Evert J Ronny Berotabui, Sobat Kalem dalam Kesendirian

Oleh. Muhadam Labolo

Evert tak ada di group Whats Up. Jangankan itu, di group Papua pun beliau absen. Evert tak seperti purna kebanyakan. Ia mencari jalan sendiri. Menyepi dari keramaian alumni. Bahkan menjauh dari pesta reunian. Disitu masalahnya. Evert sulit dideteksi dan hidup soliter.

Sejak praja, suara Evert memang terbatas. Bahkan hampir tak terdengar. Terjepit ditenggorokannya. Ia irit bicara. Kalaupun iya seperti mendesah. Misalnya menjawab pertanyaan Rene Renaldi, pengasuh kesohor di Barak Sumbar Atas. Simon Moshe menganggapnya asimilasi Papua-Sunda. 

Tak hanya hemat bicara. Pribadi Evert juga selaras dengan cakapnya. Ia sosok yang santun. Mungkin kebanyakan orang akan heran bila mengenalnya. Meski pelit bicara, pelan, mendesah, Ia tak lupa menggandeng senyuman.

Orang tak menyangka bahwa Ia punya pribadi semacam itu. Kontras dengan imaji pada umumnya. Bahwa orang timur (Papua) dengan kulit hitam punya perangai selembut lagu Maya Rumantir. Kadang kita suka tertipu dengan body sangar. Dont just book by the cover.

Evert pribadi yang kalem. Ia sobat yang sejuk. Taat ke gereja. Membatasi diri cukup dengan yang memahaminya. Itu terbawa hingga bertugas. Zeth Rolando dan Rona Sule sulit menemukan Evert dalam keramaian kecil sekalipun. Setidaknya untuk bersantai, bukan reuni besar yang butuh biaya.

Waktu reuni IKAPTK di Biak, usai jadi narsum, saya tanya Ronsul soal Evert. Ia tak hadir, dan tak berkabar. Evert seperti di telan bumi. Ia hidup bersama seorang istri dan tiga anak. Menikmati hari-hari rutin yang membosankan. Rumah-Kantor-Gereja, dan lingkungan sekitarnya. Itupun sekedar bersosialisasi, agar tak disangka sombong.

Bulan kemaren, Evert sebenarnya baru berulang tahun ke 54. Ia pergi tepat sebulan lebih kelahirannya, 26 Juni 1971 di Serui. Ia anak ke 3 dari 4 bersaudara. Punya musuh bebuyutan waktu praja. Stres. Walau begitu Ia senang dengan kekompakan dan kebersamaan. Itu modal kesuksesan. Katanya dalam buku kenangan. 

Mungkin Ia berpikir dengan bersatu kita bisa selamat daripada maju satu persatu. Manusia memang baru merasa kuat kalau bertumpu pada ikatan kolektif. Entah itu korsa atas nama almamater, angkatan, etnik, profesi, bahkan religi. Manusia merasa nyaman bila berada dalam ikatan primordial dan identitas.

Sayup-sayup saya dengar Evert memang mengidap masalah pencernaan. Walau lupa entah dari siapa Ia pernah berujar. Penyakit itu diderita sejak beberapa waktu lalu. Baru terasa hari-hari ini. Kali ini, tubuhnya tak kuasa melawan saat tugas ke Jayapura. Evert diam di Rumah Sakit. Diam selamanya seperti pribadinya yang selalu hemat kata dan perbuatan.

Selamat jalan kawan. Semoga Tuhan menerimamu dalam sepi yang kau pilih. Disana mungkin sunyi, atau mungkin juga ramai. Sejujurnya kami hanya berani bila ramai, tapi takut dalam kesendirian. Seperti kata Gandhi, mudah berdiri di tengah keramaian, tapi kita butuh keberanian untuk berdiri sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Sejarah Singkat Luwuk

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan