Bom Pandemi di Pilkada

 Oleh. Muhadam

Pandemi kali ini tak kunjung melandai. Alih-alih mendatar, angkanya meroket menimbulkan kepanikan dimana-mana, tak terkecuali mereka yang mengambil bagian dalam pesta demokrasi, pemilukada. Kecemasan terburuk kita adalah ketika pesta berubah menjadi puncak bencana. Bukan mustahil, semua area pencoplosan diperkirakan dapat menjadi klaster terbaru hingga mencapai titik ledak bom atom sebagaimana prediksi Qodari (2020). Bila itu bukan spekulasi positivity rate, alamat salah pasti ditujukan ke pelaksana pesta demokrasi sebagai upaya sistemik, terstruktur, masif, dan terencana. 

Demokrasi hanyalah sebuah pilihan sistem. Mekanismenya tersedia sesuai kebutuhan, tinggal ditarik dirak buku, manakah yang lebih efisien dan efektif diterapkan dimasa sulit semacam ini. Apalagi kita kaya akan pengalaman soal praktek demokrasi melebihi negara-negara di Asia Tenggara. Memaksakan pesta ditengah ancaman pandemi sama saja bunuh diri massal. Pesta biasa dengan skala kecil dikampung kita bubarkan, apalagi pesta besar yang melibatkan ribuan bahkan jutaan orang. Itu konyol, pelaksana bisa dituduh pembunuhan berencana. 

Pilihan terbaik menunda kata Jusuf Kalla (2020), apalagi secara normatif perubahan ketiga Perpu 2/2020 pasal 201a membuka peluang tersebut. Kedepan, mekanisme terbaik adalah mempercayakan pilihan pada wakil rakyat sampai dengan situasi pulih. Ini lebih menjawab separoh masalah urgen dibalik ancaman Covid 19 tanpa mesti demokrasi dibajak secara teknis oleh Pamswakarsa atau kembalinya dwifungsi militer ke ruang sosial politik sipil. Kualitas demokrasi tentu saja akan ditentukan oleh partisipasi pemilih, keaktifan parpol, kesediaan peserta, serta kehadiran para pelaksana sekaligus wasit. Bila kontribusi dari semua variabel tersebut tak signifikan, kualitas demokrasi terancam nihil substansi kecuali prosedural semata. Inilah yang dikuatirkan Gus Dur (1999).

Andaipun kita lanjutkan dengan mengedepankan alasan demokrasi, kita justru sedang membunuh hak hidup sebagai esensi fundamental manusia (solus populi suprema lex). Demokrasi memang bukan-satunya pilihan sistem politik terbaik, tetapi ia menawarkan banyak hal termasuk menjunjung tinggi hak asasi manusia. Seburuk apapun sistem, ia bergantung pada manusianya. Sejarah telah memperlihatkan kepada kita, bahwa beragam sistem yang diterapkan sejak dulu hingga kini bergantung pada integritas manusianya. Itulah mengapa tugas pertama para nabi adalah mendidik manusianya sebelum mengkonstruksi sistem terbaik dimasa itu. 

Bila kita percaya bahwa sistem yang buruk akan memaksa orang baik menjadi buruk, atau sistem yang baik akan memaksa orang buruk menjadi baik, maka yang perlu disiapkan adalah manusia berintegritas yang mampu membuat aturan teknisnya. Bilapun manusia dilarang membuat hukum, setidaknya Ia wajib merujuk pada prinsip-prinsip general yang konon berasal dari Tuhan dan hukum kodrati (natural of law). Dengan demikian semua aturan teknis itu juga mengandung perintah Tuhan serta alam semesta.

 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian

Memosisikan Mahakarya Kybernologi Sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia[1]