Postingan

Menampilkan postingan dari 2014

Efisiensi, Ruang Private dan Urusan Negara

Oleh. Dr. Muhadam Labolo Ketika pemerintah kini mendorong semangat efisiensi hingga ke titik terendah (pemotongan anggaran sampai 30%), semua satuan kerja setingkat departemen hingga unit terkecil di tangga terbawah bergegas merelaksasi sebagian besar kegiatannya pada batasan yang paling rasional, patut dan wajar. Rasionalitas pengeluaran dibatasi pada realitas harga yang masuk di akal sehat. Menganggarkan penggantian kain gorden di kantor dengan ukuran 3x4 persegi seharga ratusan juta misalnya, patut di duga lahir dari akal yang tak begitu sehat sehingga tak rasional. Boleh jadi seseorang mungkin tampak waras dalam pergaulan hidup sehari-hari, namun akal sehatnya tak cukup dilandasi oleh nilai spiritualitas sehingga berubah menjadi akal bulus . Output dari akal semacam itu melahirkan pembiayaan fiktif yang di utak-atik dari DIPA atau POK unit organisasi. Kepatutan ditaksir berdasarkan etika umum yang berlaku dalam masyarakat. Apakah patut jika seorang pejabat eselon dua naik

Birahi Desentralisasi Asimetrik dan Perubahan Konsensus

Oleh. Dr. Muhadam Labolo           Meluapnya tuntutan otonomi khusus diberbagai lapisan pemerintahan daerah menggambarkan betapa sibuknya daerah memikirkan masa depan dirinya masing-masing tanpa menimbang konsekuensi logis dari semua hasrat yang dapat menimbulkan kesenjangan antar sesama daerah dan ketegangan antara pusat dan daerah. Bagi daerah-daerah yang menuntut ke- sex-ian semacam itu beralasan bahwa justru tanpa perlakuan khusus selama inilah daerah mereka mengalami ketimpangan dibanding wilayah lain yang jelas-jelas secara ekonomi, politik dan sosial budaya tertinggal. Lewat alasan klasik ‘keadilan’ mereka menuntut perlunya pusat mempertimbangkan kembali semua konsesi yang pernah dibicarakan baik secara historis, politik maupun ekonomi. Kota Solo mencoba mengingatkan kembali pemerintah pusat tentang perjalanan historisnya sebagai salah satu kerajaan yang eksis di Tanah Jawa. Tidore dan Ternate seakan ingin menyadarkan pemerintah pusat bahwa kontribusi mereka dalam mobilitas

Membumikan Kepemimpinan Bahari Dalam Birokrasi Indonesia

Oleh. Muhadam Labolo           Dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun terakhir sejak 1995, tak ada satupun seminar berskala nasional bertajuk Kepemimpinan Bahari, kecuali apa yang pernah digagas oleh  Prof. Taliduhu Ndraha dan Prof. Ryaas Rasyid di Institut Ilmu Pemerintahan. Kompilasi atas hasil seminar saat itu dapat dibaca utuh lewat buku berjudul Kepemimpinan Bahari , edisi pertama, 2011, Penerbit Ghalia, dengan pengantar Dekan Fakultas PP IPDN. Menurut saya, seminar tersebut merupakan seminar terbaik yang pernah terselenggara tidak saja jika dilihat dari aspek kualitas makalah, narasumber dan interaksi pesertanya, demikian pula steering commite yang mampu menghasilkan laporan seminar selengkap itu. Kesana saya seminar tempo dulu berskala nasional namun bervisi international (baca makalah Emil Salim, Anhar Gonggong, Nazaruddin Syamsuddin, Budhisantoso, Mattulada, Purnama Natakusuma, Parsudi Suparlan, Yogie SM, TB. Silalahi, Paulus Wirutomo, Andre Hardjana, R.Z Leirissa, Bahar

Menemukan Titik Kesejahteraan Umum

Oleh. Muhadam Labolo           Dimanakah lokus yang hendak dituju pemerintah sebagai personifikasi negara dalam semangat membuncah lewat slogan kerja, kerja dan kerja ? Jefferson & Gandhi (1982) mengingatkan kembali pada kita dalam ide dasar republikan, bahwa distrik dan desa adalah tempat yang sesungguhnya dari kemauan rakyat dan kesejahteraan umum ( res dan publicum ). Pikiran itu setidaknya menunjukkan desa sebagai lokus utama untuk dua alasan pokok, yaitu sarana menyerap kemauan rakyat yang sesungguhnya, serta tempat dimana kesejahteraan yang menjadi tujuan umum suatu negara berakhir dengan sendirinya. Apakah kemauan rakyat ada di tempat lain semacam kota? Jawabannya pasti ada, namun kemauan di tingkat semacam itu lebih memperlihatkan daftar keinginan ketimbang kebutuhan ril. Masyarakat kota terlalu politis sehingga sulit membedakan antara kebutuhan sejati dengan keinginan warga kota. Kota sendiri memiliki ciri masyarakat yang cenderung mandiri, dinamis, individual

Menguatkan Kembali Fungsi Negara

Oleh. Muhadam Labolo           Dua sosok terbaik dalam kompetisi pemilu presiden tahun ini setidaknya menjadi simbol atas dua problem utama bangsa, yaitu melebarnya dissosiasi antara yang memerintah dengan yang diperintah, serta melemahnya citra negara baik internal maupun eksternal. Jokowi mewakili jawaban atas problem pertama, sementara Prabowo tentu saja merepresentasikan jawaban terhadap soal kedua. Oleh karena Jokowi pada akhirnya menjadi pemenang akhir dalam pemilu itu, maka ada baiknya problem kedua menjadi agenda strategis yang mesti ikut diselesaikan pasca rekonsiliasi antara Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat. Bahasa damainya adalah ‘saatnya kita kibarkan merah putih menuju Indonesia hebat, salam tiga jari’ . Persoalan melebarnya jarak tampak dalam gejala hilangnya kepedulian pemerintah pada masyarakatnya. Apa yang dijanjikan berbeda dengan apa yang dilaksanakan. Sarana komunikasi baik formal maupun informal seperti tak berfungsi sama sekali. Masing-

Sirkulasi Pemerintahan dan Ancaman Kutukan

Oleh . Dr. Muhadam Labolo           Presentasi Nindya Wanita Praja Sucia atas buku Brenda Ralph Lewis, Sabtu, 4 Oktober 2014 di ruang Platos Institute IPDN Cilandak menggambarkan bahwa Raja dan Ratu Eropa di Abad Pertengahan memiliki sejarah gelap yang tidak saja gila dan menyeramkan, juga jauh dari standar moral bila dibandingkan dengan sejarah para Raja di wilayah Nusantara. Terlepas dari itu menurut saya para penulis asing lebih inklusif dalam mendeskripsikan sirkulasi kekuasaan yang penuh ambisi, dorongan seks maupun gelimang harta dibanding sejarah rotasi kekuasaan di tanah air.  Hampir sulit ditemukan penulis sejarah domestik yang berani menggambarkan realitas kelam para pemimpin nusantara dalam kompetisi atas tahta, harta dan wanita di abad pertengahan, kecuali mendekati masa orde baru sebagaimana catatan atas sejumlah kejahatan Orde Baru dimasa pemerintahan Soeharto. Dibandingkan dengan catatan Anthony Reid dalam buku Sumatera Tempo Doeloe , seperti dibedah oleh Nindya Pra

Konflik, Radikalisasi Agama, Pancasila dan Demokrasi, Sebuah Renungan Kemerdekaan

Oleh. Dr. Muhadam Labolo Diskusi bersama kawan-kawan di Pusat Kajian Strategis Kementrian Dalam Negeri tentang dinamika konflik di daerah, Jumat, pukul 09.00-11.00, 15 Agustus 2014 menarik untuk diperluas dalam catatan ringan ini. Maklum, pemerintah seperti baru sadar terhadap bahaya laten ekstrem kanan yang menambah daftar inventarisasi ancaman konflik di seantero negeri. Dalam benak saya terbayang benih-benih konflik baru yang kian menganga di depan mata. Frustasinya, semakin dipikirkan semakin kentara pokok, aliran dan akhir dari masalah konflik itu sendiri, yaitu pemerintah. Betapa tidak, secara struktural akhir dari pengaturan pemilihan legislatif melahirkan politisi bermasalah, akhir pengaturan pemilihan presiden melahirkan pemilih oplosan hingga adu pinalti di Mahkamah Konstitusi, akhir pengaturan aparat sipil negara menciptakan pemasungan hak-hak politik, akhir pengaturan kesehatan reproduksi melahirkan polemik tafsir legalitas aborsi antar sesama stakeholders , bahkan b

ISIS dan Lunturnya Peran Kelas Menengah

Oleh. Dr. Muhadam Labolo           Ditengah kecemasan dan kejenuhan sebagian kita soal akhir dari kompetisi politik dua pasangan capres di Mahkamah Konstitusi, kita didera pula oleh infiltrasi idiologi lewat Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS). Tampaknya tantangan presiden dan wapres terpilih bertambah panjang kali lebar, bukan sekedar memata-matai pemilik SPBU nakal yang menjual premium bersubsidi bagi kelas menengah (midle class) , namun lebih dari itu perlu waspada dan fokus memburu semua hal yang dapat menjadi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan bagi keberlanjutan pemerintahan. Semua pembangunan citra dalam style ‘turun lapangan’ sudah mesti di up-grade ke level pengembangan teknologi dunia maya bercorak ‘virtual blusukan’ , agar tetap terkorespondensi dengan kehendak nyata kelas bawah (grass root) sekaligus menangkal aktivitas cuci otak (brain wash) terhadap generasi muda. Maklum, seorang presiden bukanlah sosok walikota atau gubernur yang memiliki batas kewen

Menguji Kualitas Demokrasi Indonesia

oleh. Dr. Muhadam Labolo             Secara administratif, kalkulasi suara pilpres telah selesai kita peroleh. Secara hukum sedang berproses, dan mungkin saja Mahkamah Konstitusi sebagai pengadil akan memberikan tafsiran akhir apakah diterima, ditolak atau diulang sebagian dan atau seluruhnya. Kalaupun proses hukum selesai, masalah selanjutnya adalah apakah proses politik akan berkesudahan dengan sendirinya? Politik memang bukan soal matematika, ia bahkan menyentuh alam metafisik, dimana logika kuantitatif seringkali tak menemukan makna kualitatif. Kepuasan batin dalam kaca mata kualitatif lebih utama ketimbang kepuasan materi yang bersifat kuantitatif. Hukum dapat bergambar hitam putih, namun politik faktanya berwarna-warni. Boleh jadi sebagian besar publik dapat menerima capres terpilih berdasarkan kalkulasi Penyelenggara Pemilu dan Mahkamah Konstitusi, namun secara politik akseptabilitas capres terpilih tak sepenuhnya diterima secara kualitatif oleh sebagian yang lain. Alasann

Selamat Buat Presiden Terpilih

Pesta demokrasi lima tahunan telah usai. Bagi pemenang capres dan pendukungnya tentu saja patut berbangga tanpa berlebihan. Bagi yang tertunda dan pendukungnya penting belajar menerima semua kenyataan itu dengan lapang dada tanpa mesti mengotori pekarangan bundaran HI atau bagian vital lainnya. Bagi kita semua saatnya sadar untuk pilihan nomor tiga, yaitu Persatuan Indonesia sebagaimana ajakan berbagai lembaga pelerai konflik dan pencinta perdamaian abadi. Sekalipun pasangan presiden terpilih boleh jadi bukan harapan semua warga termasuk kaum golput, namun lebih dari lima puluh persen warga (53,15%) yang telah memberikan suaranya dianggap cukup mewakili secara absolute mayority dalam sistem demokrasi konstitusional Indonesia. Sebagai warga negara yang merupakan bagian dari kesatuan masyarakat hukum, kiranya layak menerima realitas itu sebagai amanah konstitusi lewat undang-undang pemilihan presiden dan wakil presiden. Bagi pemenang presiden dan wapres penting untuk dengan segera me