Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2024

Demoralisasi Peradaban Bangsa

Oleh. Muhadam Labolo Demoralisasi peradaban bangsa kian mendekati tubir. Setidaknya dari lunturnya identitas berbangsa hari-hari ini. Demoralisasi menyentuh bagian sensitif perilaku, simbol, instrument, serta tujuan bernegara. Keseluruhan variabel itu ciri kebudayaan. Kebudayaan cermin peradaban. Peradaban maju atau mundur bergantung parameter tersebut. Setidaknya dengan membandingkan kualitas peradaban era Orla, Orba dan Reformasi. Perilaku berbangsa dipenetrasi oleh wabah korupsi. Korupsi bukan lagi penyakit kurap yang menjangkiti elit, kini menyentuh alit di lapis bawah. Dalam rentang 2005-2023 tercatat 449 kepala daerah/Waka, 503 anggota DPR/DPRD, 27 kepala lembaga/menteri, 5 ketua umum partai, serta 2.496 birokrat di buih (Prasodjo, 2024). Itu di luar setahun terakhir. Trend korupsi meningkat meski Indeks Persepsi Anti Korupsi turun 0,07 point (ICW, BPS, 2024). Demoralisasi etik kaum elit dipertontonkan tak hanya sekali. Setiap hari berkali-kali. Kasus Ketua KPK, MK, KPU, Menteri,

Mengaktifkan Etika

Oleh. Muhadam Labolo Sudah lama publik tak mendengar etika ditegakkan. Harapan itu ditambatkan berhubung hukum tak berfungsi (lawless). Hukum hanya menyentuh bagian landai seperti pencuri ayam, judi kecengan, hingga pemadat narkoba kelas teri. Lebih lagi bila hukum pilih buluh, mahal, berliku, bahkan dipenuhi penjaja hukum yang bersembunyi di rumah pengadilan. Ketika DKPP menjatuhkan hukuman etik kepada Ketua KPU Hasyim As'ary, moral publik seakan di cubit kembali. Putusan itu dinilai memuaskan, sekaligus menepis keraguan publik soal putusan akhir ketiga dan terakhir. Putusan itu juga pesan pada semua cabang kekuasaan yang memiliki badan-badan etik agar tak segan menjatuhkan sanksi etik untuk perbuatan amoral. Rasanya hampir semua cabang kekuasaan punya badan etik, tapi mandul dan sepi aksi. Legislatif punya Badan Kehormatan. KPK punya Dewan Etik. Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman punya dewan etik. Korporasi juga punya komisi etik. Bahkan di organisasi masyarakat sebagai represe

Negara dan Penderita Pajak

Oleh. Muhadam Labolo Mungkin tak ada yang paling menggelisahkan bagi warga dalam hidup bernegara, sejak dulu hingga kini, kecuali pajak. Sedemikian mencemaskan hingga pajak dan kematianlah yang paling menakutkan bagi warga Amerika. Pajak salah satu konsekuensi hidup bernegara.  Negara dan pajak ibarat dua sisi mata uang. Sulit dipisahkan. Semakmur apapun sebuah negara, rakyat menyisihkan sedikit-banyak keuntungan buat negara. Negara dengan pajak rendah lazim bergantung pada sumber daya alamnya. Sebaliknya, negara minus sumber daya alam bergantung pada pajak pendapatan warganya. Beberapa negara kaya di timur tengah bertumpu pada sumber daya alamnya. Itulah mengapa pungutan pajak ke warganya kecil seperti Qatar. Ada pula yang bersandar pada pendapatan warganya seperti Pantai Gading, Finlandia, dan Jepang. Bandingkan dengan Indonesia sebagai salah satu negara besar dengan kekayaan melimpah, pajak masih jadi keluhan. Tak ada cara paling efektif mengumpulkan pajak kecuali menadah pada rakya

Tambang Milik Siapa?

Oleh. Muhadam Labolo Rencana pemerintah membagi izin kelola tambang kepada organisasi masyarakat (ormas) tertentu menuai kritik. Bukan saja dari elemen masyarakat, juga sejumlah ormas itu sendiri. Ormas sekelas Muhammadiyah, PGI, NWDI, KWI, HKBP, dan PMKRI memperlihatkan sikap tegas, menolak.  Alasannya sederhana, ormas keagamaan semacam itu tak di desain untuk mengelola tambang, tapi lebih soal bagaimana mengelola kerukunan antar dan inter umat beragama. Bila ormas ikut mengurusi tambang, lalu siapa yang mengurus umat masing-masing? Jangan-jangan kementrian yang urus tambang juga kehilangan pekerjaan. Mungkin PBNU satu-satunya yang menerima dengan sukacita. Ormas PHDI butuh waktu untuk mengkaji. Alasan pemerintah, ormas telah memperlihatkan bakti yang panjang bagi nusa dan bangsa. Reasoning itu tentu sulit diterima, lantaran tak sedikit ormas punya kontribusi relatif sama bagi pemajuan bangsa ini.  Lagi pula, bila semua ormas menuntut hak yang sama, persoalannya mampukah pemerintah m