Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2024

Arah Pembangunan Pemerintahan

Oleh. Muhadam Labolo Kesadaran membangun pemerintahan tampak kian redup. Setidaknya tergambar dari tujuan yang mencemaskan, otoritas berkelebihan, relasi yang kurang kokoh, serta tata kelola layanan yang belum menyentuh akar masalah. Keempat variabel itu merujuk pada nilai penting pemerintahan (Wasistiono, 2023). Tujuan jangka panjang yang diimajinasikan belum tergambar secara konsisten. Apa yang berserakan dimasa transisi kecuali pemenuhan instant bagi generasi belia, makan siang gratis. Tujuan belum menyentuh lanskap yang luas, kemakmuran kolektif untuk kurang lebih 289 juta populasi. Selebihnya bagaimana posisi bangsa di tengah dinamika geopolitik. Pertama, kemakmuran mesti dirasakan mayoritas. Demikian amanah konstitusi. Bukan semata para pengusung, timses, pemandu sorak, _influenzer & buzzer._ Bila kemenangan selesai dengan hanya balas budi transaksional pada elit, rasanya suara rakyat tak berarti apa-apa, alias kehilangan daulat. Lapis atas menikmati kemewahan kuasa, level ba

Krisis Global dan Minimnya Panduan Ilmu Politik

Oleh. Muhadam Labolo Krisis global kini menandai gerak sebagian dunia. Setidaknya pada rasialisme, lingkungan, dan kekuasaan. Rasialisme menguat kembali pada sejumlah komunitas akibat meningkatnya dominasi kelompok. Lebensraum menjadi alasan meluapnya populasi dan migrasi hingga menghimpit komunitas minoritas dan pribumi. Eksesnya perambahan dan deforestasi. Krisis lingkungan menandai dua dekade terakhir. Sedemikian parahnya hingga begawan sekelas Emil Salim (2023) tak sudi menerima penghargaan lingkungan karena gagal mengantisipasinya. Sumber daya alam kini menjadi semacam alat tukar dengan kuasa jangka pendek. Lingkungan sebagai penopang hidup kehilangan arti bagi kelangsungan ekosistem.  Kedua krisis tersebut ditengarai bersumber dari kompetisi kuasa. Inilah krisis yang meluas dari global ke tingkat lokal. Hasrat berkuasa tak hanya mendorong peminggiran, lokalisasi, bahkan genoside. Mereka yang lemah diperangi, diintimidasi, dikucilkan dalam sistem sosial bernegara. Beberapa negar

Menyudahi Begal Konstitusi

Oleh. Muhadam Labolo Kekuatan-kekuatan politik yang dulu senyap kini digelitik oleh aksi begal konstitusi wakil rakyat. Putusan hukum tertinggi pilkada sebagai benteng terakhir sengaja dimanipulasi. Para pembegal seakan memilih yang sunnah dan mengecualikan yang wajib demi memproteksi masa depan kuasa anak raja.  Kekuasaan membegal konstitusi patut dihentikan. Ia melukai hati rakyat. Peluang rakyat berkompetisi di suntik mati. Ruang tanding dikuasai dinasti dan oligarki. Untuk apa berdemokrasi bila semua pintu ditutup, bahkan di konci rapat. Bukankah lebih tepat kita ber-monarki ria. Tak perlu kompetisi dengan hanya melawan kotak kosong. Agar kuasa tiran tak mengubur demokrasi hidup-hidup, Ia hanya mungkin bila dikontrol, dibagi, dan diinstitusionalisasikan (Foucault, 1926). Masalahnya, institusi pengontrol mengalami kebuntuan karena ada dalam pekarangan koalisi. Pemilik daulat terpaksa turun dan mengingatkan. Mereka lupa bahwa daulat di tangan rakyat. Hanya dititip sementara dan bole