Mengendalikan Banishing Bureaucracy

Oleh. Muhadam Labolo
Memenuhi lima visi besar Presiden, reformasi birokrasi di periode kedua kali ini dilakukan lewat pemangkasan birokrasi (banishing bureaucracy). Masalah psikologisnya karena objek dari penyederhanaan itu justru berada dilini terdepan pelayan birokrasi, eselon tiga dan empat. Bisa dibayangkan, ibarat mengurangi lebah pekerja yang sehari-hari bertugas menyusun konstruksi bangunan bagi tetesan madu dalam mangkok birokrasi pemerintahan. Dampaknya pasti ada, setidaknya demoralisasi kinerja bagi kurang lebih 95% total ASN super aktif yang kini duduk di kursi eselon 3, 4 dan mungkin 5. 
Dalam bangunan birokrasi, level eselon tiga dan empat ibarat penyusun batu bata, pekerja kasar, dan sedikit-banyak penghalus bangunan. Tanpa susunan mayoritas semacam itu, bukan mustahil front terdepan birokrasi bisa lumpuh, alih-alih mendorong efisiensi dan efektivitas, boleh jadi roda pemerintahan bergerak lamban bahkan berjalan ditempat. Mesti diakui bahwa level eselon itulah yang selama ini menjadi kaki-tangan dan ujung tombak birokrasi, selain penyumbang terbanyak kinerja birokrasi di puncak rantai kekuasaan. 
Bila level eselon tiga dan empat dipaksa mensubstitusi diri kedalam organisasi fungsional, masalahnya apakah cara kerja fungsional akan efektif sebagaimana cara kerja struktural yang bergerak atas prinsip-prinsip klasik birokrasi Weber.  Jika kondisi itu yang diinginkan, bagaimanakah sebaiknya pengaturan cara kerja fungsional dalam ruang birokrasi yang sejak awal cenderung mengidap patologis. Cara kerja fungsional lazim bergerak bebas diruang yang membutuhkan atmosfir merdeka. Itulah mengapa kebijakan Mendiknas kini menggandeng kata merdeka, baik merdeka belajar maupun merdeka kampus. Sementara organisasi struktural terbiasa bergerak dalam ruang yang ketat hirarkhi, impersonal, spesialisasi, dan formalistik. 
Ada baiknya penyederhanaan birokrasi lewat strategi mengeliminir dua strata terbawah tadi mesti dibarengi oleh strategi perubahan budaya birokrasi yang lebih serius. Masalahnya, sejauh seri reformasi birokrasi itu dicanangkan sejak rezim sebelumnya, tetap saja yang berubah adalah strukturnya, bukan kulturnya. Padahal, bagian inilah yang jauh lebih penting dilakukan agar cara berpikir, melayani, dan menghasilkan barang & jasa mampu menciptakan kepuasan bagi masyarakat luas. Lewat berbagai strategi perubahan kultur birokrasi dengan sendirinya efisiensi dan efektivitas yang menjadi tujuan reformasi birokrasi itu dapat diraih dalam jangka panjang. Jepang, Korea Selatan, dan China adalah sedikit contoh negara di Asia yang mampu mengubah kultur birokrasinya. Beberapa diantaranya adlah mengubah mindset bahwa birokrasi bukan tempat mengoleksi kekayaan, birokrasi bukan perusahaan nenek-moyang orang-perorang yang dapat diserah-terimakan, birokrasi bukan ruang politik yang suka dipolitisasi, atau birokrasi bukan tempat memamerkan kekuasaan, jabatan, apalagi pundi-pundi keberhasilan mengumpul selama bertahun-tahun. Itu ciri masyarakat traditional pengumpul (nomaden) yang pernah hidup ribuan tahun lalu. Birokrasi tempat untuk melayani orang banyak, bukan tempat melayani kepentingan satu-dua dan segelintir orang. Dan itu bukan hal mustahil, sebagaimana pernah dipraktekan kaum Pamongpraja di Keraton Jogjakarta, atau sosok negarawan seprti Soedirman, Hoegeng Imam Santoso, dan Moh. Hatta yang hingga akhir hayatnya tak sempat menikmati sepatu Bally
Tampaknya, gagasan Osborne & Geabler yang diperkenalkan sejak tahun 1992 guna mewirausahakan birokrasi ternyata lebih produktif melahirkan birokrat yang rajin memakmurkan diri pribadi daripada orang banyak. Pada titik itu kita sepakat dengan visi presiden untuk mengubah kultur birokrasi ketitik asalnya, bukan menghasilkan birokrat temain gadget akibat kelebihan personil dan ketiadaan pekerjaan. Tentu saja ditengah etos kerja, kerja dan kerja tersebut, kita membutuhkan birokrasi yang berperforma slim, efisien, efektif, high-tec dan tetap humanis.  Mudah-mudahan visi baik itu tak gagal diterjemahkan oleh para pembantunya, apalagi kebijakan ASN lewat UU 5/2014 tak mengenal lagi stratifikasi eselonering.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Memosisikan Mahakarya Kybernologi Sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia[1]