Kita, Penantian, dan Sinar Terang
Oleh. Muhadam Labolo
Saya berusaha mengingat setiap kita. Entah lewat data sekunder di buku kenangan, atau percakapan primer yang tersimpan di gawai. Plus memori pendek di Manglayang. Semua jadi bahan baku buat menulis sahabat 04 yang mendahului. Seperti kenangan singkat yang coba dihidupkan lagi.
Saya mulai pikiran itu dengan harapan sederhana. Bisa buat tersenyum untuk kenangan yang pernah dilalui. Kita dapat memberi kesan pada seseorang tanpa berharap mereka punya waktu dan kemampuan menuliskan kesan yang sama. Tapi setidaknya ada kawan yang pernah kita ingat sadar atau tidak.
Mungkin ruh kawan masih menemani disekeliling kita. Turut membaca tulisan ini dengan senyuman. Atau menahan desakan air mata melihat keluarga yang masih butuh belaian untuk bertumbuh dan bahagia bersama. Bersama saat di wisuda, atau bersama didampingi ketika nikahan.
Semua impian itu kadang tak sempat diraih. Syukur yang telah melewatinya. Duka tak akan lama. Dunia dengan sendirinya melelehkan masalah lewat caranya. Tanpa tau kapan berhenti. Anak akan ada yang urus. Entah keluarga atau teman baik. Istri dan suami akan beradaptasi dengan status baru.
Begitu pergi, kita hanya diingat beberapa masa. Di group, mungkin hanya tiga hari berkabung. Dirumah bisa sebulan dua bulan. Di kantor mungkin juga seharian. Esoknya, semua kembali ke laptop. Istri kembali ke dapur. Atasan kembali keruangan rapat. Kawan di group kembali ke rutinitas kantoran. Hidup terus berjalan.
Manusia pada dasarnya hanya menunggu. Seperti film The Terminal yang dibintangi Tom Hanks (2004). Setiap orang menanti dan dinanti. Menanti dijemput olehNya, atau dinanti keluarga besar yang mendahului. Satu-satunya cara menerapi diri dengan terus mencintaiNya, dan membayangkan bersua keluarga kelak.
Kata kaum stoikisme, kematian hanya perpindahan ruh. Atau mungkin tidur tanpa mimpi. Ruh di dunia berkelana ke alam lain. Menanti proses selanjutnya. Andaipun tidur, mungkin tanpa dihiasi mimpi seperti biasa. Bukan mustahil yang nyata justru di alam sana, karena sifatnya yang kekal. Dunia mungkin hanya mimpi sebab kesementaraannya.
Sejarah kita hanya sesaat. Dunia akan melindasnya dengan tradisi baru. Mungkin foto kita masih tersisa sebagai eks mentri, gubernur, bupati, walikota, sekjen, dirjen atau rektor kesekian di dinding kantor. Tapi 20 hingga 50 tahun kemudian semua hanya gambar hitam-putih yang musti diterangkan oleh guru sejarah.
Kolektivitas kita tanpa sengaja membentuk peradaban. Tentu dalam ukuran peradaban yang disepakati. Jangan heran bila angkatan lalu kita nilai hebat, sekarang mundur. Atau sebaliknya, angkatan sekarang lebih hebat dari angkatan sebelumnya. Semua relatif menurut ukuran masing-masing.
Setiap parameter hanya konsensus yang dapat diubah lewat variabel dan indikator dari masa kemasa. Ukuran miskin, menganggur, bahagia, hanya kreasi kita buat menakar logistik supaya cukup. Atau untuk memompa agar lebih kompetitif. Kini kita sampai pada pencarian dengan ukuran absolut untuk diri kita.
Sebab itu, kita mulai tiba pada pencarian timbangan yang lebih presisi. Timbangan itu menggunakan ukuran transedental. Dan metode paling mudah dengan bertanya pada diri sendiri. Pada hati nurani. Pada sesuatu yang lebih meyakinkan. Bukankah Tuhan sedekat urat lehermu dalam kosmologi Islam.
Tuhan ada dalam hatimu, kata kawan Kristiani. Bahkan Tuhan ada dimana-mana kata sahabat Hindu. Pesan implisitnya mirip. Jadilah diri sebaik Tuhan, dan berjaraklah dengan apapun yang tak disukai Tuhan. Dengan begitu pikiran kita menyalakan firmanNya. Tubuh kita menjalankan kehendakNya. Kita memang bukan Tuhan, tapi mungkin sinar terang dari Tuhan.
Komentar
Posting Komentar