IB Gelap Immanuel Panggabean

Oleh. Muhadam Labolo

Immanuel Panggabean lahir di Medan, 12 Juni 1973, kontingen DKI Jakarta. Teman semarganya Sihar Panggabean. Selain mereka, ada Ali Mansur Siregar, dan keluarga besar Sitorus seperti Jackson Sitorus, Henri Perez Sitorus, Martua Sitorus dan Thomas Sitorus. Sebenarnya, nama asli Immanuel panjang, Immanuel Panuturi Maruli Tua Panggabean, disingkat Immanuel PMT Panggabean. Lebih singkat lagi, Immanuel.

Immanuel lahir dari keluarga berada. Ayahnya pejabat tinggi di Dairi, Sumut. Rumahnya di Medan sebelahan dua rumah dengan Faisal seangkatannya, Kepala BKD Provinsi Sumut. Tragisnya, tepat seberang rumahnya berhadapan dengan Andre Lubis, senior 03. Nyaris sepanjang hidup di masa Muda hingga Madya, Ia tak pernah merasa tidur nyenyak. Serasa di awasi senior di kampus, lebih lagi cuti. Gerak-geriknya terkontrol hingga wajah stresnya menggambarkan titik kumpul dilapangan Parade. Bila mungkin dibayar asal tak jumpa senior dan pengasuh, Ia cash & carry.

Sampai tulisan ini dibuat beliau tugas di Satpol PP Kota Jakarta Selatan. Sepasukan dengan anak mantan kopasus, birokrat sekaligus pengusaha, Nanto. Immanuel tak banyak berubah, gaya hidupnya sama waktu hidup di barak. Beliau tak ambil pusing omongan orang soal ikat pinggangnya yang selalu miring. Beliau nikmati hidup apa adanya. Jalannya pun agak miring, mirip Aan di Lumajang dan Dray Febrianto, pejabat penting di Bone.

Dengan style itu, banyak pegawai di DKI tak percaya bahwa beliau alumni Manglayang. Untuk tetap jujur, kata Nanto pada yang bertanya, "di kampus kami, ada praja kelas A1, ada juga yang kelas A2 dan A3. Kalo yang kelas A1 itu yang ranking. Nah, kalo ini yang masuk kelas A3." Geli juga dengarnya, maksudnya biar maklum dan cepat bubar. 

Immanuel dan beberapa kawan lain suka jadi maskot di Pasopati. Waktu mudapraja apalagi. Setiap kesalahan menjadi beban bagi semuanya. Dari lima praja yang rajin dipanggil, pasti Immanuel salah satunya. Pendeknya, bila apel pagi, siang dan malam, nama beliau lebih populer dari calon fungsionaris. Baru sadar, rupanya kita bisa juga terkenal lewat panggilan rutin semacam itu.

Suatu saat Immanuel IB gelap sendirian. Di jalan, kebetulan ketemu pelaku yang sama, Sondang dan Subhan Lanusi. Karena kuatir sendirian, Immanuel membujuk, "siapa ikut aku, ku kasi dollar." Tentu saja Sondang kepincut. Ia dengan mudah ikut Immanuel. Kata Subhan, "dasar matre kau." Berpisahlah mereka dipersimpangan. Masing-masing mengambil jalan pintas ke Bandung.

Saat ke kampus Immanuel kena apes. Tak sengaja berpapasan dengan Jaga Manggala, Pengasuh Amin Daulay. Jumpa terakhir Amin telah resain dari ASN, jadi pengusaha. Dia di interogasi habis-habisan di Posko. Pertanyaan Amin Daulay persis Kasatreskrim di Kota Medan, "ngakulah kau, dengan siapa kau IB hah?" Berkali-kali Immanuel di tekan sambil di bujuk rayu agar ngaku. Mungkin Amin menawarkan semacam kompensasi justice collaborator.

Akhirnya, Immanuel tak tahan dengan siksaan dan tekanan. Secara physikologis mentalnya dihancurkan lewat ancaman dan tindakan fisik. Pada detik berikutnya dia ngaku, "siap, bersama Sondang pak!" Amin Daulay lega, interogasi selesai dalam tempo singkat, Sondang dipanggil menghadap via Toa Manggala. 

Dengan cemas Sondang bergegas setengah berlari ke Posko. Wajah Immanuel tak bisa dibayangkan, takut dan menyesal membuka rahasia pelarian seharian itu. Di Posko, wajah Sondang pun gugup, takut, menyesal dan lebih dari itu, murka melihat wajah Immanuel. Dia langsung menebak duduk perkara sekaligus membayangkan pasal perdupra yang dilanggar, berat. "Kau yang ajak aku, kau pulak yang laporkan aku, kima kau!," begitu kira-kira bisikan Sondang disampingnya. Immanuel diam dengan wajah sayu.

Amin puas menyelesaikan tugasnya di depan kedua tersangka. Untung dia tak menyebut Subhan. Kalo iya, bisa tambah tersangka baru. Amin melampiaskan bagian fisiknya. Sisanya, keduanya di gundul dan pakai PDL selama seminggu. Immanuel keluar dari posko dengan kepala bersih dan wajah lesu seperti habis di perkosa. Sementara Sondang keluar Posko dengan perasaan gondok seperti pedagang kaki lima di usir Satpol PP.

Dihari-hari berikutnya keduanya menjalani hukuman dengan pasrah. Sekalipun begitu, Immanuel tak pernah merasa bersalah, Ia tetap hidup dengan wajah datar dan dingin. Mungkin dalam pandangan Immanuel semua sama saja.  Anda pakai kur atau tidak, baginya sepanjang bisa diajak kolaborasi dan menguntungkan, anda adalah teman yang baik. Bagi Sondang, ini mungkin kolaborasi pertama dan terakhir dengan Immanuel, sebab resikonya terlalu berat. Tak ada jaminan tutup mulut !

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian

Memosisikan Mahakarya Kybernologi Sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia[1]