Membaca Kontradiksi Pemerintahan

Oleh. Dr. Muhadam Labolo


       Catatan Ben Bland, Direktur Program Asia Tenggara di Lowy Intitute tentang Man of Contradictions-Joko Widodo and The Struggle to Remake Indonesia (Sept 2020), menarik untuk dicermati. Buku setebal 180 halaman itu tidak saja mendeskripsikan keberhasilan Jokowi sebagai Pembuat Mebel menangkap imajinasi bangsa Indonesia, juga kemampuannya bertarung mendamaikan berbagai persoalan yang dihadapi. Pada konteks pertama Ben menjelaskan bagaimana Jokowi merealisasikan mimpi-mimpi ekonominya, memposisikan dirinya ditengah transisi demokrasi dan otoritarianisme serta pergaulan international. Seluruh modal politik tersebut telah mengantar Jokowi ke putaran selanjutnya sebagai presiden. 

 

     Menariknya, sekalipun makna kontradiksi diintrodusir sebagai hal yang tidak selalu negatif, namun tekanan pada kalimat memudarnya janji-janji politik, pembangunan dinasti politik, serta pelemahan lembaga anti korupsi yang merespon demonstrasi mahasiswa, setidaknya menyempurnakan sisi positif dan negatif kepemimpinan setiap rezim. Meneruskan penilaian Ben, kontradiksi itu pun semakin terlihat ketika ujian pandemi melanda, Ia dianggap tak menghargai pendapat para pakar kesehatan, tak percaya dengan gerakan masyarakat sipil, serta gagal membangun strategi terpadu. Sedemikian kompleks masalah yang dihadapi bangsa Indonesia, Ben menyimpulkan Jokowi belum mampu mencairkan strategi ditengah kekecewaan sebagian pendukungnya, dan bahkan terjebak sebagai Walikota ditengah Istana. 

 

     Menurut saya, diagnosis Ben seperti dua sisi mata uang yang melengkapi signifikansi uang itu sendiri. Tanpa keduanya uang tak akan bernilai apa-apa. Kepemimpinan dalam pemerintahan pun memiliki wajah yang sama, gambar dan nilai. Sisi gambar menunjukkan estetika yang mencipta popularitas hingga menarik untuk dipilih. Sisi lainnya soal kualitas dari nilai kepemimpinan kita yang dapat melambung atau bahkan terhempas karena kehilangan nilai tukar. Nilai tukar itu menurut Ndraha (2002) terletak pada soal realitas janji yang kemudian membentuk kepercayaan (trust). Tanpa itu kepemimpinan pemerintahan kehilangan makna, kehilangan spirit moralnya, kecuali seonggok artefak mata uang yang dapat dikoleksi atau disimpan di museum.

 

       Gagasan di ranah politik adalah mimpi. Mimpi yang sama oleh Anies, Risma, Ganjar, Ridwan, dan sederet pemimpin daerah sejauh ini. Untuk bermimpi kita tak harus tidur berkepanjangan, kecuali mendengar harapan orang banyak sebagaimana pernah dilakukan Jokowi. Pada tingkat selanjutnya seluruh gagasan itu hanya akan landing bila diterjemahkan dengan baik kedalam rencana konkrit oleh jajaran birokrasi. Disini birokrasi tak bicara mimpi lagi, namun bagaimana merealisasikan mimpi lewat berbagai pilihan strategi. Dari perencanaan jangka panjang, menengah, dan pendek kedalam aksi program plus kegiatan. Jadi, bila penilaian Ben kita anggap positif pada sisi kualitas dari nilai kepemimpinan pemerintahan, maka tugas seksama kita adalah menemukan birokrasi yang mampu mencairkan mimpi ke desain perencanaan yang tidak saja produktif, juga inovatif dan solutif.

 

   Lebih dari itu, kontradiksi Ben bisa direspon lewat pilihan metodologi pembangunan pemerintahan. Pada lokus selebar Solo, Surabaya, Bandung, dan Makassar misalnya, metode kualitatif lewat pendekatan blusukan efektif untuk mengais harapan publik menjadi adonan kebijakan yang responsif. Sebaliknya, pada populasi yang hampir mencapai 300 juta penduduk, 34 provinsi, 550 kota dan kabupaten, pola pendekatan semacam itu tak cukup efektif menyedot harapan publik kecuali mempercayai kinerja para kepala daerah sebagai sampel. Dalam konteks inilah kualitas  desentralisasi politik dan administrasi menjadi perhatian serius jika kita ingin memastikan semua program dan kegiatan pemerintah berjalan ditingkat terbawah. 

 

    Akhirnya, merenungkan kembali paragraf penutup pidato pengukuhan guru besar Ryaas Rasyid (1997), pemerintahan, seperti yang kita hayati selama ini, adalah sebuah lahan pengabdian sekaligus mengandung peluang dan tantangan (challenging). Ia bukan tempat untuk bersenang-senang, melainkan tempat untuk menyenangkan kebutuhan orang banyak. Sebab itu, siapapun yang berkecimpung didalamnya membuka peluang yang luas untuk berbuat baik sebagaimana harapan di setiap kita tentang hadirnya pemerintahan yang baik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian

Memosisikan Mahakarya Kybernologi Sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia[1]