Hadirkah Pemerintah ?


Oleh. Dr. Muhadam Labolo

          Benarkah pemerintah hadir di tengah masyarakat kita? Tentu saja secara formal sudah terjawab, sebab dimana-mana terlihat simbol pemerintahan mulai dari yang paling tinggi strukturnya hingga paling rendah semacam pemerintah desa. Secara visual lembaga pemerintah terlihat megah, hadir di tengah kota berupa kantor-kantor pemerintah, baik eksekutif, legislatif hingga yudikatif berikut personil dan atributnya. Mereka bisa dilihat hilir-mudik pada setiap kesempatan plus kenderaan dinas lengkap dengan perlengkapan dan personilnya.  Aktivitas eksekutifnya bisa macam-macam, mulai dari mengantar surat undangan rapat, melayani KTP, memberi sembako, menggusur pedagang kaki lima yang melanggar perda ketentraman dan ketertiban, hingga menangkap pelaku kriminal di pinggiran jalan. Perilaku legislatifnya juga bervariasi, mulai dari rapat internal, fraksi, komisi, gabungan, reses, studi banding, interpelasi, angket hingga memanggil paksa warga negara yang kurang taat ketika dimintai informasi. Bagi yudikatif, sehari-harinya memperlihatkan aktivitas memanggil warga untuk di dakwa, disidangkan hingga dijatuhi hukuman mati atau minimal penjara seumur hidup.  Demikian pemerintahan terlihat secara formal.  Namun apakah pemerintah sudah hadir dalam pengertian sesungguhnya? Tentu saja dalam konteks fungsional tak semua masyarakat merasa bahwa pemerintah telah hadir menemani mereka di tengah masalah dan tuntutan terhadap apa yang menjadi hak dan kebutuhannya.  Kalau sekelompok orang di tengah laut merasa terancam oleh serangan bangsa lain dalam bentuk apapun, termasuk gangguan bajak laut tanpa perlindungan pemerintah, itu artinya pemerintah belum hadir di tengah warganya.  Disini tentu saja berhubungan dengan tugas pemerintah yang pertama, yaitu memastikan setiap warga negaranya terlindungi dari serangan dan ancaman bangsa lain.  Bagaimana seandainya seorang warga yang telah menjadi bagian dari suatu pemerintahan terancam oleh serangan warga lain di tengah konsensus yang telah dibangun bersama? Atau praktisnya, bagaimana kalau anda berada di sebuah bandara lalu dicegat oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan apa saja hingga mengganggu keamanan, kenyamanan, ketertiban dan kenyamanan, apalagi sampai merusak fasilitas publik tanpa perlindungan pemerintah dalam bentuk tindakan hukum yang pasti? Itu berarti pemerintah benar-benar sedang absen di tengah masyarakatnya.  Tentu saja ini berhubungan dengan tugas pemerintah yang kedua, yaitu memastikan bahwa setiap kebebasan warganya tak diganggu oleh kebebasan orang lain lewat perampasan dalam bentuk apapun pada sebuah tatanan masyarakat hukum.  Dua contoh sederhana diatas merupakan cara untuk memahami dengan baik kapan sebuah pemerintahan hadir di tengah masyarakat.  Kalau pemerintah tidak melakukan upaya untuk melindungi warganya, baik preventif maupun kuratif, itu maknanya pemerintah sedang tidak bekerja atau bahkan lenyap sama sekali.  Pemerintahan adalah hukum.  Hukum mengisyaratkan hadirnya pemerintahan.  Kalau pemerintah membiarkan terus-menerus para pengganggu berkeliaran, dan menjadi ancaman sistemik pada siapa saja dikemudian hari, kemungkinan berikutnya bahwa pemerintah adalah bagian dari para pengganggu itu sendiri yang tentu saja dalam logika sederhana patut untuk ditumbangkan.  Hukum dengan sengaja diletakkan pada pemerintah yang sah untuk mengontrol kebebasan individu yang setiap saat dapat berbenturan dengan kebebasan orang lain, demikian menurut Cesare Beccaria (1738-1794), seorang filosof Italia yang membahas perihal kejahatan dan hukum. Penggunaan kewenangan yang melekat pada pemerintah melalui tindakan hukum pada para pelanggar sebagaimana kasus diatas tentulah beralasan.  Tidak boleh ada tindakan hukum pemerintah yang tanpa alasan.  Sebab penggunaan tindakan hukum oleh pemerintahan tanpa alasan yang jelas merupakan tindakan yang bersifat lalim.  Pendeknya, semua tindakan hukum pemerintah haruslah memiliki alasan yang mutlak, demikian kata Montesquieu.  Dalam kasus kedua diatas misalnya, ancaman terhadap warga negara sekaligus pengrusakan terhadap fasilitas publik adalah alasan yang cukup dimana pemerintah dapat menggunakan kewenangannya untuk  menangkap para pelaku sekaligus memberikan ganjaran hukuman yang setimpal. Lain soal apakah pemerintah dikemudian hari kalah dipengadilan karena kurang bukti, namun tindakan hukum yang dilakukan pemerintah mulai dari proses penangkapan hingga penetapan vonis hukuman menunjukkan bahwa secara formal maupun fungsional pemerintah benar-benar hadir di tengah masyarakat.  Suatu hukuman tidak penting apakah ringan atau berat, jauh lebih penting dari semua itu bahwa pemerintah telah hadir di tengah masyarakat lewat semua kewenangan yang dimilikinya untuk melakukan sesuatu sekalipun mungkin tak berarti bagi sebagian masyarakat. Hukum tak mungkin akan mencapai keadilan yang paling ideal, kecuali hukum dan keadilan Tuhan. Sudah pasti akan ada yang mesti dirugikan.  Paling kurang para pelaku adalah warga yang akan dirugikan sekiranya vonis menentukan bahwa mereka benar bersalah. Dari aspek edukasi, tindakan hukum pemerintah merupakan pelajaran (efek jera) bagi masyarakat yang semula berniat sama untuk sesegera mungkin membatalkan.  Sebaliknya, bagi pemerintah yang tak mengambil bagian dalam melakukan tindakan hukum kemungkinan besar dicurigai menjinjing dua masalah utama, yaitu ketidakpahaman tentang tugas pemerintahan, atau mungkin lebih dari itu merupakan bagian dari sistem kejahatan yang terpelihara rapi dalam struktur dan kultur organisasi pemerintahan.  Harus diakui, tak sedikit pelaku pemerintahan yang kurang memahami tugasnya sebagai pemerintah, apalagi mereka yang menitikberatkan rekrutmen dengan dasar loyalitas semata tanpa mempertimbangkan kecerdasan aparatnya guna mengelola pemerintahan yang sedemikian kompleks. Itulah mengapa seorang aparat pemerintah ditekankan perlu untuk membaca (iqro).  Membaca semua gejala pemerintahan yang muncul, terlebih apa yang menjadi keinginan masyarakat.  Metodenya bisa lewat dialog, musyawarah, hingga membaca harian surat kabar lokal. Instrumennya bisa lewat pikiran yang jernih untuk memahami, pendengaran yang jelas untuk menangkap maksud, komunikasi yang gamblang untuk dipatuhi, serta disposisi yang terang benderang untuk dilaksanakan.  Dengan demikian terbentuk komunikasi dua jalur yang mengesankan bahwa pemerintahan benar-benar hadir di tengah masyarakat.  Saya hanya mengingatkan agar jangan mengulang kesalahan masa lalu, yang lalai meraba keinginan masyarakat luas lewat instrument yang tersedia, namun percaya seratus persen setiap bisikan dari mesin birokrasi.  Mungkin kekuatiran saya dengan Cesare ada benarnya, kita agak kuatir kalau tiran membaca tulisan semacam ini.  Tetapi yakin saja, bahwa mereka yang memiliki bakat tiran cenderung tak pernah membaca. Syukurlah kalau demikian,…….

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Memosisikan Mahakarya Kybernologi Sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia[1]