Membaca Penundaan Pemilu
Oleh. Muhadam Labolo Dialektika publik dipaksa berkerut lewat isu berskala besar, penundaan pemilu. Seksinya, ide liar itu dicurah-tumpahkan oleh satu dua elite. Mengalir deras menghantam tembok konstitusi, menguji konsensus politik, hingga membuat kembang-kempis pelaksana pesta demokrasi agar berpikir ulang konsekuensi logistik bila mungkin. Reasoning yang diajukan soal stabilitas ekonomi, ancaman ketidakpastian pandemi, serta desakan arus bawah. Bila itu alasannya tentu mudah dijawab lewat logika dan pengalaman empirik. Bukankah merancang jadwal pemilu adalah garansi bagi kepastian ekonomi. Tanpa itu masa depan ekonomi justru amburadul. Jika argumennya soal pandemi, bukankah status kita perlahan berubah menjadi endemi. Se- extrem apapun prediksi kita terkait itu, bukankah dengan percaya diri kita lewati pemilukada tahun 2020 dengan angka partisipasi politik mencapai 76,13%. Satu prestasi yang bahkan Amerika Serikat pun kagum. Bagaimana dengan tekanan arus bawah? Tentu terlalu bany