Reuni Jatim Bersama Salman Hidayat
Oleh. Muhadam
Saya diundang oleh Ketua Panitia Reuni Jatim 2025, Agus Purwowidagdo, Kadis Pariwisata, bersama Agus Triono, eks Polpra yang kini jadi Kadis Dukcapil ditemani istrinya, Teh Iroh Sunirah, mantan Mojang Priangan. Ada pula Mas Yohanes yang masih trengginas meladeni peserta di Hotel Mercure Kota Madiun.
Tugas saya dua. Sebagai narsum untuk menggugurkan sppd, dan sebagai Ketua Pasopati untuk memberi sambutan. Sebagai narsum, saya mendampingi Pak Walikota Madiun, Dr. Maidi dan Mas Sugito sebagai Sahmen Desa di acara seremonial. Pak Wali bicara tentang Madiun sebagai Smart City.
Ia memulai dengan konsep semacam The Death and Life of Great American Cities yang ditulis aktivis Jane Jacobs (1961). Berusaha keras membumikannnya lewat sumber daya yang tersedia. Ia bahkan mendefenisikan smart city tak hanya sekedar internet of things, artificial intellegent, dan big data, juga semua sumber daya yang dapat digunakan.
Dengan deskripsi sederhana, saya hanya menguji dengan 5 kriteria smart city; infrastruktur, pelayanan publik, transportasi, energi-lingkungan, dan partisipasi. Semua variabel tersebut mesti diakui dengan segala kelebihan dan kekurangannya, kompatibel dengan apa yang Ia jelaskan. Bagi saya, upaya keras Pak Wali patut diapresiasi.
Ia mampu membangun akses digital bagi warga. Mendongkrak pelayanan publik diangka A plus. Transportasi diintegrasi yang memungkinkan Kota Madiun tak lagi dianggap kota mati. Energi sampah diubah menjadi listrik dalam jutaan kilowat. Totalitas kerja itu melahirkan partisipasi warga yang diekspresikan secara digital. Ia terpilih dua kali.
Tesis kedua berkaitan paradigma pemerintahan yang Ia gunakan. Dari sekedar government ke collaborative governance. Artinya, Pak Wali on track tanpa membebani kocek Kota Madiun yang hanya 1,2 triliun untuk semua kompleksitas masalah urban yang dihadapi. Ia memanfaatkan CSR untuk sektor berskala besar.
Mas Gito mengingatkan aspek desanya, agar tak ketinggalan menjadi perhatian serius. Kota seringkali abai dengan entitas paling marginal. Padahal semua bertumbuh dan berkembang dari sana. Perlu konektivitas yang memungkinkan masyarakat rural berkontribusi bagi ketahanan pangan warga kota yang hanya bertumpu pada jasa, hiburan non agricultur.
Sesi itu tentu membosankan bagi reuni semacam ini. Tapi hanya dengan cara itu misi Mas Kadis Pariwisata, _completed._ Pak Wali pergi. Semua bakat alamiah diprovokasi oleh Mas Rudi, Sekwan Bangkalan yang tetap '55 dari atas sampai bawah perut. Ia eks Kasatpol PP merangkap pemandu karaoke-live music malam kemaren.
Sebelum sesi kedua pagi oleh Salman Hidayat, kami diajak menikmati Kota Madiun. Mas Agus dkk memandu peserta reuni menelusuri kota yang mengintegrasikan simbol Asia, Eropa, Amerika dan Timur Tengah. Tak perlu jauh-jauh kesana urus visa, Kota Madiun menyediakan Patung Liberty USA, Merlion Park Singapura, Ka'bah Mekkah, Menara Eiffel Paris, Kincir Angin Belanda, dan _Great Wall_ China yang sedang digarap.
Sesi kedua topiknya menarik. Kata moderator sekaligus manajernya (Cak Rudi), Salman alumni Magister Cipinang yang sukses dibanding kita semua. Setidaknya dari sisi _networking, healthy,_ dan ekonomi. Harus diakui produktivitasnya justru melampaui kerja ASN biasa. Jangan harap anda dilayani bila tak masuk daftar list untuk bulan berikutnya.
Modal Salman hanya keahlian refleksiologi, ditambah kesederhanaan, kepercayaan diri, dan no price. Pelanggannya mulai staf, kalapas, jenderal, gubernur, bupati, walikota, bahkan pengusaha kelas kakap di lapas. Rata-rata urusannya mengaktifkan titik metabolisme syaraf yang menghambat testosteron Kaum Adam.
Semua pelanggan itu relatif sukses. Testimoni mereka jadi iklan gratis. Dari mulut jenderal ke telinga gubernur dan seterusnya. Itulah yang membuat jadwal Salman padat merayap di Bandung, Jakarta, dan Surabaya. Anda harus punya ordal seperti Cak Rudi bila ingin lebih cepat ditangani. Salman tak menentukan tarif. Disitu kelebihannya, memberi yang langsung menerima lebih dari apa yang ditentukan.
Usia 50an, kesehatan Pasopati khususnya putra memang penuh masalah. Mulai kaki sampai rambut. Mulai asam urat sampai asam lambung. Kata moderator Cak Rudi, asamnya yang perlu dihilangkan, jangan uratnya. Ia menyimpulkan diagnosa melemahnya kinerja vitalitas Mas Budi bukan soal internal, tapi lebih karena faktor eksternal.
Kata narsum pembanding, Syamsul Bahri, sekaligus praktisi, satu-satunya cara mengatasi masalah ini dengan menambah. Apalagi dasar hukumnya jelas, QS An Nisa. Mereka yang masuk kategori belum mampu termasuk kelompok penakut menurut tafsir tunggalnya, bukan tak mampu, apalagi tak mau, sambil melenggang pergi meninggalkan ruang diskusi tanpa beban.
Kembali ke Salman. Kita perlu mencontoh beliau. Ia punya modalitas sosial yang tinggi. Networking kelas atas yang bukan kaleng-kaleng. Saya ingat beberapa pejabat menteri, gubernur dan walikota juga pernah memulai karier dari tukang sapu masjid, sopir, ajudan, sespri, bahkan tukang antar makanan bosnya. Kini mereka jadi orang penting. Semua berkat networking dan keahlian tertentu.
Bukan mustahil, suatu saat Salman bisa jadi orang nomor satu di Bangkalan, atau mungkin mengembangkan satu tempat eklusive seperti Abah Anom dan sebangsanya. Saya pernah diantar Adi Nugraha pada orang pintar yang pelanggannya kelas elit dan alit untuk operasi tumor jinak. Kami antri dari pagi sampai sore hanya untuk mendapatkan sebotol air hasil komat-kamit.
Ia hidup dari situ. Tak perlu jabatan, tapi bisa mengatur presiden, mentri, jenderal, gubernur, bupati, walikota, bahkan pengusaha kelas kakap yang masalahnya sama; mampu berdiri dihadapan orang banyak, tapi gagal berdiri dihadapan satu orang. Salman punya masa depan yang baik, dan saya belajar banyak hal darinya. Inilah satu manfaat reuni yang kadang tak pernah kita sadari. Berbagi pengalaman dan harapan.
Terima kasih Mas Agus dkk selaku panitia, teman-teman peserta reuni yang rela melepas waktu di tempat tugasnya. Reuni kali ini apik, sederhana, dan mewah. Saya dapat baju, kaos, dan tinggal di hotel yang nyaman. Dengan jumlah sedikit, peluang bercengkerama lebih lekat, tak perlu berpencaran terlalu luas. Diskusinya tentu saja lebih fokus dan mendalam.
Komentar
Posting Komentar