Revolusi Industri dan Tantangan Kurikulum Pamongpraja Muda

Oleh. Muhadam

Spirit revolusi industri 4.0 kini mendorong perubahan diberbagai sektor, tak terkecuali industri pendidikan kedinasan seperti IPDN yang menanggung cita-cita hitoris dan luhur yaitu menciptakan sosok pengintegrasi bangsa, Pamongpraja Muda (PPM) dengan seperangkat pengetahuan intelektual, skill dan attitude. Dengan menggunakan pola pendekatan konsentrik pengajaran, pelatihan dan pengasuhan, IPDN sejauh ini telah berjalan dengan segudang prestasi yang ditorehkan alumnusnya dari daerah hingga pusat. 

Ditengah spirit revolusi industri itu, pertanyaan pentingnya apakah existing alumnus mampu menjawab tuntutan pemerintahan dan masyarakat dimasa akan datang? Pertanyaan itu tentu saja sekaligus mengandung peluang dan tantangan. Peluang dapat berjalan dan berbaris rapi dengan laju revolusi industri. Sementra tantangan hendaknya memberi kita kekuatan untuk mempersiapkan diri menghadapi peluang dimaksud. Disisi lain peluang memang terbuka lebar tetapi tantangan pun bukan sedikit. Salah satu peluang yang diberikan bagi IPDN adalah diakui sebagai perguruan tinggi kedinasan dengan status institut dibanding pendidikan kedinasan lain yang dipaksa menjadi politeknik. Tantangan terbesar kita dgn realitas hari ini adalah bagaimana merekonstruksi kembali sosok ideal Pamongpraja Muda (PPM) agar kompatibel dengan kebutuhan dilapangan pemerintahan. 

Salah satu cara itu adalah meraba dengan sungguh-sungguh kebutuhan pasar (market signal) sebelum dicari ilmu pengetahuan macam apa yg akan diajarkan kemudian (scientific vision). Masalahnya apakah problem market signal di pusat dan daerah sama? Apakah kebutuhn alumnus di Indonesia timur, tengah dan barat sama? Mencermati output alumnus yg disebar di sejumlah kementrian (Kemenpan, Kemendagri, BPK, KPK dll) tentu saja penting dipertimbangkan kembali kompetensi apa yang tepat untuk mereka. Setidaknya mereka tidak kebingungan ketika disodorkan persoalan tata kelola keuangn dasar yang suka tidak suka mesti diselesaikan. User seringkali tidak peduli anda darimana, mereka yakin alumnus dapat mengelola keuangan desa hingga tingkat departemental. Sementara di wilayah Indonesia timur penting dicatat bahwa kepemimpinan dengan pendekatan socio-cultural masih menjadi perhatian serius dibanding pola kepemimpinan socio-rasional seperti di DKI Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Dengan mempertimbangkan hal itu  dapat diimajinasikan sosok PPM seperti apa yang akan kita produk dimasa akan datang. Bila sosoknya terbayangkan maka pekerjaan berikutnya adalah memilah dan memilih ilmu pengetahuan macam apa yang diperlukan untuk membentuk sketsa ideal semacam itu. Sebab boleh jadi user berharap roti buaya tapi yang tercetak hanya buayanya, sementara bagian terenaknya (roti) justru gagal produk. Secara umum, dari tiga variabel utama yang mesti kita bentuk kedepan yaitu karakter, kompetensi dan literasi (Baswedan,2018), variabel terakhir rasanya masih berceceran. 

Karakter praja, baik karakter moral maupun karakter kinerja over all tidak banyak masalah kecuali satu dua. Itu biasa, sebab buah mangga tak semua mencapai tahap panen, sedikit banyak ada yang tak layak dipetik untuk dikonsumsi. Itu tugas utama pengasuhan yang selama ini konsisten dan fokus pada pembentukan sikap yang unggul (attitude). Dari aspek kompetensi, sosok PPM kedepan membutuhkan keahlian (skill) agar kemampuan kritisnya, kreativitasnya, komunikasinya, serta kemampuan kolaborasinya berada dilevel standar. Catatan terakhir yang mesti menjadi perhatian kita adalah kemampuan literasi, baik literasi sosial, data, maupun teknologi. Menimbang sejak awal Praja hidup bersama dalam bentuk boarding school yg berbeda latar belakang, maka soal literasi sosial saya pikir bukanlah masalah pelik. Itulah mengapa kebijakan distribusi PPM dengan pendekatan regional selama dua tahun bukan kendala. Menurut tangkapan sepintas, tantangan terbesar kita saat ini terletak pada bagaimana meningkatkan literasi data dan literasi teknologi. Literasi data berkaitan dengan kemampuan PPM untuk membaca informasi dengan cepat, mampu menganalisis secara tajam, serta mampu menyuguhkan pilihan alternatif kebijakan yang memadai. Literasi data tidak saja menyangkut kemampuan membaca perubahan regulasi/norma, tapi lebih dari itu kemampuan membaca manajemen teknis keuangan dan perkembangan dinamika sosial. Sebab sejumlah PPM yang kini mendekam di lapas lebih disebabkan karena rendahnya literasi keuangan dan hukum administrasi hingga membawa mereka ke penegak hukum. Pada akhirnya, pengetahuan akan literasi data bergantung sepenuhnya pada kemampuan literasi teknologi sebagai dampak dari revolusi industri 4.0. Kesanalah kurikulum kita mesti didesain dan dikonstruksi kembali.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian

Memosisikan Mahakarya Kybernologi Sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia[1]