Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2025

Harta Karun yang Hilang

Oleh. Muhadam Labolo Kita semakin yakin, bahwa kehilangan terbesar bangsa ini bukan kekayaan yang bersemayan dikandung-raganya, tapi integritas. Satu kekayaan nilai yang terkubur di benak dan lidah para elit, namun tak mengalir deras ke laku-tindak. Hanya lipstik di saat podcast. Membosankan menatap wajah para elit yang disekap komisi anti rasuah saban hari. Entah eks mentri, wakil mentri hingga tokoh-tokoh terkemuka. Mereka seharusnya menjadi simbol dan pancaran ketauladanan sebagaimana founding mothers & fathers  dimasa lalu. Hatta, mantan wapres, hingga akhir hayat tak sempat berjalan di atas sepatu Bally yang pernah Ia lihat di sebuah toko. Hoegeng mantan Kapolri, sampai tutup usia hampir tak sanggup menyicil rumah buat hari tuanya. Sutami, mantan Mentri PU selama 14 tahun hingga terbaring sakit, tak sanggup membayar listrik. Mereka bukan pejabat biasa. Pikiran dipenuhi idealisme, hati dipadati tanggungjawab spiritual, perilaku dipandu oleh kehati-hatian moral. Tiap kali p...

Mangnguluang Mansur, Sekda Depok dari Makassar

Oleh. Muhadam Labolo Ia perantau dari Makassar. Mengadu nasib di Kota Depok. Kota peninggalan komunitas Belanda pimpinan Cornelis Chastelein. Kini, Manguluang bukan mengurus budak yang dibebaskan dengan istilah Belanda-Depok, tapi melayani lebih kurang 7000 ASN sebagai sekda di kota kecil dekat Jakarta. Mangnguluang (Agung) lahir di Ujung Pandang, 7 April 1972. Ia tak punya kesan di buku kenangan. Apalagi kata-kata peneguh semangat seperti motto. Ia pria cuek, jantan, tampan, perkasa, dan bersantan, seperti komentar menggemaskan dokter dermatologist Ferdinan Sirait. Agung bukan birokrat serius dengan tipe ideal. Ia birokrat biasa, hamble , riang gembira, dan penuh janda (baca;canda). Jangan berharap duarius bila bercakap dengannya. Apalagi di komunitas etniknya. Mungkin anda akan sesat atau disesatkan. Semua soal dianggap enteng. Dibawa tawa ringan. Karenanya, saya penasaran ketika Ia serius mendaftar jadi sekda. Waktu promosi jabatan dari camat ke Kadis PTSP pun Ia melenggang santai k...

Mengenang IGK Manila, Peletak Perubahan di Lembah Manglayang

Oleh. Muhadam Labolo Dipenghujung 1995, Mayjend I Gusti Kompyang (IGK) Manila menjadi Ketua STPDN. Ia menggantikan Mayjend Sartono Hadisumarto sebagai nakhoda kedua. Untuk posisi ini tak banyak diberitakan. Ia hanya dikenang sebatas politisi, Ketua Wushu,  dan manajer sepak bola. IGK Manila alumni Akmil 1964 dengan pencabangan Corps Polisi Militer (CPM). Lahir di Singaraja Bali sebagai kelas bangsawan. Setidaknya dari namanya. Perawakan dan kumisnya yang tebal sudah cukup buat disegani. Ia pernah jadi Danpom ABRI. Itu pula yang menyelamatkan satu dua praja nakal. Suatu saat, beberapa praja keluyuran malam dari diskotik. Mereka di razia oleh aparat gabungan. Salah satu praja senior mabuk berat. Mereka ditahan dalam balutan baju preman. Tapi begitu Anggota Danpom tau itu Praja, mereka diam-diam langsung diantar hingga ke pintu Kampus Manglayang. Mereka bukan takut praja, tapi segan dengan eks komandannya. Praja merasa percaya diri bila pesiar hingga larut malam. Memanfaatkan kharisma...

Integritas Bangsaku, Renungan Kemerdekaan

Oleh. Muhadam Labolo 80 tahun kita lalui dengan klaim merdeka. Ekspresi heroik yang menegaskan bebas dari penjajahan. Nyatanya, penjajah itu tak pernah pergi. Ia hanya berganti kulit. Dulu putih, sekarang kuning dan bahkan sawo matang. Inilah realitas bangsaku, kemaren dan hari ini. Mungkin esok lusa, dan seterusnya. Keterjajahan terasa dimana-mana. Kata Socrates, kebodohan musuh utamanya. Kebodohan memproduk kelemahan. Kelemahan mencipta perasaan rendah diri. Mentalitas inferior ketika berhadapan dengan bangsa sendiri, apalagi bangsa lain. Kebodohan tak hanya bersifat individual, kini masif dan komunal. Kebodohan kolektif menjadikan bangsa kehilangan daya ungkit. Meski menanjak namun angka-angka kemajuan dinilai tak mewakili realitas. Semacam score sepak bola gajah yang di atur oleh Badan Pengatur Statistik. Netizen bahkan tak percaya bahwa ada kenaikan meski tak seberapa oleh Biro Pengatur Setingan (BPS). Kritik itu tentu menggilas rasa. Seakan tak ada lagi yang dipercaya. Dari ijaz...

Kepemimpinan Pati yang Antipati

Oleh. Muhadam Labolo Resistensi Rakyat Pati terhadap kepala daerahnya kini berubah menjadi antipati. Sebabnya, sejak Sudewo menaikkan pajak 250% dan menantang 50 ribu pemegang daulat yang pernah mengamanahkan kuasa sebagai pemimpinnya. Pemimpin pemerintahan di daerah yang secara historis punya perkara pajak sejak 1500an. Kata Pamudji (1992), kepemimpinan pemerintahan mengemban dua hal utama, yaitu organisasi birokrasi dan organisasi sosial. Kita sebut saja organisasi formal dan non formal. Sebagai manajer dan sebagai pemimpin sosial. Sebagai teknokrat dan politisi.  Sebagai pemimpin Ia membawa visi. Sesuatu yang berjangkauan luas dan jauh kedepan. Menjanjikan rakyatnya sampai ke tujuan ideal, kesejahteraan. Sebagai manajer, Ia dituntut mampu mendetailkan visi menjadi potongan program dan kegiatan agar realistik. Kepala daerah cerdas biasanya memfungsikan dirinya sebagai pemimpin yang merawat visi. Sementara detailing kegiatan dipercayakan pada sekda selaku manajer. Itu semua untuk...

Maryunani, Alumni Lintas Angkatan

Oleh. Muhadam Labolo Saya berkesempatan mampir kerumah Mas Yun. Senior 01 yang kini memilih pensiun dini di Bhumi Singosari, Malang. Ia selalu bersemangat melalui hari-harinya di rumah meski terasa lengang. Maklum, angkatan 01-05 umumnya mulai ditinggal anak karena sekolah jauh dan kerja di luar kota. Sebabnya Ia sangat menanti bila ada alumni ke pondok artistiknya. Ia antusias menerima saya dan Mas Fransdiane, 01 asal Bengkulu. Dengan semangat '45 Ia bercerita soal aktivitas harian di masa pensiun. Mulai urusan lintas angkatan, pernak-pernik artefak, lukisan antik, hingga budidaya sederhana dibelakang rumah. Ia rasanya bukan alumni, apalagi eks tentara, tapi arkeolog lokal. Mas Yun pernah tugas sebagai perwira pertama di Sulsel. Posisinya berpindah-pindah sebagai Pasi Intel. Beliau kenal baik tokoh-tokoh lokal disana. Akrab dengan Zainal Basri Palaguna, Amin Syam, Andi Galib, Syahrul Yasin Limpo, Andi Saripolo Pallaloi, Andi Nawir, Rafiuddin Hamarung, hingga Ryaas Rasyid. Ia benar...

Evert J Ronny Berotabui, Sobat Kalem dalam Kesendirian

Oleh. Muhadam Labolo Evert tak ada di group Whats Up. Jangankan itu, di group Papua pun beliau absen. Evert tak seperti purna kebanyakan. Ia mencari jalan sendiri. Menyepi dari keramaian alumni. Bahkan menjauh dari pesta reunian. Disitu masalahnya. Evert sulit dideteksi dan hidup soliter. Sejak praja, suara Evert memang terbatas. Bahkan hampir tak terdengar. Terjepit ditenggorokannya. Ia irit bicara. Kalaupun iya seperti mendesah. Misalnya menjawab pertanyaan Rene Renaldi, pengasuh kesohor di Barak Sumbar Atas. Simon Moshe menganggapnya asimilasi Papua-Sunda.  Tak hanya hemat bicara. Pribadi Evert juga selaras dengan cakapnya. Ia sosok yang santun. Mungkin kebanyakan orang akan heran bila mengenalnya. Meski pelit bicara, pelan, mendesah, Ia tak lupa menggandeng senyuman. Orang tak menyangka bahwa Ia punya pribadi semacam itu. Kontras dengan imaji pada umumnya. Bahwa orang timur (Papua) dengan kulit hitam punya perangai selembut lagu Maya Rumantir. Kadang kita suka tertipu dengan b...

Imran, Pamong Manglayang atau Sangkuriang?

Oleh. Muhadam Labolo Imran, mantan Ketua Pasopati Periode Kedua, kini duduk sebagai tokoh kunci di Kementrian Perumahan asuhan Bung Ara. Sebagai dirjen, Ia dituntut mampu merealisasikan 3 juta rumah sak Indonesia. Bayangkan, 3 juta rumah, bukan 3 ribu, apalagi cuma 3 ratus rumah. Kabar baiknya butuh waktu 5 tahun. Andai semalam, Bang Imran mesti stuban ke Bandung Bondowoso atau Kakang Sangkuriang di Tangkuban Parahu. Konon, hanya mereka berdua yang pernah menyelesaikan projek semacam itu dalam semalaman. Di China, projek pembangunan rumah hingga gedung tinggi hanya butuh hitungan hari. Semua serba rakitan baja dengan teknologi IA. Imajinasi dapat direalisasi dibanding kita yang masih di pandu oleh narasi. Entah kapan bisa menjadi negara yang punya banyak insinyur seperti Bandung Bondowoso dan Sangkuriang. Imran dituntut dengan ilmu keduanya. Walau Ia bukan dari Tatar Sunda atau Jogja. Ia bekerja siang-malam guna merealisasikan mimpi presiden. Tak ada waktu istrahat. Sabtu dan Minggu pu...

Andi Arsyad, Pamong Berkarakter

Oleh. Muhadam Labolo Andi Muhammad Arsyad, Pamong 03 asal Sidrap itu memilih pensiun dini. Ia mantan Pj Sekda era Andi Sudirman Sulaiman (ASS) dan Pj Gubernur Sulsel Bahtiar Baharuddin. Arsyad punya pertimbangan sederhana, kembali ke tengah keluarga. Sesuatu yang selama ini kita tinggalkan dengan alasan kedinasan. Usai menempa diri di Manglayang (1994), Ia menghabiskan hampir 30 tahun di dunia birokrasi. Merayap dari caraka hingga level tertinggi. Ia pernah bertugas di Kecamatan Bone-Bone Kabupaten Luwu. Sekarang menjadi Luwu Utara sebelum kembali ke kampung halamannya, Sidrap. Arsyad bukan Pamong biasa. Ia punya integritas pada sisi prinsip, konsistensi, tanggungjawab, disiplin, dan keberanian. Ia selalu di depan untuk urusan yang membutuhkan ketegasan sikap dan tanggungjawab. Itu tumbuh bukan baru sekarang. Sejak dulu, saat Ia pernah merantau ke Jakarta. Waktu di Manglayang, Ia tempat bersandar satu dua praja yang kelelahan disapu senior. Ia benteng terakhir buat berlindung dari inc...

Bangun Karya, Praja Batak-Aceh yang Sholeh

Oleh. Muhadam Labolo Ia pergi tiba-tiba. Menyusul Kang Anwari di Banten dan Mas Agus Harianto di Malang. Dalam dua bulan ini mereka pergi tak berselang waktu. Saya merasa kehilangan. Sedikit lunglai diperjalanan woosh antara Halim-Tegalluar. Saya banyak merenung tentang keberartian hidup dan mati. Bangun Karya Kaban, lahir di Tanjung Merawa, 27 Oktober 1973, Sumatera Utara. Ia anak bungsu dari 6 bersaudara. Waktu praja menjabat sebagai Kasubsi Islam, dibawah Bintalroh yang saya gawangi. Artinya, tiga dirjen saya mendahului. Dirjen Hindu, Kristen dan Islam, andai saya Mentri Agama. Bangun memang lahir di Sumut, tapi Ia kontingen Aceh. Tugas disana, berkeluarga dan meninggalkan istri serta tiga putra. Ia pernah tugas di Aceh Tenggara, Simeulue, dan terakhir Aceh Besar. Waktu ke Simeulue dia minta saya bantu buatkan surat pindah dan menghadap Wabup Simeulue, Hasrul Edyar Rohas. Ia sungkan walau teman sekontingen. Teman dan pejabat katanya beda. Saya buat surat di hotel, minta disposisi H...

Mengenang Gus Har di Malang

Oleh. Muhadam Labolo Agus Harianto lahir di Blitar, 52 tahun lalu. Tepatnya 8 November 1972. Dua bulan lagi Ia akan berulang tahun ke-53 tahun. Ia tugas di Malang sebagai Camat di Sumbermanjingwetan dan Pakis. Gus Har kawan yang sabar. Suaranya agak berat dengan aksen Malang yang sedikit lucu. Tak usah pake mic pasti kedengaran. Waktu Nindya, Gus Har masuk Darma A-1. Dia pernah menjabat sebagai Darmapati D-1 di Madyapraja. Anak sulung dari empat bersaudara. Usai pengukuhan beliau ditugaskan di Tim-Tim. Senasib dan sependeritaan dengan Mas Sugito, Alhalik, dan Waluyo. Mereka sering kumpul, sesama alumni ekspatriat. Sejak 2021, Gus Har intens membuka komunikasi dengan saya. Ia rajin berkontribusi untuk donasi. Seringkali saya salah tulis. Gus Har jadi Gus Sur (Agus Suryadi). Ia protes, Pak Ketua kok nama saya hilang? Saya segera minta maaf. Rupanya namanya digusur sama yang baru masuk. Ia lega ditulis kembali. Gus Har seorang birokrat yang baik. Waktu pemakaman kemaren tak hanya dihadiri...

Sebentar Bersama Elfin Ilyas

Oleh. Muhadam Labolo Sabtu, lepas maghrib kemaren, tak sengaja ketemu Elfin Ilyas bersama istrinya di Cilandak Town Square. Elfin kelihatan fresh dengan senyuman lebar. Ia perkenalkan saya pada istrinya. Saya senang ketemu beliau, mantan Ketua Pasopati Pertama yang kini duduk di eselon dua Kemendagri. Elfin dan istri baru selesai kondangan. Hadiri pesta nikahan anaknya Pak Halilul, rektor IPDN. Sayang tak jumpa beliau disana. Buruan pulang dengan teman-teman dosen. Padahal ada Siti Fathonah, Rizky Adhari, Agustomi Masik, Bahtiar, Imran, Sugito, Conrita, dan Bisri. Ga janjian. Elfin bercerita pendek. Tentang bagaimana menjalani jabatan dengan penuh kesungguhan tanpa memikirkan lagi soal-soal materi. Kita hampir sampai di titik akhir pengabdian. Tinggal mengisinya dengan baik. Waktunya memberi pada negara. Ia bercerita tentang kita. Tentang kesadaran hidup kemaren dan esok hari. Tak ada lagi yang perlu diambil dari sisa pengabdian kita. Waktunya berpikir tentang spiritualitas. Tentang ...

Kita, Penantian, dan Sinar Terang

Oleh. Muhadam Labolo Saya berusaha mengingat setiap kita. Entah lewat data sekunder di buku kenangan, atau percakapan primer yang tersimpan di gawai. Plus memori pendek di Manglayang. Semua jadi bahan baku buat menulis sahabat 04 yang mendahului. Seperti kenangan singkat yang coba dihidupkan lagi. Saya mulai pikiran itu dengan harapan sederhana. Bisa buat tersenyum untuk kenangan yang pernah dilalui. Kita dapat memberi kesan pada seseorang tanpa berharap mereka punya waktu dan kemampuan menuliskan kesan yang sama. Tapi setidaknya ada kawan yang pernah kita ingat sadar atau tidak. Mungkin ruh kawan masih menemani disekeliling kita. Turut membaca tulisan ini dengan senyuman. Atau menahan desakan air mata melihat keluarga yang masih butuh belaian untuk bertumbuh dan bahagia bersama. Bersama saat di wisuda, atau bersama didampingi ketika nikahan.  Semua impian itu kadang tak sempat diraih. Syukur yang telah melewatinya. Duka tak akan lama. Dunia dengan sendirinya melelehkan masalah le...