Bangun Karya, Praja Batak-Aceh yang Sholeh
Oleh. Muhadam Labolo
Ia pergi tiba-tiba. Menyusul Kang Anwari di Banten dan Mas Agus Harianto di Malang. Dalam dua bulan ini mereka pergi tak berselang waktu. Saya merasa kehilangan. Sedikit lunglai diperjalanan woosh antara Halim-Tegalluar. Saya banyak merenung tentang keberartian hidup dan mati.
Bangun Karya Kaban, lahir di Tanjung Merawa, 27 Oktober 1973, Sumatera Utara. Ia anak bungsu dari 6 bersaudara. Waktu praja menjabat sebagai Kasubsi Islam, dibawah Bintalroh yang saya gawangi. Artinya, tiga dirjen saya mendahului. Dirjen Hindu, Kristen dan Islam, andai saya Mentri Agama.
Bangun memang lahir di Sumut, tapi Ia kontingen Aceh. Tugas disana, berkeluarga dan meninggalkan istri serta tiga putra. Ia pernah tugas di Aceh Tenggara, Simeulue, dan terakhir Aceh Besar. Waktu ke Simeulue dia minta saya bantu buatkan surat pindah dan menghadap Wabup Simeulue, Hasrul Edyar Rohas.
Ia sungkan walau teman sekontingen. Teman dan pejabat katanya beda. Saya buat surat di hotel, minta disposisi Hasrul dan selesai perkara. Namun ketika Hasrul lengser dan hijrah ke Jakarta, Ia kehilangan cantolan. Ia merasa tak dihargai oleh bupati. Pindah lagi ke Aceh Besar, dekat ibukota provinsi.
Disana, Ia hidup sebagai pejabat kecil yang urus perkara hukum syara. Ia bertawakkal diri sambil membesarkan putra-putranya. Sekali waktu saya kerumahnya. Bangun Karya hidup sederhana. Ia bukan tak punya TV, tapi menghindarkan anaknya dari kontaminasi dunia luar. Saya tertegun di beranda.
Ia mendidik anaknya dengan cara kuno. Hasilnya memuaskan. Anak-anaknya hafidz quran. Sekalipun mencuri waktu nonton TV di rumah tetangga. Ia punya cara tersendiri mendidik anak. Sesekali Ia membanggakan saya dihadapan anaknya, supaya besar bisa sukses seperti Om, teman ayah di Manglayang.
Dalam pandangan saya, Bangun sosok muslim puritan. Memegang teguh apa yang sejak dulu jadi doktrin beragama. Ia berusaha konsisten dengan sunnah-sunnah dalam agama. Walau hidup di era modern. Ia mencoba mengisolasi diri bersama keluarga dari keramaian modernitas yang mengancam aqidah.
Waktu anak sulungnya magang di Jakarta, Ia paksa mampir ke kampus. Saya tunggui, hadiahi buku plus foto bersama. Ia bahagia anaknya bisa bertemu saya. Waktu selesai kuliah umum di Fisip Syiah Kuala, Bangun jemput saya, makan bersama dan saya bersikeras berkunjung kerumahnya. Dia tak keberatan, di ujung kampung yang sepi.
Suatu saat Ia minta informasi bus-travel ke Bandung. Untuk acara yang diwakilinya. Di hotel bintang empat. Saya berkelakar, "macam tak pernah kali kau skolah di Jatinangor Ustadz." Ia terkekeh, "dah lama nggk ke Bandung akhi". Baiklah kataku, "naik aja travel dari Bandara Soetta langsung ke Bandung, trus ambil grab biar ga kesasar. Naik ojek pun jadilah, asal tak bawa ayam, singkong ama sayuran Ustadz." Dia ketawa.
Ia pernah bermimpi membonceng saya di malam hari. Katanya saya melihat banyak mahluk halus. Dia kok tidak. Paginya saya diantar ke bandara tapi telat. Saya kesal. Ia janji mengganti tiket. Namun belum sempat diganti, Bangun sudah terbangun Sholat Subuh. Saya penasaran atas mimpinya, sampai-sampai nyari primbon mimpi dari Jawa dan kirim padanya.
Bangun Karya sarankan buat zoom untuk tahlilan teman-teman yang sudah pergi. Khususnya yang muslim. Saya setuju walau waktu menjadi musuh bersama. Dulu pernah buat sekali dua, namun karena bising diruang zoom, ngajinya jadi tak fokus, pecah suara kemana-kemana. Rasanya kurang khusyu. Insya allah dibuat lagi, kataku ke Bangun dan Rafdinal via japri.
Setahun lalu Ia menelpon saya. Tapi bukan mengabarkan anaknya, atau teman sekantornya yang disuruh mampir ke ruangan kerja. Hanya untuk sedikit membanggakan bahwa ada kawan dekatnya di Kampus Jakarta. Kali ini Ia curhat soal komplikasi gula, jantung, darah tinggi, dan asam urat. Ia berusaha berobat alternatif apa saja.
Sebulan lalu, Safrizal mengirim foto kunjungan ke rumahnya. Bangun duduk di kursi roda. Saya terkejut. Tak sangka penyakitnya bertambah berat. Saya titip bantuan Pasopati buat berobat. Ia terharu menahan tangis. Saya tak sanggup menatap lama foto kiriman Safrizal. Ia berterima kasih atas perhatian teman-teman Pasopati.
Tanggal 17 Juli kemaren, Ia tiba-tiba dirujuk ke Rumah Sakit Meuaxa Banda Aceh. Tak lebih sehari, Bangun tak bangun lagi. Pukul 17.30 Ia wafat. Saya baru buka HP subuh hari setelah Safrizal menelpon dan japri. Saya juga sedikit kecapean. Tidur lebih awal karena dunia menarik kita lebih jauh kedalam dengan pekerjaan yang tak habis-habisnya.
Bangun Karya pernah mengirimkan foto berdua waktu persiapan pengukuhan. Komentarnya, "kita dulu sama kurus dan tinggi ya akhi." Saya kirim emoji tawa panjang. Ia pernah dihukum gegara makan di IKOPIN. Tersiksa saat antrian mandi dan ngantuk di saat kuliah. Ia memotivasi diri dibuku kenangan, hadapilah penderitaan jika kalian ingin kebahagiaan di suatu saat kelak.
Selamat jalan Ustadz Bangun. Ia bahkan sebelum wafat masih meminta saya dan teman-teman mengisi donasi buat rehab masjid dilingkungannya. Ia Ketua BKM Al Fattah dekat rumah Bang Helmi 03. Saya dan kawan-kawan bersaksi, antum orang baik, muslim sholeh, dan hidup dengan keyakinanmu yang teguh hingga akhir hayat.
Ia diantar dengan baik oleh Purna Aceh. Diprosesi dengan protap Kampus Manglayang. Ia mungkin tak berharap dilebihkan. Tapi sedikit cara menghibur keluarganya, dihargai, dihormati, dan diberi santunan oleh Pasopati. IKAPTK Aceh aktif menjalin kekeluargaan lewat berbagai aktivitas, bukan saja mempromosikan purna ke posisi tertinggi, juga mengantar satu persatu ke liang lahat. Terima kasih semuanya.
Komentar
Posting Komentar