Mencari Jalan Terbaik Bagi Masa Depan IKAPTK Pasca Kongres

Oleh. Muhadam Labolo




Banyak alumni bertanya apakah agenda besar yang dihasilkan Munas IKAPTK ketiga tahun 2020. Dalam dua periode pasca rekonsiliasi atas basis alumni KDC, APDN, IIP, STPDN & IPDN, kita telah melalui babak yang penuh ketidakpastian. Situasi itu kita jahit kembali lewat integrasi alumni yang melahirkan wadah bersama IKAPTK. Sebenarnya, harapan alumni pada paguyuban yang dinilai paling solid, kredibel, terstruktur, berhirakhi, berkorsa, memiliki semangat esprit de corps tinggi serta bermasa depan cereal itu tak banyak, kecuali kepedulian yang serius terhadap nasib 20 ribuan alumni ditengah ketidakpastian posisi dalam biduk birokrasi yang penuh onak dan duri. 

Membandingkan sumberdaya IKAPTK yang basisnya diproduk massal & khas itu tentu jauh lebih menjanjikan dibanding produk alumni lain. Organisasi ini secra faktual memiliki kelebihan baik aspek sosio-cultural, politik dan ekonomi. Secara sosio-politik alumninya memiliki basis kepemimpinan yang diakui secra de jure maupun de facto. Modal strategis itu tentu menjdi daya tarik paling sexy diantara alumni lain ketika berhadapan dengan sirkulasi kekuasaan baik ditingkat daerah maupun pusat. Dari aspek ekonomi, bila dikalkulasi acak, kekuatan berjenjang dan terdistribusi merata dari Sabang sampai Merauke itu memiliki sumber daya finansial yang mungkin melampaui APBD satu daerah otonom baru kalaupun ditarik 100 ribu rupiah dari kocek terendah seorang alumni perbulan. 

Ditingkat imajinasi kedua aspek itu tidak saja menjanjikan, juga membanggakan hingga kita dapat bermimpi one day IKAPTK dapat mengantarkan seorang alumninya ke level puncak kekuasaan, Presiden Republik Indonesia yang kesekian. Tentu saja untuk mewujudkan semua impian di siang bolong itu membutuhkan kepemimpinan alumni yang tidak saja akseptabel juga memiliki kemampuan memobilisasi sumber daya yang berserakan lewat wadah besarnya IKAPTK. Kedepan, kepemimpinan alumni diharapkan mampu mengelola dua potensi besar diatas, yaitu potensi sosial politiknya dan potensi sumberdaya ekonominya. Bila itu dilakukan maka semua optimisme kita atas masa depan alumni bukanlah mimpi di siang bolong, tapi visi yang realistis. 

Unfortunately, kekuatan besar IKAPTK itu mengalami polarisasi yang entah disengaja atau tidak dapat mengancam potensi atas masa depannya sendiri. Alih-alih membayangkan organisasi itu berjalan kearah konsolidasi yang semakin menguatkan, yang terjadi adalah gejala fragmentasi akibat ketidaksiapan kita untuk saling menahan diri ditengah kondisi luar biasa yang dihadapi bangsa ini. 

Kepemimpinan pada pokoknya membutuhkan legitimasi. Legitimasi berkaitan dengan seberapa jauh tingkat penerimaan kita pada kepemimpinan terpilih. Ukurannya hanya dua, proses dan hasil. Bila prosesnya baik namun partisipasi pemilihnya rendah dapat dinilai tak legitimate. Sebaliknya, bila hasilnya memenuhi standar sesuai konsensus normatif (baik absolut maupun simple mayority) namun proses yang dilalui dinilai tak sesuai, bisa jadi tingkat legitimasinya dipersoalkan baik secara moral maupun secra hukum. Itulah mengapa disebut legitimasi (lex & supremacy). Artinya, penerimaan tertinggi peserta ditentukan oleh dua aspek diatas, proses dan hasil. Proses biasanya berkaitan dengan persoalan moral, etik, standar-standar tertentu sbagai syarat, sementara hasil lazim berhubungan dengan perkara tercapainya legalitas yuridisnya atau hasil yang kita sebut quorum. 

Dalam konteks IKAPTK kita tak mempersoalkan siapapun yang terpilih bila mekanisme dan hasil yang disepakati telah memenuhi aspek diatas. Bagi kita sbagai anggota yang berprofesi homogen (ASN), tanpa kongres luar biasa pun, cukup dengan menunjuk kepemimpinan berikutnya tak ada soal, lagi-lagi sepanjang memenuhi dua aspek diatas yaitu proses dan hasil, semua akan menerima dengan lapang dada. Dengan begitu akan tercipta preseden positif bagi kaderisasi serta menciptakan pengaruh kuat bagi organ dibawahnya. Sebab faktanya, organ paguyuban angkatan jauh lebih solid dibanding organisasi IKAPTK sebgai gravitasinya. 

Akhirnya, bila semua peserta munas di pusat dan daerah sbagai pemegang mandat tertinggi meletakkan kepentingan yg lebih besar sbagai perhatian utama (solus populi suprema lex) maka tidak ada cara lain kecuali menyudahi potensi polarisasi ini agar tak cenderung menjadi babak kedua yang semakin meretakkan dan bukan menyatukan. Pendek kata, meminjam istilah Pance Pondag, suka tidak suka mesti dicari jalan terbaik sekalipun pasti akan sedikit banyak menguras tenaga dan pikiran kita. Selamat Kongres Nasional III IKAPTK.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian

Memosisikan Mahakarya Kybernologi Sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia[1]