Imran, Pamong Manglayang atau Sangkuriang?

Oleh. Muhadam Labolo

Imran, mantan Ketua Pasopati Periode Kedua, kini duduk sebagai tokoh kunci di Kementrian Perumahan asuhan Bung Ara. Sebagai dirjen, Ia dituntut mampu merealisasikan 3 juta rumah sak Indonesia. Bayangkan, 3 juta rumah, bukan 3 ribu, apalagi cuma 3 ratus rumah.

Kabar baiknya butuh waktu 5 tahun. Andai semalam, Bang Imran mesti stuban ke Bandung Bondowoso atau Kakang Sangkuriang di Tangkuban Parahu. Konon, hanya mereka berdua yang pernah menyelesaikan projek semacam itu dalam semalaman.

Di China, projek pembangunan rumah hingga gedung tinggi hanya butuh hitungan hari. Semua serba rakitan baja dengan teknologi IA. Imajinasi dapat direalisasi dibanding kita yang masih di pandu oleh narasi. Entah kapan bisa menjadi negara yang punya banyak insinyur seperti Bandung Bondowoso dan Sangkuriang.

Imran dituntut dengan ilmu keduanya. Walau Ia bukan dari Tatar Sunda atau Jogja. Ia bekerja siang-malam guna merealisasikan mimpi presiden. Tak ada waktu istrahat. Sabtu dan Minggu pun kerja setelah makan siang. Ia bercerita tentang semua instrumen yang mesti dilunakkan demi terwujudnya 3 juta rumah.

Sebagai birokrat yang punya jam terbang tinggi, saya yakin Imran mampu. Ia mantan arsitek perencanaan di Kesbangpol. Ia juga pernah menjadi walikota dikampung halamannya, Lhoksemauwe. Ia pun pernah bertugas sebagai orang nomor satu di Kabupaten Subang.

Semua bekal itu jadi modal menyusun bata dari puluhan menjadi jutaan rumah. Ia punya mental fighting spirit. Apalagi mantan Polpra. Sayapun pernah dihukum jalan jongkok saat Ospek di IIP. Imran bisa bekerja di bawah tekanan sekalipun ada saja tantangan seperti birokrat pada umumnya.

Dalam bisnis, hanya manajer yang punya target dan tantangan besar yang akan tumbuh jadi pemimpin sukses, kata Keith Davis. Seseorang butuh pemimpin berani untuk menguji stabilitas mental agar Ia dapat mencapai tujuan efektif. Imran mampu mengorkestrasi harapan itu meski harus mengorbankan banyak waktu.

Ia tak punya banyak kemewahan waktu seperti dulu. Ia minta bertemu antara pukul 08.00-11.00. Di atas itu, atau usai makan siang. Sisanya Ia akan disibukkan dengan berbagai aktivitas. Mulai rapat internal sampai ketemu investor dengan permintaan macam-macam.

Walau tampak lelah, semangat bekerjanya mengabaikan semua itu. Ia ingin menuntaskan semua pekerjaan. Mematuhi seluruh aturan main. Sekalipun Ia dengan jujur tak menyembunyikan keinginan pimpinan yang ingin semua perkara selesai semalam. Ia memang bukan Bandung Bondowoso, apalagi Sangkuriang. Ia really Pamong dari Manglayang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Sejarah Singkat Luwuk

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan