Kewenangan Menetapkan Kondisi Darurat

Oleh. Dr. Muhadam Labolo 

Menurut konstitusi pasal 12 UUD 1945, Presiden menyatakan keadaan bahaya, syarat-syarat dan akibatnya dalam keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang. Jika merujuk pasal dalam konstitusi tersebut maka keadaan bahaya itu mesti dilihat dalam tiga aspek utama. Berdasarkan UU 24/2007 Tentang Penanggulangan bencana, keadaan bahaya itu dapat disebabkan oleh tiga hal yaitu alam, non alam, dan manusia. Sebab alam misalnya gempa bumi, tzunami, kekeringan, banjir, gunung meletus, angin topan, dan tanah longsor. Faktor non alam misalnya, gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Sedangkan faktor manusia seperti konflik sosial, kelompok, komunitas maupun teror. Yang terakhir diatur lewat UU No.7/2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial.

Bila merujuk pada undang-undang diatas, kasus corona termasuk bencana non alam (epidemi dan penyakit menular). Dalan undan-undang tersebut penanggungjawab utamanya adalah pemerintah dan pemerintah daerah. Soal bagaimana dan dalam konteks apa masing-masing bertanggungjawab diatur lewat peraturan pemerintah. Keduanya punya lembaga struktural yaitu BNPB pusat dan daerah. Jika dicermati ketiga bahaya diatas adalah bahaya internal. Status daruratnya sering disebut darurat sipil yang dapat berkembang sesuai kondisi.

Berbeda dengan bahaya eksternal seperti perang, hal ini diatur khusus lewat UU 74/57. Undang-undang ini kemudian dicabut dengan Perpu No. 23/59. Dalam Perpu ini jika negara dinilai dalam keadaan bahaya maka Presiden selaku pemegang tertinggi angkatan perang berhak menyatakan negara dalam keadaan bahaya. Statusnya sering kita sebut sebagai darurat militer.  Diskresi ini sesuai amanah Pasal 22 ayat (1) UUD 45 yang memberikan kewenangan penuh pada Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa untuk mengambil tindakan. Mahkamah Konstitusi telah memaknai pasal tersebut sebagai subjektivitas Presiden. Namun demikian kegentingan memaksa secara teoritik berkaitan dengan kondisi yang bersifat mendadak/urgensif, menyangkut kepentingan orang banyak yang mesti dilayani, dan jika tidak akan menimbulkan dampak yang lebih luas.

Hal diatas tentu berbeda dengan pengaturan pada UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, Presiden dan Kepala Daerah memiliki wewenang yang sama dalam hal menetapkan satu lokasi berada dalam situasi darurat bencana, tergantung eskalasinya masing-masing. Bila dinilai eskalasinya bersifat nasional maka Presiden berhak menetapkan kondisi darurat bencana (solus populi suprema lex). Demikian pula bila eskalasinya terbatas di daerah tertentu maka kepala daerah dapat menetapkan kondisi darurat.

Jika lock down dimaknai sama dengan karantina, artinya baik Presiden maupun Kepala Daerah dapat menetapkan lock down bergantung eskalasinya masing-masing. Konsekuensi penting yang mesti diperhatikan adalah bahwa setiap kebijakan karantina menjadi tanggungjawab penuh pemerintah. Konsekuensi itu diatur lewat UU No. 6/2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan Pasal 55 ayat (1), dimana selama karantina diberlakukan seluruh kebutuhan dasar orang dan temak menjadi tanggungjawab pemerintah. Itulah mengapa pemerintah sangat berhati-hati dalam mengambil kebijakan lock down di hari-hari ini. Artinya, siapapun itu baik pemerintah maupun pemda yang melakukan kebijakan lock down wajib memenuhi kewajiban dasar sebagaimana amanah kebijakan tersebut. Terlepas dari itu pembatasan akses, karantina, maupun lock down haruslah bersifat terbatas dari sisi area maupun waktu agar tak menimbulkan caos semisal di Itali dan Inggris.  Bagaimanapun pemerintah dalam arti luas termasuk pemerintah daerah baik dalam kedudukan sebagai wakil pemerintah pusat maupun daerah otonom. Bila pemerintah daerah menyadari bahwa urusan kesehatan adalah urusan wajib konkuren (wajib dasar) maka suka tidak suka menurut UU 23/2014 tentang Pemda, kepala daerah wajib bertanggungjawab dalam hal urusan kesehatan sekalipun dalam konteks tertentu dapat berbagi tanggungjawab dengan pemerintah pusat. Di Amerika dan Itali, pemerintah otomatis mengeluarkan kebijakan seperti hibah, pinjaman dan kompensasi.

Hal yang sama bila bencana disebabkan oleh ulah manusia seperti konflik sosial. UU 7/2012 Tentang Penanggulangan Konflik Sosial memberikan kewenangan penuh pada pemerintah daerah dan pusat untuk menentukan kondisi siaga berdasarkan derajat dan eskalasinya masing-masing.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian

Memosisikan Mahakarya Kybernologi Sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia[1]