Mengakhiri Nasib Angket Yang Tak Populer


Oleh. Dr. Muhadam Labolo
          Angket merupakan salah satu hak anggota dewan yang terhormat diantara sejumlah hak lain yang diberikan rakyat melalui konstitusi dan undang-undang.  Sama seperti nasib angket di Senayan, beberapa DPRD yang mencoba mengukuhkan hubungan kemitraannya lewat angket berakhir tanpa jawaban yang pasti.  Ini bukan lantaran mereka kurang cerdas, tetapi cara berpolitik mereka seringkali jauh dari itikad baik sebelum mencapai tujuan yang diinginkan.  Bagi rakyat yang telah diwakili oleh anggota dewan, angket merupakan salah satu senjata ampuh untuk melakukan penyeledikan lebih lanjut terhadap suatu masalah yang dinilai cukup strategis menyangkut kepentingan publik luas. Jadi, kalau saya adalah bagian dari rakyat, saya berterima kasih jika anggota dewan mau sedikit galak dengan menggunakan jurus pamungkas seperti angket atau interpelasi.  Bukankah saya tak punya akses untuk melakukan semua itu terhadap kepala daerah yang sudah saya pilih tempo hari.  Tentu saja jika di tengah perjalanan kepala daerah semakin jauh dari komitmen, janji dan kontrak sosial yang pernah disepakati.  Sebaliknya, kalau anda berposisi sebagai kepala daerah, maka angket sebaiknya dipandang sebagai instrument rakyat untuk mengoreksi alias mengevaluasi sejauhmana perjalanan komitmen kita selama ini.  Sekali lagi, jangan terburu-buru dinilai sebagai upaya untuk menggulingkan pemerintahan yang sah, supaya suasana kebatinan tak terganggu, supaya pikiran dan hati kita tak termakan isu negative yang dapat mendorong tekanan darah, kolesterol, jantung dan asam urat semakin meningkat.  Kalau perlu, pakailah nasehat orang tua dulu, anjing boleh menggonggong, kafilah tetap berlalu, jangan diubah nasehat ini menjadi anggota dewan boleh mengganggu, kepala daerah lempar deng batu. Ini bisa runyam, masalah bukannya selesai namun berbuntut panjang.  Apalagi kalau masing-masing punya body guard.  Lihat saja di berbagai daerah, siapa yang mampu menundukkan pemegang otoritas keamanan setempat, alamat kemenangan berada di pihak yang bersangkutan.  Karenanya, semakin tajam pertarungan antara kepala daerah dengan anggota dewan, atau antara kepala daerah dengan pengusaha lokal, semakin banyak manfaat yang dapat di petik oleh pemegang otoritas keamanan.  Jangan heran kalau banyak pemegang otoritas keamanan di daerah seringkali silih berganti pergi dengan penuh senyuman mesra. Semakin tinggi dan meluas konflik semakin banyak sumber daya yang dapat dimanfaatkan, bahkan oleh siapa saja yang berkepentingan dalam medan konflik. Apalagi kalau pertarungan politik semakin merambah ke level akar rumput.  Saya yakin semakin banyak keuntungan, sekaligus korban pada sisi lain.  Kembali ke masalah angket, tak ada contoh angket di senayan yang berakhir dengan tepuk tangan meriah.  Semuanya bernasib tragis, bahkan semacam cerita penculikan yang hilang tanpa kabar berita.  Di awal hangat, sampai-sampai tak ada satupun media yang luput untuk meliput. Dipertengahan alot hingga mengundang perasaan kagum publik. Namun dipenghujung dialektika, angket selalu berakhir seperti riwayat Bengawan Solo. Hasilnya mengalir sampai jauh kemana-mana, tapi akhirnya tak jelas. Jadi, kalau anggota dewan di daerah tak pandai menyusun rencana dan tujuan penggunaan angket, menurut saya apa bedanya dengan nasib angket di Senayan tempo hari.  Alih-alih menggulingkan kepala daerah, bisa jadi menampar wajah sendiri sebab publik semakin ragu dan tak percaya.  Kalau angket bukan lahir dari hati nurani rakyat banyak, tetapi lebih karena dimodali oleh sekelompok orang yang berkepentingan terhadap masalah tertentu, maka saran saya sebaiknya dipikirkan kembali, sebab selain membuang energi begitu banyak, ia dapat menjadi bumerang bagi anggota dewan yang terhormat.  Apalagi kalau angket dimaksud tak menemukan relevansinya dilapangan, tak membuktikan keterlibatan seseorang, bahkan tak menghasilkan bukti terhadap apa yang diinginkan sebagaimana tujuan awal penggunaan angket.  Sekali lagi, lebih elegan jika di evaluasi kembali sebelum publik jenuh dengan permainan tanpa orgasme politik.  Kalau indikasinya adalah kerugian negara yang berdampak korupsi, bukankah pemegang otoritas keamanan lebih tepat menginvestigasi hingga ke akar-akarnya. Tinggal serahkan saja bukti-bukti otentik. Kalau masalahnya bersinggungan dengan ketidakberesan soal komitmen pembangunan, bukankah anggota dewan boleh meminta petugas audit untuk melakukan identifikasi lanjutan sebelum diambil suara bulat.  Kalau semua itu cukup, ditambah kepastian hukum yang jelas, maka tanpa angketpun saya pikir kekuasaan kepala daerah akan berakhir dengan sendirinya.  Lihat saja nasib 17 kepala daerah yang masuk buih hingga hari ini, bukankah mereka mendekam tanpa proses angket yang penuh dengan lika-liku panggilan dan pertanyaan tak jelas? Maka kepada kawan-kawan saya yang sedang menikmati kursi sebagai anggota dewan yang terhormat di daerah, saya hanya menyarankan tanpa berkepentingan mengubah nasib angket menjadi pinalti yang menakutkan bagi kepala daerah, atau bahkan menurunkan semangat berjibaku supaya terlihat representatif di depan masyarakat, sebaiknya perhatikan kembali tujuan dan ouput yang ingin dicapai sebelum nasib angket semakin tak populer di depan rakyat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian

Memosisikan Mahakarya Kybernologi Sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia[1]