Postingan

Muchlis Hamdi, Kenangan Seorang Dosen Ikhlas

Oleh. Muhadam Labolo Apakah Muchlis Hamdi, pakar kebijakan publik masih mengajar di Manglayang? Tanya seorang dosen senior di UGM ketika suatu saat saya bertandang. Saya merasa bangga. Jauh-jauh kesana, rupanya ada yang kenal dosen kami. Sama halnya waktu terlibat penelitian singkat di IPB (2003), beberapa dosen bertanya masih adakah Prof. Talizi di IIP? Setidaknya saya merasa almamater menjadi bagian dari pergaulan akademik. Dihargai dan dihormati pada sisi intelektual yang kini semakin suram. Muchlis Hamdi konsisten dengan bidang ilmunya, kebijakan publik. Ia fokus pada kepadatan teori dan realitas empirik sebagai laboratorium yang terus dicermati.  Dimasa sekolah di IIP, saya menamatkan buku Bunga Rampai Pemerintahan. Mungkin itu magnum opus atas pemaknaan pemerintahan yang Ia pahami. Buku itu memengaruhi pondasi pemikiran pemerintahan sebelum menjejali buku berat Talizi. Edisi Yarsif Watampone itu sejajar dengan Makna Pemerintahan karya Ryaas di tahun 1999. Muchlis Hamdi guru besa

Sadu Wasistiono, Maestro Manajemen Pemerintahan

Oleh. Muhadam Labolo Akhir Januari 2024 Pak Sadu Wasistiono mengakhiri masa tugasnya di almamater, Kampus Manglayang. Ia guru besar bidang Manajemen Pemerintahan. Ia juga menggeluti isu-isu otonomi daerah pasca dibidani oleh Ryaas Rasyid dan kokinya, Djohermansyah Djohan.  Sadu diakui sebagai sedikit dosen IPDN yang konsisten mengembangkan manajemen pemerintahan hingga ke level praktikal. Ia malang melintang dari Sabang hingga Merauke. Membantu pemerintah daerah dalam urusan tata kelola pemerintahan. Saya bersentuhan kerja sejak beliau menjabat sebagai Kepala LPM di IPDN Jakarta. Ruangan saya bersebelahan. Kami kerja sampai sore hari. Saya mudah berdiskusi bila ada topik menarik. Di luar itu kami lebih sering bertemu di hotel. Ngamen sebagai narasumber kemana-mana. Tak sedikit daerah yang kami kunjungi, bersama Made Suwandi, Muchlis Hamdi dll. Pak Sadu salah satu pakar yang jernih menjelaskan sesuatu. Ia punya segudang jawaban untuk urusan tata kelola pemerintahan. Karenanya, Ia banyak

Ramadhan di Manglayang

Oleh. Muhadam Labolo Waktu masuk Ramadhan, praja belum libur. Bagian kerohanian memfasilitasi aktivitas praja buat puasa. Mulai tarwih, kultum, sahur, tadarusan, kajian, mabit, hingga i'tikaf di akhir Ramadhan. Tak sedikit praja yang menikmati ritus ibadah tahunan itu dengan semangat tinggi. Ada pula yang tak puasa, bahkan makan tulang. Untuk sahur disiapkan makanan tambahan. Ada bubur kacang ijo. Makanan mewah itu sebenarnya menu eklusif buat klub sepak bola Manglayang. Mereka benar-benar di service oleh manajernya, Pak Ifandi Hadi, dosen galak dan berkumis asal Jambi. Menu buka puasa biasanya ditambah kolak pisang. Waktu sahur, ada juga satu dua praja non muslim ikut gabung. Buat menghindari aerobik pagi. Bila ditanya alasannya sama, puasa. Tak beda dengan satu dua oknum muslim yang nyelip di bus Praja Kristiani. Mengaku ibadah mingguan di Gereja Alun-Alun Bandung. Padahal hanya ingin pesiar, atau ketemu kekasih gelap di Cicaheum. Untuk mengelabui pengecekan, mereka ganti papan

Korban Cacar Air dan Kerepe'an

Oleh. Muhadam Labolo Semua korban cacar air (versela) di isolasi ke KSA. Disitu seluruh pasien bintitan hitam-merah bercampur. Ada muda, madya hingga nindya. Dokter Soma tak membedakan pangkat. Bila status praja dinyatakan positif, langsung diperintah masuk KSA. Cacar air penyakit menular. Bisa lewat sentuhan kulit, dahak, liur dan lain-lain. Di atas bangunan KSA terdapat lab komputer. Ruangannya sempit hingga praja harus gantian saat praktek. Komputernya jadul. Tiap praja wajib mengingat simbol algoritma untuk bisa mengoperasikan dengan lancar. Praja dibekali disket di depan PC IBM, hafal mana _software_ dan _hardware._  Praja yang hafal dan cepat memainkan jari di depan komputer dinilai jenius. Pendek kata, siapa yang menguasai komputer dia sumber rujukan, sekalipun mata kuliah lain tetap saja _her_ (ujian ulang, Belanda; _herexamen)._ Praja paling takut bila tak lulus. Makanya Sistem Kebut Semalam berlaku di seantero barak.  Beberapa praja membuat kerepe'an. Resume itu dicopy b

Menjaga Kehormatan

Oleh. Muhadam Labolo Ketika Jendral Besar A.H Nasution menawarkan pangkat tituler Mayjend kepada Ulama Besar Buya Hamka atas jasanya memobilisasi perlawanan rakyat pada Belanda, Ia menolak. Alasannya sederhana. Ia hanya ingin fokus pada bidangnya, berdakwah dan menulis. Atas ketekunannya, Hamka di kenang sebagai sastrawan hebat, selain mewariskan Tafsir Al Azhar. Setahun lalu, Emil Salim diberikan penghargaan bergengsi Climate Hero Award dari Foreign Policy of Community Indonesia (FPCI). Ia menolak. Di atas panggung Emil beri tahu alasannya. Ia merasa gagal menjalankan konvensi Rio 1992. Sungguh, panitia tak menyangka, ada tokoh yang tak berkenan menerima simbol kehormatan di bidang itu. Emil bukannya tak mau dihormati. Nuraninya menolak penghargaan itu, bahkan mengakui sebaliknya, gagal menyelamatkan bumi dari kerusakan lingkungan. Sikap itu justru memosisikan Emil lebih terhormat. Mantan Dubes USA, Dino Patti Djalal menobatkan Emil sebagai tokoh yang memiliki integritas diantara tok

Mereparasi Kembali Mekanisme Pemilu

Oleh. Muhadam Labolo Catatan kritis Chris Komari (2024), aktivis demokrasi dan mantan anggota parlemen di Amerika menarik dicermati. Gagasan perlunya mereparasi kembali mekanisme demokrasi dari level pusat hingga daerah. Setidaknya perlu dipertimbangkan pasca pemilu 2024. Gagasan itu tak lain guna meredam distrust atas hasil demokrasi yang dicapai bangsa ini. Distrust hasil pemilu setidaknya berakumulasi pada indeks demokrasi. Hasilnya tetap stagnan di posisi cacat demokrasi (flawed democracy, 6,53). Demikian menurut EIU (2023). Nilai eksternal itu tentu saja di suntik oleh kelalaian tata kelola demokrasi internal. Dalam variabel tertentu kita boleh jadi mencengangkan. Ambil contoh tingkat partisipasi pemilih. Ironisnya, partisipasi politik itu bersifat semu. Kosong, seperti amplop yang tak ada isinya. Orang hanya butuh isinya, bukan amplopnya. Demokrasi kita terpasung disitu. Di asesoris, bukan di jiwanya. Di periferal, bukan di sentrum gravitasinya. Di prosedur, bukan di substansin

Menonton Dirty Vote Sebagai Warning

Oleh. Muhadam Labolo Dirty Vote, di anggap film dokumenter berjenis perjalanan. Perjalanan pemilu yang penuh liku, laku dan luka. Proses pemilu 2024 yang penuh liku itu mampu dilewati dengan melakukan berbagai laku hingga menuai luka dimana-mana. Luka itulah yang kini dipersoalkan sebagai satu hal yang dinilai cacat hukum dan etik dalam kerangka prosedur demokrasi. Dirty Vote , mungkin tak sepenuhnya bisa dikatakan film dokumenter. Ia peristiwa politik yang dirapikan para akademisi. Robert Flaherty pertama kali membuat film dokumenter tahun 1926 tentang cerita non-fiksi. Genre dokumenter biasanya sejarah, biografi, dan perjalanan peristiwa. Dirty Vote mengangkat topik perjalanan proses politik Indonesia menuju pemilu 2024.  Proses itu memperlihatkan bagaimana tahapan pemilu di desain sedemikian rupa hingga paslon tertentu tiba di titik kompetisi sebagai capres-cawapres. Narasi menampilkan bagaimana prosedur demokrasi di bajak lewat berbagai cara yang dinilai abnormal dan penuh kecura