Sebentar Bersama Elfin Ilyas

Oleh. Muhadam Labolo

Sabtu, lepas maghrib kemaren, tak sengaja ketemu Elfin Ilyas bersama istrinya di Cilandak Town Square. Elfin kelihatan fresh dengan senyuman lebar. Ia perkenalkan saya pada istrinya. Saya senang ketemu beliau, mantan Ketua Pasopati Pertama yang kini duduk di eselon dua Kemendagri.

Elfin dan istri baru selesai kondangan. Hadiri pesta nikahan anaknya Pak Halilul, rektor IPDN. Sayang tak jumpa beliau disana. Buruan pulang dengan teman-teman dosen. Padahal ada Siti Fathonah, Rizky Adhari, Agustomi Masik, Bahtiar, Imran, Sugito, Conrita, dan Bisri. Ga janjian.

Elfin bercerita pendek. Tentang bagaimana menjalani jabatan dengan penuh kesungguhan tanpa memikirkan lagi soal-soal materi. Kita hampir sampai di titik akhir pengabdian. Tinggal mengisinya dengan baik. Waktunya memberi pada negara.

Ia bercerita tentang kita. Tentang kesadaran hidup kemaren dan esok hari. Tak ada lagi yang perlu diambil dari sisa pengabdian kita. Waktunya berpikir tentang spiritualitas. Tentang bagaimana bertumbuh bersama keluarga, agar hasilnya dapat dinikmati di hari tua.

Ia bertutur tentang jabatan yang pendek. Saya mengimbangi dengan petuahnya dulu. Tentang integrity island. Satu konsep yang pernah Ia tawarkan di kampus. Saya implementasikan menjadi kawasan integritas di kelas Mudapraja. Ia punya gagasan. Walau tak berlanjut.

Elfin punya banyak ide di tengah kegelisahan dan ketakberdayaan melihat realitas disekelilingnya. Tapi Ia tak mudah putus asa. Ia membersamai  hari-hari dengan keluarga hingga setiap waktu lebih bermakna. Ia tau diri, kapan waktunya mesti melakukan apa.

Ia minta reuni lagi. Saya menimpali dengan harapan yang sama. Ia tau tentang kesulitan saya. Bahkan tentang perkembangan kampus. Saya ajak berfoto agar tak kehilangan moment. Elfin mengelus perut sambil bercanda, gimana bisa nurunkan perut seperti pak ketua.

Saya nahan tawa. Sebenarnya masalahnya sama. Menurunkan lingkar perut. Terakhir makan telur 7 butir pagi dan 7 butir sore. Sisanya minum jeruk apa saja bila kelaparan. Apalagi malam hari, suka menggigil kayak sakau karena terbiasa makan malam. Hasilnya ga banyak, hilang 4 kilo.

Suatu saat pernah lihat dr. Ferdinan Sirait rajin ke Tukang Jahit. Ia dokter spesialis kulit dan kelamin satu-satunya alumni Manglayang. Kebetulan sama tempat permaknya. Ia mengecilkan banyak celana. Rupanya Ia berhasil diet keras. Saya kagum, walau tak tau lagi perkembangannya.

Sepulang dari situ, saya diajak makan nasi goreng dipinggir jalan. Langganan Bang Ferdinan. Karena di rayu setengah maksa, ga enak nolak. Ikutlah untuk terakhir kali makan nasgor. Setelahnya, saya ikut diet ala Tiongkok kuno. Makan telur di pagi dan sore hari. Dijaga istri dengan ketat.

Saya sadar, hari-hari ini dan kedepan, kita perlu ekstra disiplin untuk diri sendiri. Tiap kali menjenguk teman sakit, wafat, dan kesulitan hidup saya selalu mengambil waktu untuk menasehati sekaligus menimbang diri. Saya selalu belajar pada mereka. Bukan berarti kita bebas dari masalah.

Kadang kita berhadapan dengan pesimisme melihat realitas. David D Burn mengingatkan, depresi pesimisme dapat melumpuhkan hidup. Ia dapat menjeratkan lewat perasaan menjadi pecundang (defeated), cacat (defective), diabaikan (deserted), dan tercerabut (deprived).

Di usia balita kini, waktu terus berjalan. Saatnya menata ulang prioritas. Hidup bukan lagi tentang mengeluh atau meratap, tapi soal menikmati momen dan mensyukuri napas yang masih tersisa. 

Kesedihan, kegalauan, dan kegelisahan bukan lagi teman perjalanan. Buang mereka pada tempatnya, karena hidup terlalu singkat untuk terjebak pada hal-hal yang melemahkan jiwa.

Mulailah dengan apa saja. Entah bersepeda di pinggir pantai, menghirup udara segar, merasakan sinar mentari, reunian, atau tersenyum untuk diri sendiri. Hidup itu indah, asal kita tau cara menikmatinya..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Sejarah Singkat Luwuk

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan