Prosedur Pintu Belakang


Prosedur Pintu Belakang
Oleh. Dr. Muhadam Labolo
                Kecenderungan menyelesaikan masalah di luar ketentuan formal merupakan perilaku menarik dalam hubungan masyarakat dengan pemerintah dewasa ini. Kondisi ini tidak saja dapat dilihat dalam penyelesaian perkara di depan pengadilan, demikian pula dalam praktek birokrasi pemerintahan secara umum. Pada level praktis, praktek birokrasi pemerintahan daerah menunjukkan gejala serupa. Seseorang akan merasa lebih cepat dan nyaman berhubungan dengan segala bentuk pelayanan dalam birokrasi jika dapat lewat pintu belakang.  Sejauh pelayanan dimaksud untuk tujuan yang benar, saya pikir tidak ada masalah, bahkan semakin baik, sebab prosedur formal hanyalah alat untuk mencapai tujuan yang sebenarnya.  Masalahnya, kecenderungan penyelesaian di luar institusi formal adalah sejumlah pelayanan vital yang bukan saja menguntungkan oknum dalam birokrasi, tetapi juga melahirkan kecemburuan sosial dan diskriminasi, selain merugikan negara serta mereka yang benar-benar percaya bahwa saluran formal adalah satu-satunya cara ideal untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan.  Rekrutmen pegawai negeri sipil misalnya, mereka yang rangking belum tentu lulus jika tanpa catatan kompromi. Sebaliknya, mereka yang tak masuk rangking dapat saja muncul dengan tiba-tiba, asalkan mampu menyiapkan sejumlah upeti dimana oknum mampu membangun negosiasi. Demikian pula kasus penggelapan pajak.  Cara-cara penyelesaian di luar sidang telah menyuburkan praktek kolusi hingga merugikan keuangan negara milyaran rupiah. Lihatlah bagaimana kasus Gayus hingga gejala mafia peradilan di Indonesia. Dalam perspektif sosiologi hukum (Rahardjo:2010), pendekatan fungsional jauh lebih arif ketimbang menghabiskan energi melalui mekanisme dan prosedur hukum yang berbelit-belit.  Bukankah tujuan akhirnya adalah menyelesaikan masalah sebagaimana harapan antara yang memerintah dan yang diperintah. Ini logis, jika masalahnya adalah bagaimana melayani seorang miskin yang sedang mencari keadilan di ruang formal pengadilan negeri misalnya, tentulah si miskin akan kesulitan untuk menyiapkan pengacara dan menunggu lamanya prosedur yang mesti dilalui. Dengan pendekatan informal saya kira cukup. Dalam konteks birokrasi pemerintahan, perilaku penyelesaian masalah di luar kebiasaan normal dalam banyak kasus telah menimbulkan ekses kecemburuan dan diskriminasi sosial.   Penyelesaian di luar kebiasaan normatif hanyalah menunjukkan sakitnya birokrasi sebagai suatu organisme yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Seperti juga organisme, penyebab kunci dari penyakit sosial berasal dari gejala anomi.  Suatu kondisi yang menurut Emile Durkheim (1974:72) terbatasnya aturan-aturan yang mengatur dalam tatanan hidup bermasyarakat.  Kekosongan aturan (vacum of rule) adalah sumber dari potensi kekisruhan pada masyarakat modern yang sedemikian kompleks. Realitas masyarakat modern memiliki kecenderungan yang kuat dalam hal tingginya kompetisi serta meningkatnya hasrat yang tak terbatasi.  Tanpa aturan yang membatasi kecenderungan perilaku tersebut, manusia dapat mengembangkan selera tanpa batas, keinginan yang tak terkontrol bahkan tumbuhnya sentimen kolektif berupa ketersinggungan dan ketidakpuasan.  Durkheim menegaskan, bahwa dalam mewujudkan masyarakat yang kuat dan tertib, kebebasan individu hanya dapat dimanifestasikan apabila leyakinan dan perilaku diatur dengan sebaik-baiknya melalui sosialisasi. Pada dasarnya kepatuhan setiap individu pada pemerintahnya adalah jaminan bagi kebebasannya. Dalam pengertian lain, semakin tinggi tingkat kepatuhan warga terhadap pemerintahnya, semakin tinggi pula jaminan terhadap kebebasannya.  Realitasnya, kelalaian masyarakat dalam memenuhi keinginan pemerintah (terlepas apakah benar atau salah) menjadikan kondisi masyarakat kehilangan kebebasan. Sebaliknya, kepatuhan masyarakat dalam memenuhi keinginan pemerintah (dalam hal membayar pajak misalnya) semakin meyakinkan kebebasan masyarakat relatif terjamin sebagai warga negara.  Penghindaran dari tindakan pemerintah yang kadang ekstrem dari sifat represif hanya mungkin dilakukan jika kondisi kebebasan setiap individu dicapai melalui kepatuhan pada kelompok pemerintah dimana semua aktivitasnya dilindungi.  Jika kita setuju bahwa organisasi pemerintahan adalah organisme yang hidup, tumbuh dan berkembang, maka semua unsur yang terlibat didalamnya setidaknya menunjukkan fungsi-fungsi yang mendukung berjalannya sistem secara keseluruhan.  Banyaknya masalah yang mengidap dalam tubuh birokrasi di daerah, bahkan secara sengaja dipelihara dan diawetkan untuk kepentingan jangka panjang menunjukkan bahwa unsur-unsur didalamnya belum bekerja sebagaimana fungsinya dalam mendorong bekerjanya sistem pemerintahan daerah.  Kondisi demikian dalam jangka panjang tidak saja mengancam eksistensi sistem pemerintahan daerah itu sendiri, tetapi juga ancaman terhadap runtuhnya solidaritas sosial.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Memosisikan Mahakarya Kybernologi Sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia[1]