Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2013

Sterilisasi Desa dari Birokrasi Weber

Oleh. Dr. Muhadam Labolo           Dalam sepinya dialog tentang rekonstruksi undang-undang pemerintahan desa, kita tiba-tiba disodorkan draft yang menelikung eksistensi desa dari jaman Sriwijaya, Majapahit hingga   desa modern setelah 700 tahun kemudian. Meminjam sedikit lirik lagu Armada, mau dibawa kemana desa dalam konstruksi undang-undang itu? Soal desa sebagai satu kesatuan masyarakat hukum saya selalu merujuk pada aspek sosiologi hukum adat sebagaimana ditulis Ter Haar, Soepomo dan Van Vollenhoven. Karenanya, saya cenderung melihat desa sebagai satuan masyarakat sosial budaya daripada kesatuan masyarakat hukum sebagaimana tergambar dalam rancangan itu. Ter Haar membagi desa dalam kategorial desa geneologis, teritorial dan campuran keduanya. Desa geneologis lahir karena homogenitas sekumpulan individu dalam bentuk marga, serumpunan, sekeluarga atau semacamnya. Desa teritorial lahir menurut batas-batas administratif yang ditentukan oleh negara. Sedangkan kategori terakhi

Dimanakah Bakti Pamong Praja IPDN?

Oleh. Dr. Muhadam Labolo           Sebuah buku yang disarankan Gamawan Fauzi agar dibaca alumni pamongpraja pada sambutan IKPTK di Hotel Redtop pertengahan Desember 2012 patut dicari dan dipercakapkan jika ingin mendalami spirit dan wawasan kepamongprajaan dari Sabang hingga Merauke.  Buku dimaksud adalah Kenang-Kenangan Pangreh Praja 1920-1942, di sunting oleh Van Der Wal, cetakan Djambatan 2001 dengan pengantar jurnalis senior Rosihan Anwar. Buku ini tak diterbitkan lagi seperti juga buku Penemuan Hukum Adat ( De Ontdekking van het Adat Recht) tulisan tangan Prof. C. Van Vollenhoven.  Bagi alumni pangrehpraja lulusan Universitas Leiden dan Utrecht pastilah sempat di ajar oleh guru besar sekelas Van Vollenhoven, Van Poelje, Van Braz, Snouck Hurgronje dan Terhaar. Kebanyakan mereka pakar di bidang ilmu sosiologi dan antropologi, khususnya mengenai Indologie . Di perpustakaan IIP buku-buku mereka juga banyak yang sudah raib, kecuali satu dua yang telah diterjemahkan oleh Mang Re

Kearifan Lokal Sebagai Benteng Kultural

Oleh. Dr. Muhadam Labolo           Catatan Zainal Majdi (Gubernur NTB) dalam opini Republika, 21 Januari 2013 tentang Membangun Benteng Kultural menarik untuk didiskusikan. Selain konten masalah ini pernah saya presentasikan di Provinsi Papua tempo hari, juga menjadi konkrit ketika Wahana Bina Praja menggagasnya dalam seminar terbatas berjudul Aktualisasi Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam Mewujudkan Good Governance, Sabtu, 26 Januari 2013, pukul 09.00-11.00 di Aula Zamhier Islamy IPDN Cilandak . Saya pada dasarnya mendukung sepenuhnya aktivitas praja sekalipun paham mesti berhadapan dengan ketatnya lika-liku birokrasi. Seandainya lembaga ini benar-benar rela bertumpu pada aspek fungsionalnya, saya pikir banyak aktivitas positif yang dapat dilaksanakan praja tanpa terperangkap pada instalasi struktural dari pintu ke pintu.   Misalkan saja, kreativitas senat praja yang tulus melaksanakan seminar terbatas lewat pikiran dan modal tiga setengah juta rupiah, merupakan kerja akademik ya

Kebahagiaan dan Intoleransi Beragama

Oleh. Muhadam Labo           Pergeseran ukuran pembangunan kini menekankan pada variabel, dimensi hingga indikator yang bersifat intangible . Semua hal yang bernuansa abstrak seperti kebahagiaan hidup menjadi parameter untuk menentukan apakah seseorang atau suatu negara mencapai kebahagiaan hakiki atau sebaliknya. Variabel kemakmuran kini tidaklah semata-mata diletakkan pada dimensi terpenuhinya kebutuhan fisik seperti sandang, pangan dan papan. Mereka yang tampak kaya secara ekonomi di pandang belum tentu memperoleh kebahagiaan dalam makna sesungguhnya. Seseorang yang mengidap obesitas sepintas memiliki investasi kemakmuran, namun pada saat yang sama mengandung seribu satu macam resiko dari keafiatan jasmani seperti serangan jantung, darah tinggi, kolesterol hingga asam urat. Bahkan mereka yang menerima remunerasi hingga senyam-senyum memburu finger setiap pagi dan petang tak selalu bahagia ketika akhirnya istri dan anaknya kedodoran di antar-jemput dipinggiran jalan. Bagi seb