Menjaga Skeptisisme

Oleh. Muhadam Labolo


Seluruh realitas pada dasarnya hanyalah kumpulan persepsi manusia semata. Setiap pemikiran yang tak dapat di lacak pada kenyataan empirik mesti di tolak. Demikian kata David Hume suatu saat dengan istilah bundle of perception (1711-1776). Gagasan itu menjadi salah satu prinsip penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu sikap skeptisisme. 

Skeptisisme dibangun untuk memperoleh kebenaran yang lebih presisi. Tak hanya itu, keraguan merangsang ilmuan melangkah untuk membuktikan. Dalam rimba pengetahuan, semakin tebal sikap skeptisisme semakin besar peluang mengungkap hakekat kebenaran sekalipun sifatnya relatif. Yang benar datangnya dari Tuhan, yang salah dari manusia, itu kata kaum bijak religi.

Skeptisisme penting untuk membatasi keyakinan ilmuan menjadi absolut di tengah derasnya perubahan sosial. Tanpa keraguan kita dapat menelan mentah-mentah informasi yang luput di saring. Berbeda dengan absolutisme agama yang cukup dijalani. Kebenaran dalam pengetahuan membutuhkan konfirmasi, bukan terjebak pada permainan diksi di media sosial. Dinamika sosial bergerak bukan di bilik hampa. 

Setiap manusia terlahir di tengah dinamika sosial yang muncul jauh sebelum kita eksis. Maknanya semua gagasan dipengaruhi masa lalu yang menciptakan rangkaian bagi jalan ke masa depan. Itulah mengapa sebuah proposal penelitian selalu diawali oleh jejak penelitian terdahulu. Sekali lagi membuktikan bahwa ide kita tak diawali oleh pikiran kosong.

Demikian halnya dalam relasi kekuasaan. Ketika Soekarno memperlihatkan kecemerlangan membawa Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan, semua takjub. Keindahan retorika dan kepemimpinan penuh pesona membuat kaum demagog memimpikan presiden seumur hidup. Itu ditawarkan berkali-kali sekalipun Soekarno menganggap itu ide berlebihan (Hanafi & Cindy Adams,1963). Sejarah mencatat, akhir hidup proklamtor hebat itu merana. 

Di episode selanjutnya Soeharto memasuki arena kekuasaan. Hampir tak ada satupun yang berani mengingatkan kapan Ia mesti berhenti. Kesuksesan menaikkan harkat pembangunan bangsa dinilai oleh kroni sebagai prestasi yang pantas dihargai dengan melanggengkan kekuasaannya selama lebih 32 tahun. Harmoko akhirnya mengingatkan sekalipun Ia yang membutakan. Bapak pembangunan itu pergi pula dengan nelangsa.

Dua tragedi di atas terjadi oleh sebab sebagian besar kaum ilmuan dalam pemerintahan kehilangan sikap skeptisisme ketika membaca narasi penuh keajaiban diksi. Ibarat berada dalam sergapan pandemi, kita seringkali kehilangan penciuman dan rasa hingga gagal menciptakan penilaian objektif atas peristiwa sosial yang rentan berubah. Termasuk kelalain kita membedakan mana fiktif dua triliun dan mana fiksi dua ribuan misalnya.

Sekali lagi, sebagai seorang ilmuan, sikap skeptis dapat dipakai untuk membentuk kehati-hatian dalam mengambil kesimpulan yang relatif. Pada sisi lain mendorong kita terus melakukan pengamatan agar setiap pemikiran dapat dikonfirmasi pada realitas senyatanya. Inilah kegunaan skeptisisme dalam melawan subjektivisme berlebihan di tengah perjumpaan kepentingan di dunia maya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian

Memosisikan Mahakarya Kybernologi Sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia[1]