Motivasi & Kualitas Pendidikan

Oleh. Muhadam Labolo

Psikolog sosial McClelland dalam buku klasiknya The Achieving Society (1961)  menggambarkan hasrat sosial pada tiga kebutuhan utama yaitu needs for power, needs for affiliation & needs for achievement. Tiga kebutuhan itu dikembangkan dua puluh satu tahun setelah Maslow meletakkan theory of needs yang bersifat piramidal (1940).

Needs for power, adalah kecenderungan yang dicirikan oleh hasrat menguasai atau dikuasai, relasi kuat-lemah, superior-inferior, penyeragaman dan takut pada perbedaan, membangun rivalitas bukan kompetisi, serta menguatkan kroni dibanding kompetensi.

Need for affiliation adalah ketergantungan pada kelompok, kecemasan bila tak memperoleh pengakuan, mementingkan popularitas semu, berlindung di sebalik kelompok yang paling menguntungkan, cara memandang dan mementingkan pada soal siapa, bukan tentang apa (the singer, not the song).

Need for achievement berhubungan dengan semangat kompetisi secara sehat, komitmen dan berusaha mencapai hal terbaik, menetapkan tujuan secara terukur, menghitung resiko & rintangan dari dalam dan luar, realistis dan menyadari keterbatasan, tak berharap pujian, menggunakan umpan balik, mengambil tanggungjawab pribadi, tak cepat puas, serta mencari tantangan baru.

Dalam organisasi birokrasi, ketiga karakteristik kebutuhan itu dapat bersemayam pada eselon tertentu. Penelitian Mukadis (2006) pada sebuah BUMN menunjukkan bahwa kebutuhan akan achievement hanya milik golongan rendahan. Makin rendah eselon makin tinggi nilai achievement dibanding eselon  sebaliknya.

Pada eselon tinggi, hasrat terhadap needs for power semakin meluap. Menariknya, baik mereka yang berada di top manejer maupun rendahan punya need for affiliation yang relatif sama. Sama-sama membutuhkan proteksi, dihantui perasaan cemas, butuh pengakuan, ingin populer dan mementingkan siapa.

Bila temuan itu ada benarnya, kita boleh menduga bahwa pendidikan hingga level tertentu belum berhasil mendorong achievement, bahkan mungkin menghentikan meningkatnya nilai achievement itu sendiri. Pendidikan lebih pada upaya memperlihatkan kuasa lewat gelar yang disandang.

Lebih jauh dapat dimaknai, motivasi sekolah dan berpendidikan tinggi lebih pada upaya memperluas kekuasaan, atau alat memperoleh keuntungan dan kenikmatan di semua sektor yang mensyaratkan gelar pendidikan. Pendidikan menjadi ladang industrialisasi yang memproduk ijazah sebanyak mungkin, bukan achievement.

Kuasa yang dalam bilik formal di sebut wewenang (authority) tampak masih dipandang sebagai upaya meluaskan dominasi dan hegemoni, bukan tanggungjawab (responsibility). Akibatnya, ciri kepemimpinan mewujud lewat perintah (order), paksaan (coersive), kekerasan (violance), dan ancaman (threat).

Penelitian itu menjelaskan pula bahwa budaya kerja keras belum dianggap sebagai sikap yang diidealkan tapi ciri orang miskin yang berusaha keluar dari lingkaran setan kemiskinan. Harapannya, bila telah kaya manusia tak perlu bekerja keras. Jadi nilai kerja keras sebagai bagian dari karakter kinerja bukanlah talenta yang justru dipelihara sebagaimana ciri bangsa maju.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian

Memosisikan Mahakarya Kybernologi Sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia[1]