstatus istimewa seperti volksgemenschap bisa sepanjang waktu menurut tradisi di masing-masing daerah. Dengan batasan 8 tahun itu kepala desa praktis dapat berkuasa maksimal 16 tahun. Itu bukan waktu yang pendek, melampaui masa jabatan presiden dan kepala daerah yang hanya 10 tahun.

Lamanya rentang waktu berkuasa itu, di tambah kekuatan orde baru yang menjadikan kepala desa sebagai tuas terujung sekaligus alat pentung negara hingga di pelosok desa, dengan sendirinya mematenkan karakter feodalisme dan gaya otoriternya. Kades berkuasa penuh sebagai Pemerintah Desa, sekaligus Ketua LKMD dan LMD.  Eksesnya, kepala desa turut membebani orde baru lewat praktek korupsi, kolusi dan nepotisme akut (Luthfy, 2019). 

Sepeninggal Orba 1998, masa jabatan kades dikoreksi lewat UU 22/99 menjadi 5 tahun, dan selanjutnya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Artinya masa jabatan itu berkurang dari total 16 tahun menjadi cukup 10 tahun. Pertimbangan itu senafas dengan spirit konstitusionalisme yang membatasi semua kekuasaan dari presiden hingga kepala desa (Assyiddiqie, 2010). Dengan begitu hasrat gigantisme berkuasa seperti Firaun pada semua entitas kekuasaan dapat dikendalikan sedini mungkin melalui perubahan sistem.

Maklum, sifat kekuasaan sebagai sumber daya langka kata Marx cenderung dipertahankan selama mungkin atau diperluas sejauh tanpa batas. Hasrat alamiah semacam itu dapat terjadi dimana-mana termasuk ketika Soekarno di dorong oleh pengagumnya agar berkuasa seumur hidup, atau Soeharto yang dipertahankan kroninya selama kurang lebih 32 tahun. Spirit ini pula yang kembali di usung para demagog presiden (buzzer) dan kepala desa hari-hari menjelang pesta demokrasi 2024. 

Kembali ke masa jabatan kepala desa, UU 32/2004 kembali membuat kompromi atas kehendak berkuasa kades. Dengan argumen tak cukup waktu menyelesaikan urusan di desa, rezim itu menambah satu tahun menjadi 6 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk 1 kali masa jabatan. Artinya, kepala desa dapat berkuasa kembali selama 12 tahun dari semula 10 tahun. Selisih itu rasanya masih dapat ditolerir mengingat visi pembangunan Indonesia dari desa mulai digaungkan sebelum memasuki perubahan kepemimpinan nasional.

Malangnya, ketika rezim 32/04 di pecah menjadi UU Pemda, Pilkada dan Desa, masa jabatan kepala desa menjadi 6 tahun dengan 3 kali berturut-turut atau tidak berturut-turut. Klausul itu terlihat pada pasal 39 ayat (2) UU 6/2014 Tentang Desa. Dengan pondasi itu masa jabatan kepala desa menjadi 18 lebih lama dari pengaturan UU 5/74 di masa Orba. Bahkan bila disetujui menjadi 27 tahun. Maknanya rezim desa kali ini jelas mengangkangi semangat konstitusionalisme yang sejak awal membatasi kekuasaan dari sistem otoritarianisme ke demokrasi.

Angka-angka numerik dalam sistem demokrasi seperti syarat parlemen treshold (2,5%), presiden treshold (0% atau 2%), pemilukada (30%, 25%, simpel atau absolut mayority, masa jabatan kepala negara/ pemerintahan (5x2), kepala daerah (5x2), hingga kepala desa (5,8,6,9x2) pada dasarnya adalah konsensus yang tak di atur khusus dalam konstitusi. Konstitusi sendiri berasal dari bahasa Perancis, constituer yang bermakna membentuk (hal-hal besar, umum, pondasi, pokok-pokok). Dalam konteks ini yang membentuk konsensus itu adalah rakyat (constituen). 

Jadi berapapun persentasi atau angka numerik matematik yang disepakati oleh pembentuk undang-undang sepanjang tak melanggar konstitusi tidak menjadi soal, termasuk masa jabatan kepala desa. Bisa dipahami mengapa Mahkamah Konstitusi tak pernah menolak Judisial Revieuw berkaitan dengan angka numerik seperti  kasus Presidential Treshold. Alasan Mahfudh MD ketika menjadi ketua MK, semua itu konsensus saja sejauh tak melampaui semangat konstitusionalisme.

Dalam kaitan dengan itulah saya mengedepankan tulisan di atas berdasarkan paham konstitusionalisme (Belanda, constitusionalisme). Paham konstitusionalisme adalah ide yang intinya pembatasan kekuasaan dalam sistem demokrasi. Ide klasik ini dikemukakan oleh John Locke dalam Two Treatises on Government (1690). Namun ada baiknya kita kenali basis gagasan itu dari An Essay Concerning Human Understanding (1999). Intinya, kapan manusia harus berhenti pada batas maksimal dari tambatannya.

Menurut Assiddiqie (2010), inti konstitusionalisme adalah pembatasan kekuasaan dari level tertinggi sampai terendah, termasuk kepala desa dalam hal ini agar tak semakin kemaruk kata Tere Liye (2023). Oleh sebab sifat kekuasaan cenderung korup kata sejarawan Inggris Lord Acton, maka dia perlu dibatasi, apalagi jika bersifat absolut, sudah pasti korup (power tends to corrupt, absolut power corrupts absolutely).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian

Memosisikan Mahakarya Kybernologi Sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia[1]