Postingan

Mendudukkan Ormas Dalam Bingkai Bernegara

Oleh. Muhadam Labolo Eksistensi ormas kini mencemaskan, karenanya dipersoalkan. Masalahnya, ruang publik dihiasi premanisme atas nama ormas. Tentu tak semua ormas. Negara dinilai abai atas tindak-tanduknya yang menyerupai, bahkan melampaui fungsi dan tugas negara. Bagaimana memosisikan ormas dalam bingkai bernegara? Semua paham, bahwa negara pada hakekatnya produk masyarakat. Jauh sebelum entitas negara hadir, tiap individu yang merasa terganggu mengasosiasikan diri dalam organisasi. Sebab hanya dengan begitu kekuatan dapat ditumbuhkan untuk membentengi dan mengusir penjajah. Inilah organisasi masyarakat. Kelak, organisasi masyarakat yang berbeda latar itu mengintegrasikan diri dalam wadah yang lebih luas. Mengklaim diri secara de facto maupun de jure . Jadilah negara. Dalam teori pertumbuhan dan perkembangan negara, Ndraha (2002) meletakkan di level ketiga dari hirarkhi ber-Tuhan, ber-alam, kemudian bermasyarakat. Setelah bermasyarakat, kolektivitas manusia berkembang ke level berban...

Toxic Mematikan Otonomi Daerah

Oleh. Muhadam Labolo Gejala kegagalan otonomi daerah sebagai antibiotik terhadap sentralisasi orde baru kini telanjang terlihat. Ulang tahun otonomi daerah ke-29 hanya seremonial untuk mengingatkan daerah bahwa mereka pernah diberi wewenang luas. Kini mungkin tinggal artefaknya, urusan administrasi belaka tanpa benar-benar terasa otonom. Indikasi kuat itu terlihat pada resentralisasi wewenang, pengendalian keuangan, pemusatan aparat, penyatuan visi, kontrol berlebihan terhadap pemda, serta pola uniformitas pilkada (Djohan, 2025). Gambaran itu menunjukkan seolah pemerintah bosan mengelola keragaman di tengah kecenderungan aktor lokal kehilangan orientasi berotonomi daerah. Korupsi salah satunya. Toxic mematikan itu dimulai dari resentralisasi wewenang. Sebagian besar tumpuan harapan daerah untuk berotonomi lenyap seketika pasca berlakunya UU Cipta Kerja dan UU Minerba. Padahal kunci utama sebagai ruh berotonomi terletak disitu. Tanpa kewenangan yang cukup, daerah tak lebih sama dengan ...

Retret Kepala Daerah

Oleh. Muhadam Labolo Seminggu lalu, Radio Elshinta mewawancarai saya. Pertanyaan awal dalam 40 menit itu; apakah kegiatan retret kepala daerah di Magelang dapat menurunkan angka korupsi? Jawab saya, tentu tidak. Retret secara langsung bukan untuk itu. Tapi secara tak langsung mungkin punya korelasi. Seperti para menteri, retret kali ini bertujuan memberi wawasan tentang problem nasional-local dan kebijakan apa yang mesti dilakukan pasca pelantikan sebagai kepala daerah. Pemerintah berkeinginan kuat agar kebijakan pusat benar-benar "kawin" dengan daerah. Dengan begitu gerak pemerintahan lebih efektif. Kata retret berasal dari bahasa Perancis, yaitu retirer atau retraite, yang berarti mundur atau menarik diri. Dalam konteks militer, retret digunakan untuk menggambarkan proses penarikan pasukan dari medan pertempuran yang tak strategis. Jenderal Napoleon dan Soedirman pernah lakukan retret untuk membangun kekuatan. Dalam bahasa Inggris, kata retreat digunakan untuk menggamba...

Mempersoalkan Kembali Efektivitas Ilmu Pemerintahan

Oleh. Muhadam Labolo Ada saatnya kita renungkan kembali tentang seberapa efektif ilmu pemerintahan menjawab problem pemerintahan hari-hari ini yang kian berat menimpa ruang-ruang pemerintahan. Problem itu tak hanya menyenggol institusi pemerintahan, juga mengabur tipis fungsinya, membatasi interaksinya, mengurangi otoritasnya, bahkan menumpulkan seninya. Pertanyaan sederhananya, masih efektifkah ilmu pemerintahan hadir untuk menengahi semua itu? Setidaknya, sejauhmana Ia turut berkontribusi? Ketika orde baru jatuh di awal 1998, kita menyaksikan betapa ilmu-ilmu sosial seperti politik, administrasi dan hukum kehilangan muka memproyeksi kerapuhan rezim tersebut. Disisi lain dengan percaya diri ilmu pemerintahan hadir seraya merekonstruksi diri sebagai alternatif jawaban. Dalam masa itu Ia sibuk memberi jawaban akademik dan praktikal. Dengan cara hibrida dan eklektis, jawaban akademik disodorkan sembari memperkuat model-model pemerintahan secara aksiologik. Problem pemerintahan seri...

Memahami Kembali Kepamongprajaan

Oleh. Muhadam Labolo Banyak orang lupa dengan istilah Pamongpraja. Termasuk mereka yang sejak awal memilih profesi sebagai Pamongpraja. Kepamongprajaan sendiri memiliki makna yang kompleks jika dibandingkan dengan istilah Pamongpraja. Pamongpraja secara sempit merujuk pada personifikasi tertentu.   Kepamongprajaan meliputi sejarah, organisasi, kebijakan, fungsi, nilai, dan profesi. Catatan singkat ini setidaknya dapat menjelaskan eksistensi Pamongpraja yang dalam perjalanannya mengalami pasang-surut. Dinamika tersebut lebih karena perubahan kebijakan pada setiap rezim. Pertama, secara etimologis, Pamongpraja terdiri dari Pamong dan Praja. Pamong bermakna mengasuh (ngemong), membimbing dan mengarahkan. Makna ini menekankan pentingnya kedewasaan dalam relasi antara yang dituakan dengan kaum muda. Dalam dunia pendidikan jamak ditemukan hubungan senior-yunior untuk mentransformasikan nilai-nilai leadership. Dua istilah lain yang sepadan pernah muncul seperti Pagarpraja dan Pangre...

Membaca Masa Depan Pamong Manglayang

Oleh. Muhadam Labolo Kekuatan alumni pendidikan pamong (Manglayang) dalam kepemimpinan pemerintahan tak bisa dinilai sebelah mata. Dengan membatasi konteks alumni 01 sd 31 hari ini, sebanyak 34.456 cukup menjadi potensi yang dapat memengaruhi konstelasi pemilu dalam 10 tahun kedepan (2034). Jumlah alumni sebanyak itu, dikurangi 1% yang wafat, sakit dan tak aktif dalam dunia politik (apolitik), tetap saja kekuatannya bertambah seiring dengan produknya yang melahirkan 500-1000 orang/tahun. Itu cukup menjadi daya tawar (bargaining position) bila sungguh-sungguh dimobilisir. Melihat jejak pamong di birokrasi pusat dan daerah hari ini memang terasa belum signifikan. Namun 21 personil yang duduk di eselon 1 sebagai dirjen, sekjen, deputi, sahmen, kepala badan, dan sekda provinsi cukup menjadi jembatan dan magnet kuat bagi lebih dari 5.000 eselon dua di daerah dan pusat. Itu hanya mungkin bila konsolidasi dapat dilakukan oleh tokoh-tokoh Pamong pelintas batas. Belajar dari distribusi pejabat...

Perlunya Mengelola Urusan Publik dengan Kajian

Oleh. Muhadam Labolo Setiap rezim punya kebijakan. Persoalannya ketika pemerintah kesulitan meletakkan urusan private dan urusan publik . Tambang, urusan publik jadi urusan ormas dan perguruan tinggi. Akhirnya, ormas sebagai pemersatu berubah jadi penambang. Malangnya sampai Jokowi lengser, NU dan Muhammadiyah gigit jari, tak ada penyerahan tambang (Dahlan Iskan, 2025).  Apalagi Perguruan Tinggi (PT), bukan Perseroan Terbatas. Kuatirnya, pendidikan dengan potret literasi rendah, infrastruktur hancur, guru langka, tukin raib, plagiasi tinggi, IQ setingkat Simpanse gagal diatasi malah semua pendidik ramai-ramai meninggalkan kelas jadi penambang. Disisi lain hak publik seperti perairan laut diterbitkan sertifikat untuk kepentingan private. Bukan mustahil ruang dirgantara disertifikatkan seperti parodi di sebuah tiktok. Jadilah bumi, air dan kekayaan alam urusan private. Dimana relevansi tanggungjawab negara dalam Pasal 33 ayat 1-3 UUD 45? Negara rasanya lenyap,  tersisa swasta da...