Mengenang IGK Manila, Peletak Perubahan di Lembah Manglayang
Oleh. Muhadam Labolo
Dipenghujung 1995, Mayjend I Gusti Kompyang (IGK) Manila menjadi Ketua STPDN. Ia menggantikan Mayjend Sartono Hadisumarto sebagai nakhoda kedua. Untuk posisi ini tak banyak diberitakan. Ia hanya dikenang sebatas politisi, Ketua Wushu, dan manajer sepak bola.
IGK Manila alumni Akmil 1964 dengan pencabangan Corps Polisi Militer (CPM). Lahir di Singaraja Bali sebagai kelas bangsawan. Setidaknya dari namanya. Perawakan dan kumisnya yang tebal sudah cukup buat disegani. Ia pernah jadi Danpom ABRI. Itu pula yang menyelamatkan satu dua praja nakal.
Suatu saat, beberapa praja keluyuran malam dari diskotik. Mereka di razia oleh aparat gabungan. Salah satu praja senior mabuk berat. Mereka ditahan dalam balutan baju preman. Tapi begitu Anggota Danpom tau itu Praja, mereka diam-diam langsung diantar hingga ke pintu Kampus Manglayang.
Mereka bukan takut praja, tapi segan dengan eks komandannya. Praja merasa percaya diri bila pesiar hingga larut malam. Memanfaatkan kharisma IGK Manila demi kepentingan yang kadang tak beralasan. Mungkin pengalaman Ketua STPDN itu membuat Manila diangkat jadi Gubernur Akademi Bela Negara milik Nasdem.
Manila punya kepemimpinan kontras dengan pendahulunya. Ia loyal dan keras, tapi punya sisi kemanusiaan dan hobi yang tak biasa. Ia lakukan relaksasi dengan kebijakan yang membuat civitas sedikit syok. Ia menyediakan fasilitas tak biasa seperti Bilyard dan Fitnes. Membuka lahan Rusa dan membentuk club shooting praja. Manila melenturkan kekakuan Perdupra.
Kritik alumni sebelumnya meluap. Walau hanya dalam bentuk gerutu. Manila tak bergeming. Ia punya alasan agar praja tetap human being, bukan robot yang diproduksi lewat pabrikasi. Ia merasa kedisiplinan yang kaku membuat praja tak bisa bernafas. Tersekat oleh doktrin pengasuh, pelatih, dosen, dan lebih-lebih seniornya.
Era itu dimaklumi. Semua praktek pendidikan konsentrik diadopsi dari Akmil. Pengajaran, pelatihan dan pengasuhan punya porsi masing-masing. Para pengasuh dididik disana pasca integrasi 20 APDN di Malang ke Jatinangor. Tradisi pendidikan militer kental sebelum transformasi akhir 2004.
Meski Ia dilanda kritik senyap, Manila meninggalkan perubahan luar biasa. Ia menyelesaikan gagasan Rudini dan Sartono yang tak selesai. Mengubah nasib Angkatan 05 dan seterusnya pulang dengan harga diri. Menggenggam ijazah Diploma IV dengan penyesuaian golongan III/a, plus sertifikat Adum Tingkat Pertama.
Semua capaian itu merupakan lompatan tertinggi dibanding angkatan sebelumnya yang mesti merayap lebih kurang 10 tahun. Manila memang tak lama menjabat, tapi Ia punya kepemimpinan yang tak bisa dilupakan dalam meletakkan revolusi atas status ambtenar alumni Manglayang. Ia dikenang untuk itu.
Diakhir tuanya Ia tak pernah diam. Sibuk sebagai pengamat sepak bola, penyayang gajah, bahkan bergabung di group pensiunan pegawai Manglayang. Ia menjadi sesepuh disitu. Tak lupa sesekali japrian dengan alumni sekolah Pamong yang lama Ia tinggalkan. Manila tokoh publik sekaligus gumil, dan nasionalis tangguh.
Kini, Manila pergi dalam usia yang sama dengan ulang tahun kemerdekaan, 80 tahun. Meski Ia lebih dikenal sebagai politisi, manajer hebat di Club Persija, bahkan Pembina Wushu yang membawa namanya di angkasa nasional, Ia tetap saja pemandu dalam sejarah Sekolah Pamongpraja Muda di Manglayang. Selamat jalan dan terima kasih Pak IGK Manila.
Komentar
Posting Komentar