Mengenang Gus Har di Malang

Oleh. Muhadam Labolo

Agus Harianto lahir di Blitar, 52 tahun lalu. Tepatnya 8 November 1972. Dua bulan lagi Ia akan berulang tahun ke-53 tahun. Ia tugas di Malang sebagai Camat di Sumbermanjingwetan dan Pakis. Gus Har kawan yang sabar. Suaranya agak berat dengan aksen Malang yang sedikit lucu. Tak usah pake mic pasti kedengaran.

Waktu Nindya, Gus Har masuk Darma A-1. Dia pernah menjabat sebagai Darmapati D-1 di Madyapraja. Anak sulung dari empat bersaudara. Usai pengukuhan beliau ditugaskan di Tim-Tim. Senasib dan sependeritaan dengan Mas Sugito, Alhalik, dan Waluyo. Mereka sering kumpul, sesama alumni ekspatriat.

Sejak 2021, Gus Har intens membuka komunikasi dengan saya. Ia rajin berkontribusi untuk donasi. Seringkali saya salah tulis. Gus Har jadi Gus Sur (Agus Suryadi). Ia protes, Pak Ketua kok nama saya hilang? Saya segera minta maaf. Rupanya namanya digusur sama yang baru masuk. Ia lega ditulis kembali.

Gus Har seorang birokrat yang baik. Waktu pemakaman kemaren tak hanya dihadiri Bupati Malang, juga Bupati Blitar. Ia pernah mendampingi Bupati Malang waktu dianugerahi Pin Kehormatan di Kampus Manglayang. Ia kontak saya, tapi tak sempat dampingi, sedang di luar kota.

Selepas kunjungan ke Senat Unbraw, saya kontak beliau. Rupanya sedang sakit. Saya bilang akan datang bezuk. Beliau seperti merasa di sidak. "Aduh Pak Ketua, saya ga enak, ga jemput njenengan". Saya jawab, "justru saya yang mau lihat kondisi njenengan". "Wah saya senang sekali dikunjungi Mas Ketua," katanya di ujung telpon.

Saya diantar Joanina da Costa. Seorang camat asal Tim-Tim yang tukaran tugas di Malang. Ia masih cekatan dan trengginas jemput saya di depan rektorat. Protokolnya masih ketat. Begitu turun langsung hormat patah-patah. Persis mayor penanggungjawab kelas di Lemdik Cimahi bila jemput saya ngajar para camat non alumni.

Jo mengantar saya ke RS Kanjuruhan. Gus Har sedang di inpus. Tapi Ia tetap bangun, duduk, dan bercerita asal-usul penyakitnya yang dimulai dari Asam Lambung. Karena wajah dan aksennya lucu, saya timpali dengan senda-gurau. Ia tertawa di depan istri dan suster cantik idaman praja tempoe doeloe.

Saya sempatkan berfoto dengan Gus Har dan Jo sebelum balik. Waktu ke rumah sakit saya bertiga dengan istri Mas Jo. Istrinya cantik dan baik hati. Seorang Jawa-Kristiani yang taat. Sekalipun saya bercanda dan provokasi soal kelakuan purna di usia 50an dengan suster-suster cantik, istrinya malah nambahi cerita lucu tanpa merasa dilukai.

Februari kemaren, Gus Har menjapri saya. Biasanya bercanda dulu. Kali ini lebih serius. Ia rupanya pengen daftar anaknya jadi ambtenar. Katanya buat pelanjut dirinya. Semua sudah disiapkan jauh hari, termasuk latihan dengan Yon Zipur di Malang. Saya minta ikut Bimbel ke Mas Hendik di Tulungagung biar dekat.

Sebulan terakhir Ia masuk kembali RS. Mas Gito kabarkan di group Jatim. Bahkan cuci darah. Komplikasi. Saya tak sangka penyakitnya meningkat. Saya japri supaya hubungi Mas Hariawan. Kemungkinan ada terapi alternatif yang pernah Ia share di group. Katanya, alhamdulillah sudah sedikit membaik.

Mas Gito dan kawan-kawan rajin kunjungi beliau bila berkesempatan ke Malang. Bahkan sering tidur dirumahnya. Menyemangati hidupnya. Seminggu lalu, sesudah Mba Jul dkk titip bantuan, Mas Budi dan Eny berkesempatan bezuk beliau di rumah sakit. Tubuhnya melemah drastis waktu dikabari selepas menjenguk almarhum Anwari.

Waktu terakhir kali keluar rumah sakit, feeling saya seakan memberitahu tentang masa depannya. Ia telah berikhtiar semaksimal mungkin, namun takdirnya sampai disitu. Gus Har yang selalu ditemani istri yang baik dan ramah itu telah pergi. Ia seakan berhutang tentang impian anaknya, jadi ambtenar.

Saya ingat alm Devi di Sumbar seminggu sebelum pergi. Ia kontak untuk titip anaknya agar bisa masuk Manglayang. Syukurlah dibantu Pak Sekjen masuk KPU. Berkurang pikiran saya. Gus Har banyak diperhatikan oleh teman-teman Pasopati, khususnya Jatim. Di bezuk, dan diantar oleh mantan Manggalapati (Puguh Imam Susanto) dkk ke peristrahatan terakhir.

Gus Har telah usai melawan penyakitnya. Ia bahkan lama bertarung melawan dirinya sendiri. Seperti kata di buku kenangannya, jihad paling besar melawan diri sendiri. Mengoreksi orang lain mudah, tapi mengoreksi diri sendiri pada umumnya enggan dilaksanakan. Mungkin Itu pula yang beliau camkan berkali-kali di depan Apel Madya yang membosankan. Selamat jalan Gus Har.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Sejarah Singkat Luwuk

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan