Mengontrol Keadilan Negara

Oleh. Muhadam Labolo

Pengadilan Sambo berakhir dengan putusan maksimal, hukuman mati (Selasa, 13 Februari 2023). Hakim tampak memuaskan dahaga publik atas keraguan akhir peradilan panjang pembunuhan Joshua Hutabarat. Keluarga korban, pengacara, jaksa, pengamat hukum, dan sebagian besar masyarakat memperlihatkan apresiasi lewat ekspresi di media sosial. Komentar itu seakan memberi pesan positif pada negara dan perangkat hukumnya. Tapi apakah keadilan tercapai?

Tujuan hukum pada dasarnya mencapai keadilan. Keadilan bermakna subjektif, semacam kepuasan atas penyamaan rasa, penghormatan atas hak-hak orang lain, atau memperlakukan seseorang sesuai hak dan kewajibannya. Almarhum dosen saya, Bernardus Luankali suka mengutip keadilan menurut filosof Aristoteles, terhadap hal yang sama diperlakukan sama, dan terhadap hal beda diperlakukan secara berbeda.

Keadilan banyak macamnya. Ada keadilan komutatif, distributif, kodrati alam, konvensional, dan perbaikan (restorasi). Dalam kasus Sambo, hakim setidaknya telah memperlihatkan keadilan komutatif, kodrati dan restoratif. Putusan hakim tak memedulikan status dan jasa apa yang telah diperbuat subjek hukum, entah dia jenderal kancil atau jenderal beneran (komutatif). Hakim seakan tak terpengaruh oleh jabatan dan jasa pelaku.

Putusan hakim juga memperlihatkan keadilan kodrati. Putusan itu seakan memberi justifikasi spiritual bahwa mata dibalas mata dan gigi dibalas gigi. Disisi lain, ekosistem pengadilan sejak awal telah memaksa subjek hukum memohon maaf baik pada keluarga korban maupun institusi dimana Ia mengabdi. Sampai disitu tentu saja semua stakeholders yang bertalian dengan kasus ini terasa telah diadili dengan adil. 

Apakah ada yang merasa tak adil? Tentu saja ada, yaitu terpidana hukuman mati, pengacaranya, dan kelompok aktivis pengusung anti hukuman mati (HAM). Keadilan memang tak bisa memuaskan semua pihak. Sudah pasti ada yang merasa tak adil. Itulah mengapa keadilan tertinggi dianggap ketidakadilan itu sendiri. Terlepas dari itu, negara setidaknya telah memperlihatkan keadilan maksimal yang dapat diraih oleh semua yang merasa dirugikan.

Negara telah memfasilitasi proses peradilan bagi warga negara yang tersakiti. Demikian tujuan negara dalam konstitusi, melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darahnya. Point ini penting digarisbawahi sekaligus mendongkrak indeks negara hukum Indonesia yang mengalami penurunan sejak tahun 2021 (World Justice Project). Tak hanya itu, secara kualitatif negara telah membangun trust yang akhir-akhir ini terasa susut.

Trust adalah esensi pokok dalam pemerintahan (Ndraha, 2002). Ikatan negara yang direpresentasikan pemerintah hanya mungkin tegak sejauh trust terpelihara dengan baik. Sebab itulah mengapa para aktor pemerintahan diberbagai negara mundur bila melanggar norma, tak lain karena krisis legitimasi (trust). Dengan putusan hakim terhadap Sambo, negara sedang mengirim pesan bahwa trust sedang diperbaiki, setidaknya dimulai dari kasus ini.

Meski begitu, putusan hakim tak boleh dibiarkan begitu saja. Tugas subkultur sosial tak bosan-bosannya melakukan kontrol berlapis-lapis. Membiarkan putusan bergerak sendiri oleh sistem yang rapuh oleh penegaknya, sama halnya membiarkan box TPS pemilu berjalan sendiri di tangan eksekutor akhir. Hasilnya, bisa mengecewakan. Lain putusan lain isi penjara, lain dipilih lain yang terpilih, lain yang dibicara lain pula yang dikerjakan kata Gus Dur.

Pada akhirnya keadilan mesti dicari, diperjuangkan, bahkan diawasi saban hari meski teks-teks konstitusi menjamin dengan terang-benderang. Keadilan tak akan datang dengan sendirinya kehadapan kita. Dia hanya fiksi dalam teks, yang bahkan dapat berubah menjadi fiktif dalam kenyataan. Tanpa kontrol, para aktor negara pun bisa alpa, Ia rentan dirasuki oleh kepentingan jangka pendek yang berselubung lewat jiwa penguasa sekaligus pengusaha.

Sebagai penguasa memungkinkan kita bertindak adil dan negarawan. Namun ketika sifat kuasa yang monopolistik tadi bersua dengan spirit pengusaha yang profit & pragmatis, dampaknya luar biasa. Kekuasaan yang serba mahal seringkali dipertukarkan lewat komoditi sumber daya oleh pengusaha. Jika Ia menyatu dalam satu tubuh maka loyalitasnya pada warga mendua, antara menegakkan keadilan atau memenuhi tuntutan materi. Disitulah keadilan seringkali raib tak sampai di lokus penghukuman, tergadai oleh sindikat perdagangan hukum di pasar gelap keadilan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian

Memosisikan Mahakarya Kybernologi Sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia[1]