Mangnguluang Mansur, Sekda Depok dari Makassar
Oleh. Muhadam Labolo
Ia perantau dari Makassar. Mengadu nasib di Kota Depok. Kota peninggalan komunitas Belanda pimpinan Cornelis Chastelein. Kini, Manguluang bukan mengurus budak yang dibebaskan dengan istilah Belanda-Depok, tapi melayani lebih kurang 7000 ASN sebagai sekda di kota kecil dekat Jakarta.
Mangnguluang (Agung) lahir di Ujung Pandang, 7 April 1972. Ia tak punya kesan di buku kenangan. Apalagi kata-kata peneguh semangat seperti motto. Ia pria cuek, jantan, tampan, perkasa, dan bersantan, seperti komentar menggemaskan dokter dermatologist Ferdinan Sirait.
Agung bukan birokrat serius dengan tipe ideal. Ia birokrat biasa, hamble, riang gembira, dan penuh janda (baca;canda). Jangan berharap duarius bila bercakap dengannya. Apalagi di komunitas etniknya. Mungkin anda akan sesat atau disesatkan.
Semua soal dianggap enteng. Dibawa tawa ringan. Karenanya, saya penasaran ketika Ia serius mendaftar jadi sekda. Waktu promosi jabatan dari camat ke Kadis PTSP pun Ia melenggang santai ke kampus. Saya kerepotan menyiapkan bahan dalam tempo sehari. Ia pergi begitu saja.
Tak perlu tanya soal job fit sekda. Beliau adem seperti sudah jadi sekda. Dia ingin semua urusan beres tepat waktu. Walau test tinggal dua hari. Disitu saya memahami leadership nya. Simpel, tak perlu berbeli-belit, selesaikan secepat mungkin. Jangan buat rumit yang sederhana. Cari jalan keluarnya.
Waktu jadi Lurah di Tanah Kongkong Kecamatan Ujung Bulu Bulukumba, Agung mudah menyelesaikan tiap masalah. Ia pernah berkenderaan bersama Aprisal, Jamaluddin dan Andi Tenri Awaru menabrak orang hingga jarinya putus. Dengan cepat Ia selipkan uang kerohiman 50 ribu disaku. Perkara itu akhirnya berstatus case closed.
Kepemimpinan Mangnguluang tak nampak dalam fisual represif. Ia lebih santai tapi serius. Untuk urusan seperti itu Ia tak segan menyiapkan sumber daya. Ia paham betul bagaimana menyelesaikan masalah dengan cara senyap. Mungkin Ia belajar dari letting SMAnya, Jenderal Sambo.
Ia mirip Rahmat Hidayat. Kadis infokom Kota Bogor. Mereka tak mesti pintar-pintar amat, tapi punya networking luas. Itu justru tak dipunyai oleh kebanyakan kita. Modal sosial, selain knowledge dan cultur. Mereka bisa kontak menteri, jaksa, hakim, komisaris, dirut, preman hingga residivis.
Dengan semua akses itu, perkara sulit mudah diselesaikan. Seperti main bilyard, sekali sodok, 2-3 bola masuk lubang. Mereka tak banyak mengandalkan kapasitas kognisi, tapi lebih mengutamakan porsi psikomotorik dan afeksi. Faktanya, 80% orang sukses karena gabungan dua kemampuan itu.
Mereka sadar dilapangan butuh eksekutor. Tak lagi pikir panjang. Itu selesai di ruang rapat. Masalah harus tuntas dengan metode tertentu. Tinggal pilih, mau tutup sumbernya, cari alternatif, naikkan standar, atau diamkan saja, kata Prof. Ndraha (2002). Pilihan itu tentu butuh akses, nyali, dan kenekatan lewat sumber daya.
Agung punya kemampuan itu. Ia tak ragu bila punya peluang dan kepastian. Ia lihai menggunakan akses pertemanan yang kuat untuk meruntuhkan tembok besar sebagai sandungan. Ia bisa berjalan di lorong gelap tanpa pelita. Karena itulah Ia tenang. Tak pusing dengan hasil yang menurutnya sudah digenggaman.
Ia ikuti arus permainan seperti taichi master. Tak perlu buang banyak energi. Cukup cari sumbernya, selesaikan di hulu (tolo'na). Agung tak butuh rumus dan narasi jelimet. Ia hanya butuh orang yang tepat untuk menyelesaikan hal rumit jadi simpel. Ia tau diri, namun pantang mundur meski kompetitornya senior, seangkatan dan punya gelar.
Ia percaya pada pilihan dan keberuntungan. Pilihan bergantung pimpinan. Keberuntungan urusan yang disono. Waktu Walikota Depok debat pilkada di sesi akhir tahun kemaren, kami diskusi di kampus. Bicara panjang kali lebar. Ia sedikit mengabarkan masa depan alumni potensial, termasuk Agung. Ternyata Ia benar-benar memilihnya.
Agung, dalam keseharian mudah disapa, ramah dan murah hati. Ia seringkali jadi bajakan proposal ibu-ibu Pasopati. Entah alasan reuni, arisan, atau apalah. Ia sukar mengelak bila hadapi emak-emak. Dikandang paksa. Saya bersyukur beliau jadi sekda. Setidaknya ada alasan bila Bu Regina-Imelda and the gank datang menghadap. Kata ajudan, "maaf Bu Ibu, Pak Sekda sedang rapat! Nanti datang lain waktu!"
Komentar
Posting Komentar