Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2022

Mengenang Almamaterku

Oleh. Muhadam Labolo Tahun 1992 saya masuk sekolah Manglayang, STPDN. Di kampung, dibilang sekolah camat, leburan APDN di daerah. Saya hanya ingat camat di kampung, pakaiannya putih bersih, pake peci hitam saat upacara 17 agustusan. Kapolsek dan Danramil manut dikiri kanan.  Dari depan, kampus itu megah dan wibawa. Tak banyak yang diingat, kecuali senior, pengasuh, dan tokoh legendaris yang mengendap dalam ingatan civitas, Sartono, Djaffar dan Indrarto. Yang lain tak dilupakan, tapi yang tiga diatas sulit dikecualikan. Tanpa mereka, percakapan alumni terasa kering & hambar. Sartono HS hebat karena kepemimpinannya yang tenang, lembut tanpa kehilangan ketegasan dan kharisma yang tinggi. Dia mantan Bupati Kampar dan purnawirawan bintang dua yang bahkan tak dikenal tetangganya yang seorang tentara pula. Ketua STPDN itu pergi dengan diam beberpa tahun lalu ditengah didikannya mulai tumbuh jadi pejabat di Cimahi. Saya hadiri pemakamannya. Djaffar, mantan pembina di Akmil itu diminta Rudi

KSA di Manglayang

Oleh. Muhadam Labolo Dulu, Kamar Sakit Asrama (KSA) berukuran sama dengan salah satu ruangan kelas yang berkumpul tepat di jantung Kampus IPDN Manglayang. Letaknya di sayap kiri arah masuk, berseberangan dengan kelas Sriwijaya. Disebelah kanan, KSA berdekatan dengan monumen APDN Bandung dan perpustakaan. Sisanya dikelilingi barak praja yang sekarang disebut wisma.  Singkatan KSA diadaptasi dari istilah di satuan militer. Maklum, tahun 90an Kampus STPDN Jatinangor di dominasi pejabat militer. Mulai pimpinan puncak hingga pengasuh umumnya BKO dari divisi kavaleri AD. KSA sendiri terdiri dari dua lantai. Lantai atas dipakai buat pelatihan komputer. Dulunya masih pakai MS-DOS (disk operating system). Susah mengoperasikan, kecuali hafal simbol aksara dan angka. Praja yang mahir pasti disangka otaknya paling encer, walau tak serta merta kebal hukuman. Bangsal di KSA waktu itu terbatas. Hanya untuk menampung praja yang sakit. Biasanya praja hanya butuh tiga hari untuk istrahat disitu, lalu d

Hantu Neng Lilis di Manglayang

Oleh. Muhadam Labolo Konon, sejak angkatan awal masuk di Kawah Candradimuka Manglayang, salah satu mitos populer adalah hadirnya mahluk halus Neng Lilis disekitar barak pada malam purnama. Di imaji praja, bajunya merah menyala, cantik, putih, mulus, berambut panjang, melayang, tak lupa dihiasi wajah muram-durja. Banyak tafsir kesedihan itu, diantaranya ditinggal pacar hingga bunuh diri di depan kampus. Konkritnya gantung diri di seputar gedung APDN lama.  Dampak psikologisnya, praja diminta berhati-hati agar performa meyakinkan lewat pesona atribut yang melekat di pakaian dinasnya tak mudah dimanipulasi bagi kepentingan nafsu belaka. Mitos itu baik untuk mengendalikan keinginan menanamkan investasi dimana-mana yang membuat banyak mahluk sebangsa Lilis ditinggal merana di sekitar Jatinangor. Mitos yang ditransformasikan secara hirarkhi dan turun-temurun itu kini mengalami metamorfosis. Neng Lilis masih terlihat awet dengan versi kekinian duduk santai di kereta kencana. Menariknya, ter

Serangan Polpra

  Oleh. Muhadam Labolo Tiba-tiba Polpra Madya masuk seperti siluman ke salah satu Barak Mudapraja. Tak ada persiapan apapun menghadapi sidak di siang bolong. Apalagi lepas makan siang. Beberapa mengambil posisi rehat di atas bed . Menikmati udara sepoi yang memaksa kantuk. Tidur ayam.  Tapi semua kenikmatan itu tak berlangsung lama. Terdengar suara keras dan keributan di lantai bawah. Mudapraja berloncatan seperti Rusa di kejar Harimau di padang afrika mencari perlindungan.  Ketua barak berteriak mengingatkan supaya bergegas. Wajahnya terlihat sangat pucat seperti kertas. Ia tentu merasa paling bertanggungjawab. Dan biasanya akan dimintai pertanggungjawaban, dunia dan akherat. Dua polpra setengah berlari naik lewat tangga kanan kiri. Polpra lain menunggu di lantai bawah barak. Muda berlarian seperti domba di arak penggembala. Bertubrukan mencari cela diantara sempitnya ruang menuju tekape.  Tak ada yang sempat menoleh kebelakang. Apalagi sampai mikir nasib kawan yang berceceran karena

Menza, Riwayatmu Dulu

Oleh. Muhadam Labolo Entah siapa yang pertama kali beri nama Menza. Sebuah ruangan besar berbentuk kunci T tempat makan Praja di Kampus IPDN Manglayang. Maknanya sulit ditemukan. Desainer gedung itu dari ITB, tapi tak banyak yang diketahui. Deskripsi Menza di Lab dan Museum kampus tak muncul, kecuali rancang bangunnya. Di google sedikit versi, tapi boleh diartikan tempat berkumpulnya kaum cendekia yang terpilih selektif. Makna itu saya pikir lebih pas. Sebab semua yang berkumpul dan makan disitu bukan orang biasa. Mereka pilihan dari Sabang sampai Merauke. Isi kepala, kualitas dan performa tubuh punya standar di atas rata-rata. Setidaknya mereka telah melewati test IQ, EQ dan SQ. Pendek kata, tak ada yang kurang dari standar minimum hingga layak makan di Menza. Di depan Menza ada plaza kecil, tempat apel sekaligus pengecekan pasukan. Bagi Mudapraja, tempat itu sama dengan lokasi pencucian dosa. Transit disitu berarti evaluasi. Mereka yang tak rapi pasti berurusan dengan elit Jarko dan

Menyoal Legitimasi Kepemimpinan

Oleh. Muhadam Labolo Apakah partai politik masih memiliki legitimasi sebagai pengusung pasangan calon presiden di 2024? Atau taruhlah sebuah gugatan netizen yang mempersoalkan apakah status seorang penjabat kepala daerah legitimate  selama dua tahun kedepan menunggu terpilihnya kepala daerah defenitif? Dua kasus ini sekalipun beda namun menarik untuk dipersoalkan. Legitimasi merujuk pada akseptabilitas publik terhadap moral seorang pemimpin (Surbakti,2010). Semakin luas pemimpin diterima, semakin tinggi legitimasinya. Legitimasi memberi tanda atas pemenuhan cara dan hasil tertinggi ( leg, hukum). Cara (proses) memperoleh kekuasaan dan bagaimana hasil perolehan kekuasaan itu sendiri. Bila kedua hal tersebut meragukan dapat berakibat krisis legitimasi. Proses, lazim di ukur secara administrasi mulai mendaftar hingga berkompetisi. Sementara hasil di takar menurut kalkulasi politik. Cara menikung proses bisa lewat manipulasi syarat. Misalnya mereka yang tak berpendidikan tiba-tiba berija

Menata Alokasi Penjabat Kepala Daerah

Oleh. Muhadam Labolo Putusan MK No.67/PUU-XIX/2021 menegaskan bahwa anggota TNI-Polri hanya dapat diangkat menjadi Penjabat Kepala Daerah ketika yang bersangkutan telah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Amar MK ini sekalipun terang-benderang, namun tak kuasa dieksekusi lantaran beririsan dengan beleid lain.   Bila diteliti semangat UU ASN No.5/2014, UU TNI No 34/2004, UU Polri No.2/2002, UU Pemda No.23/2014, UU Administrasi Pemerintahan No.30/2014, serta UU Pilkada No.10/2016 terlihat betapa sulitnya melerai tumpang-tindih pengaturan soal posisi seseorang dalam status sebagai aparat pemerintah dan aparat negara yang diberi tugas tambahan di jabatan politik. Lepas dari sejumlah dasar hukum itu hanya UU ASN yang bersifat afirmatif, sisanya memiliki semangat yang sama. Dengan alasan itu, ada baiknya pemerintah merelaksasi aturan teknis alokasi Penjabat Kepala Daerah yang akan berakhir di penghujung 2022 dan 2023. Alasannya, pertama, secara teknis memperjelas

Polemik Penjabat Kepala Daerah

Oleh. Muhadam Labolo Setidaknya tiga warta harian online tanggal 21-23 Mei 2022 menginformasikan polemik pengisian penjabat kepala daerah dan konsekuensi posisi yang ditinggal oleh pejabat itu sendiri (newssultra, radarkotanews, &  indopos.co.id ). Gubernur ogah melantik sekalipun SK telah diterima. Soal lain terkait kepatuhan pemerintah atas Fatwa MK terkait pola pengisian penjabat, serta mekanisme rekrutmen penjabat. Isu ini setidaknya dijawab lewat aturan organik setingkat PP dan Permen agar tak mengganggu agenda besar 2024. Kepatuhan dalam pengisian penjabat kepala daerah dapat dilihat pada kesiapan mekanisme rekrutmen penjabat di luar ASN (Polisi/Tentara aktif), selain konsistensi terhadap mekanisme yang lazim selama ini. Pengalaman sudah-sudah, mekanisme penetapan penjabat bupati dan walikota bersifat bottom up melalui usul Gubernur. Disisi lain mekanisme penetapan penjabat di level provinsi bersifat top down oleh presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Mekanisme ini sebenarn

Religi dan Demokrasi (Pancasila)

Oleh. Muhadam Labolo Sebuah video pendek menampilkan dialektika dua artis populer berdiskusi perkara religi dan demokrasi. Salah satu menilai bahwa demokrasi tak mengatur detil perkara sopan santun sebagaimana religi. Sepintas, sang artis seakan menyesali mengapa bangsa ini sejak awal tak memilih religi sebagai fondasi formalistik bernegara, agar seluruh perikehidupan di atur menurut teks religi. Semangat khilafah tampaknya tak hanya menyasar konvoi di sebuah kampung, kini memasuki lapisan super elit di tengah fakta Sudan memilih demokrasi pasca 30 tahun konflik dengan sistem religi. Mensejajarkan religi dengan demokrasi tentu sebuah kesesatan yang nyata. Religi bukan demokrasi, dan demokrasi bukan pula religi. Keduanya punya titik temu di teks, sekaligus titik tengkar di konteks. Religi adalah seperangkat nilai yang diyakini individu & masyarakat untuk mengatur hidup di dunia dan akherat (vertikal dan horisontal). Religi pun dapat dipakai sebagai sistem nilai bernegara, baik seked