Relasi Alit & Elit Dalam Politik-Pemerintahan

 Oleh. Dr. Muhadam Labolo

    Mekanisme pilkada langsung pada dasarnya mempermudah imajinasi alit agar berjarak dekat dengan personifikasi elit yang paling dipercaya lewat lembaran kertas suara. Faktanya, rekomendasi partai tak selalu bersenyawa dengan asa publik. Apa yang dibutuhkan seringkali tak muncul dalam daftar pilihan ganda, kecuali hasrat elit partai yang mesti ditelan mentah-mentah. Kolaborasi warna tak jarang telah melunturkan karakter aslinya. Efek warna pada basis konstituen bisa berubah silau, suram atau buta warna. Peluang bagi timses cukup dengan menebar pewarna buatan, money politics. Sisi baiknya, keindahan warna adalah rahmat, itu cukup membahagiakan menurut dogma spiritual. 

 

    Kesenjangan semacam itu pada kenyataannya menyadarkan kita mengapa elit tak pernah merasa bagian dari alit yang populasinya maha banyak dan maha penting. Elit dan alit sama-sama ter-alienasi di sudut arena kompetisi, berlawanan, vis a vis, diametral, berkonflik, bahkan kehilangan kesadaran darimana kelompok mereka bermula. Mereka yang terpilih merasa lunas kontraknya, semua telah atau akan dibayar dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, cash and carry, bahkan tak sedikit yang perlu dicicil lewat balutan projek disetiap tahun anggaran.

 

Elit, kebanyakan langgeng dan berdiri kokoh karena kebutuhan materialnya di supplay lewat pajak oleh kaum alit. Tak hanya itu, kepuasan non materinya disuguhi lewat transfer suara agar legitimasinya terjamin di setiap periode. Sementara kaum minoritas kuasa acapkali membutuhkan perlindungan dari kaum elit, kapan dan dimanapun. Artinya, yang satu membutuhkan suara sebagai legalitas proteksi, yang lain membutuhkan kuasa istimewa guna memberi kepastian dalam sistem bernegara. Inilah simbiosis mutualisme antara elit dan alit sepanjang hayat dikandung badan.

 

Dilain waktu, dan agar janji para elit tak hanya indah lewat narasi, dia mesti ditata dalam literasi tertinggi, tekstualitas konstitusi. Disini keseluruhan maksud dan tujuan bernegara disatukan, bahkan diterjemahkan kedalam ruang kebijakan yang nyata oleh pemerintah. Tafsirnya boleh berbeda dan boleh diuji oleh kedua belah pihak lewat mahkamah, asalkan tetap dalam tujuan ideal, kesejahteraan dan kemakmuran kolektif. 

 

Menurut Ndraha (1988), relasi pemerintah dan yang diperintah dibentuk oleh tiga sebab utama, organis, fungsional, dan ideal. Organis karena secara sosiologis pemerintah adalah produk dan bagian integral masyarakat. Paham itu sekaligus merefleksikan kemauan pemerintah adalah cermin utuh atas kemauan masyarakat. Konsekuensinya kehendak pemerintah selayaknya utuh mewakili kehendak publik. Demikian kata filosof Perancis Jean Jacques Rousseau tentang makna kehendak umum (volonte general, 1778).

 

Relasi fungsional terbentuk lewat simbiosis yang menekankan bahwa tanpa kehadiran salah satu kutub dengan sendirinya eksistensi yang lain kehilangan makna. Relasi ini mengakibatkan keduanya hidup untuk saling menguatkan, bukan saling meniadakan, apalagi saling mengancam masa depan satu sama lain. Pemerintahan sesungguhnya adalah pengelolaan hidup bersama (Poelje & Iver). Akhirnya, relasi ideal terjadi disebabkan oleh bertemunya tujuan yang sama lewat konstitusi. Disini, pemerintah terpilih berhak menerjemahkan konstitusi kedalam aktivitas konkrit yang bertujuan memakmurkan kaum alit, bukan malah dibengkokkan bagi kepentingan dirinya sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Memosisikan Mahakarya Kybernologi Sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia[1]