Postingan

Menampilkan postingan dari 2015

Mundur dari Jabatan, Gejala Menguatnya Etikalitas Pemerintahan

Oleh. Muhadam Labolo Sepanjang tahun 2014-2015, fenomena mundur dari jabatan sebagai penyelenggara negara maupun pemerintahan menjadi trend yang meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Tercatat setidaknya terdapat Anggito Abimanyu yang mundur dari jabatan Dirjend Haji (2014), Sigit Priadi Pramudito mundur dari jabatan Dirjend Pajak (2015) dan Djoko Sasono yang terakhir mundur dari jabatan Dirjend Perhubungan Darat akibat kemacetan parah di awal Natal tahun 2015. Jauh sebelum itu kita juga pernah menyaksikan sejumlah politisi yang mundur dari jabatan dengan berbagai alasan. Misalkan saja akibat konflik internal dalam pemerintahan daerah mendorong Dicky Chandra dan Prijanto mundur dari jabatannya sebagai Wabup Garut (2011) dan Wagub DKI Jakarta (2012). Suharso Monoarfa mundur dari jabatan Menteri Perumahan Rakyat pasca digugat cerai istrinya (2011). Andi Mallarangeng dan Suryadarman Ali mundur dari jabatan sebagai Menpora dan Menteri Agama akibat kasus Hambalang (2012) dan

Legitimasi dan Tantangan Pasangan Kepala Daerah Baru

Oleh. Muhadam Labolo             Pasca pemilukada serentak tanggal 9 Desember 2015, kini kita telah menghasilkan 264 pasangan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota baru di seluruh Indonesia.  Terlepas bahwa terdapat gugatan atas legitimasi pasangan terpilih dibeberapa daerah kepada Mahkamah Konstitusi, tetap saja kita optimistis bahwa mekanisme demokrasi pada akhirnya adalah jalan keluar (way out) yang paling rasional dan beradab dibanding penyelesaian sebaliknya seperti kasus di Provinsi Kalimantan Utara. Legitimasi adalah akseptabilitas moral masyarakat terhadap pemimpin terpilih, apakah mereka terpilih secara fairness atau sebaliknya. Dalam konteks Indonesia, untuk membuktikan keabsahan pasangan terpilih dapat dilakukan lewat Mahkamah Konstitusi. Misalnya, menurut Peraturan MK Nomor 1/2015, syarat pengajuan gugatan untuk wilayah provinsi yang jumlah penduduknya di bawah 2 juta, syarat selisih suara adalah 2 persen. Untuk provinsi dengan jumlah penduduk 2 juta

Memaknai Kembali Latar Filosofi Pamongpraja

Oleh. Muhadam Labolo           Dalam sebuah kesempatan bersama beberapa Praja, kami berkenan menghadiri undangan rutin Akademi Jakarta yang diadakan di Taman Ismail Marzuki (September 2015). Seperti tahun-tahun sebelumnya, undangan kami terima lewat sekretaris panitia Pak Abu Hasan Asyaari, satu-satunya dosen filsafat IPDN yang sayangnya tahun ini memasuki masa pensiun. Tema tahun ini dalam kaitan Memorial Lecture Sutan Takdir Alisjahbana adalah Budaya dan Spiritualitas dengan pembicara tunggal Prof. Dr. Toeti Heraty N. Roosseno.   Sambutan dibuka oleh Prof. Taufik Abdullah selaku Ketua Akademi Jakarta. Pengantar biografi oleh Dr. Karlina Supelli, seorang staf pengajar Program Pasca Sarjana Filsafat, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Tahun lalu beliau mendapat kehormatan menjadi narasumber utama sekalipun saya tak sempat hadir. Walau demikian saya cukup takjub, sebab beliau awalnya seorang Fisikawan yang kemudian mengalami loncatan ziq zaq menuju The Mother of S

Menemukan Kembali Akar-Akar Kekerasan di IPDN, Sebuah Kontemplasi

Oleh . Muhadam Labolo Pertanyaan seorang civitas akademika soal darimanakah akar-akar kekerasan di IPDN pasca cut off rekrutmen Praja tahun 2010 menarik untuk diperbincangkan di tengah kasus pemukulan seorang Taruna Akmil yang hampir mengalahkan isu besar, Papa minta saham   Mama minta pulsa .   Rasanya saya ingin berkirim surat kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) di Senayan, agar kasus yang sedang mereka tangani di buat lebih lama dan tegang sehingga letupan kecil di kampus IPDN tak meloncat jauh ke muka publik.    Kembali ke pertanyaan diatas, seingat saya salah satu hasil rekomendasi tim investigasi pimpinan Ryaas (2007) menyimpulkan bahwa akar kekerasan pasca Wahyu Hidayat dan Clift Muntu di STPDN adalah tradisi yang diturunkan secara kolektif oleh sistem senioritas dari tahun ketahun.   Tentu saja jika kita telusuri lebih jauh kesimpulan tersebut menunjuk pada angkatan 1 sampai 13 (Kasus Wahyu Hidayat angkatan 14).  Pasca sela selama dua tahun tanpa penerimaan Praja, angkat