Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2024

Menjaga Kehormatan

Oleh. Muhadam Labolo Ketika Jendral Besar A.H Nasution menawarkan pangkat tituler Mayjend kepada Ulama Besar Buya Hamka atas jasanya memobilisasi perlawanan rakyat pada Belanda, Ia menolak. Alasannya sederhana. Ia hanya ingin fokus pada bidangnya, berdakwah dan menulis. Atas ketekunannya, Hamka di kenang sebagai sastrawan hebat, selain mewariskan Tafsir Al Azhar. Setahun lalu, Emil Salim diberikan penghargaan bergengsi Climate Hero Award dari Foreign Policy of Community Indonesia (FPCI). Ia menolak. Di atas panggung Emil beri tahu alasannya. Ia merasa gagal menjalankan konvensi Rio 1992. Sungguh, panitia tak menyangka, ada tokoh yang tak berkenan menerima simbol kehormatan di bidang itu. Emil bukannya tak mau dihormati. Nuraninya menolak penghargaan itu, bahkan mengakui sebaliknya, gagal menyelamatkan bumi dari kerusakan lingkungan. Sikap itu justru memosisikan Emil lebih terhormat. Mantan Dubes USA, Dino Patti Djalal menobatkan Emil sebagai tokoh yang memiliki integritas diantara tok

Mereparasi Kembali Mekanisme Pemilu

Oleh. Muhadam Labolo Catatan kritis Chris Komari (2024), aktivis demokrasi dan mantan anggota parlemen di Amerika menarik dicermati. Gagasan perlunya mereparasi kembali mekanisme demokrasi dari level pusat hingga daerah. Setidaknya perlu dipertimbangkan pasca pemilu 2024. Gagasan itu tak lain guna meredam distrust atas hasil demokrasi yang dicapai bangsa ini. Distrust hasil pemilu setidaknya berakumulasi pada indeks demokrasi. Hasilnya tetap stagnan di posisi cacat demokrasi (flawed democracy, 6,53). Demikian menurut EIU (2023). Nilai eksternal itu tentu saja di suntik oleh kelalaian tata kelola demokrasi internal. Dalam variabel tertentu kita boleh jadi mencengangkan. Ambil contoh tingkat partisipasi pemilih. Ironisnya, partisipasi politik itu bersifat semu. Kosong, seperti amplop yang tak ada isinya. Orang hanya butuh isinya, bukan amplopnya. Demokrasi kita terpasung disitu. Di asesoris, bukan di jiwanya. Di periferal, bukan di sentrum gravitasinya. Di prosedur, bukan di substansin

Menonton Dirty Vote Sebagai Warning

Oleh. Muhadam Labolo Dirty Vote, di anggap film dokumenter berjenis perjalanan. Perjalanan pemilu yang penuh liku, laku dan luka. Proses pemilu 2024 yang penuh liku itu mampu dilewati dengan melakukan berbagai laku hingga menuai luka dimana-mana. Luka itulah yang kini dipersoalkan sebagai satu hal yang dinilai cacat hukum dan etik dalam kerangka prosedur demokrasi. Dirty Vote , mungkin tak sepenuhnya bisa dikatakan film dokumenter. Ia peristiwa politik yang dirapikan para akademisi. Robert Flaherty pertama kali membuat film dokumenter tahun 1926 tentang cerita non-fiksi. Genre dokumenter biasanya sejarah, biografi, dan perjalanan peristiwa. Dirty Vote mengangkat topik perjalanan proses politik Indonesia menuju pemilu 2024.  Proses itu memperlihatkan bagaimana tahapan pemilu di desain sedemikian rupa hingga paslon tertentu tiba di titik kompetisi sebagai capres-cawapres. Narasi menampilkan bagaimana prosedur demokrasi di bajak lewat berbagai cara yang dinilai abnormal dan penuh kecura

Membaca Suara Akademisi

Oleh. Muhadam Labolo Kurang lebih 50 perguruan tinggi bersuara dalam bentuk deklarasi kebangsaan. Sebuah ekspresi keprihatinan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Sekalipun tak mewakili 4.523 perguruan tinggi di Indonesia (Dikti, 2023), namun aksi kecil itu menunjukkan geliat kaum middle class sebagai agent perubahan. Suara kelas menengah tampak lebih soft dibanding misalnya suara kepala desa yang destruktif. Para pendidik fungsional itu sebatas mengirim pesan moral dari jauh. Sementara para kades yang notabene instrumen struktural pemerintah justru memperlihatkan perilaku anarkhis di depan parlemen. Pesan moral kaum pegiat ilmu itu tentu jauh lebih mudah ditangkap. Ia mengetuk pikiran dan nurani. Pesan itu setidaknya membangun kesadaran kognitif agar pemerintah tetap menjaga kewarasan, objektivitas dan rasionalitas dalam praktek pemerintahan. Pesan deklarasi pun berkehendak mengetuk nurani. Nurani yang pekat sekurangnya dapat tercerahkan oleh para guru besar yang sehari-hari b

Baju Polpra Ukim Sumantri

Oleh. Muhadam Labolo Kami berharap hari-hari terakhir di Sungguminasa berjalan baik. Setidaknya dapat meninggalkan kesan positif bagi keluarga Yudi. Kemana-mana selalu bersama. Termasuk keluar rumah, semobil. Mengingat jarak kediaman ke kota cukup jauh. Kendati ada motor, hanya Yudi yang sering gunakan. Aco sekali-kali pinjam. Saya tak berani. Tak paham seluk-beluk jalan di Makassar. Daripada nganggur, Aco usulkan kecilkan baju dinas pemberian Ibu. Saya setuju. Saya titip satu stel baju keki dan linmas. Aco ambil miliknya ditumpukan baju kering. Ia rupanya ikut cucian baju dinas bersama keluarga Yudi. Numpang di mesin cuci. Di tumpuk setelah kering di atas dipan. Karena buru-buru, Ia ambil begitu saja baju Linmas-Hansip yang menyembul.   Aco pergi dengan motor Yudi. Melesat ke Jalan Landak Baru-Bontolangkasa. Dekat Kantor PMD. Ia segera mengecilkan baju dinas saya dan miliknya. Waktu berangkat beliau sempat tanya, "Dam, ukuran bajumu bagaimana?" Jawab saya spontan setengah be

Piring Warisan Kubilai Khan

Oleh. Muhadam Labolo Setahun pertama di Makassar, saya dan Samin Samad tinggal di rumah Yudi Indrajaya. Beliau keluarga aristokrat terpelajar. Walau begitu, tetap ketat dengan tradisi dari bangun pagi sampai tidur kembali. Sebenarnya saya punya keluarga di Jalan Tidung, namun terasa feodal. Dirumah Yudi lebih nyaman, walau harus tertib dan disiplin. Setiap pagi saya bangun lebih awal. Sholat subuh, jerang air-panas, menyapu lantai, cuci mobil, beri makan ayam di kandang, dan tak lupa siapkan teh serta kopi di atas meja. Semua buat menyenangkan keluarganya. Setidaknya balas budi karena diberi tempat istrahat. Keluarganya telah berbaik hati menampung kami.  Ayahnya orang nomor satu di Direktorat Bangdes Provinsi Sulsel. Ibunya tawarkan kami di rumah. Bersyukur tak perlu kosan. Hemat biaya kontrak dan transportasi. Apalagi gaji masih proses pindah. Jujur, saya berhutang budi pada keluarga Yudi dan Rahaam. Khususnya enam bulan pertama di Makassar dan sebulan di Palopo. Sebelum bertugas kam