Arah Pembangunan Pemerintahan

Oleh. Muhadam Labolo

Kesadaran membangun pemerintahan tampak kian redup. Setidaknya tergambar dari tujuan yang mencemaskan, otoritas berkelebihan, relasi yang kurang kokoh, serta tata kelola layanan yang belum menyentuh akar masalah. Keempat variabel itu merujuk pada nilai penting pemerintahan (Wasistiono, 2023).

Tujuan jangka panjang yang diimajinasikan belum tergambar secara konsisten. Apa yang berserakan dimasa transisi kecuali pemenuhan instant bagi generasi belia, makan siang gratis. Tujuan belum menyentuh lanskap yang luas, kemakmuran kolektif untuk kurang lebih 289 juta populasi. Selebihnya bagaimana posisi bangsa di tengah dinamika geopolitik.

Pertama, kemakmuran mesti dirasakan mayoritas. Demikian amanah konstitusi. Bukan semata para pengusung, timses, pemandu sorak, _influenzer & buzzer._ Bila kemenangan selesai dengan hanya balas budi transaksional pada elit, rasanya suara rakyat tak berarti apa-apa, alias kehilangan daulat. Lapis atas menikmati kemewahan kuasa, level bawah cukup menelan permen (bansos).

Singapura, India, Korea dan China punya tujuan jangka panjang. One Belt One Road misalnya. Sebuah ambisi menjamin perut 1,5 milyar rakyat sekaligus menegaskan posisinya secara geopolitik. Terlepas cara menjadi sumber kegelisahan bagi negara-negara yang bersentuhan, tapi itulah visi dengan problem utama, over populasi.

Memahami itu, problem bangsa selayaknya dapat diidentifikasi secermat mungkin. Residu pemerintahan sebelumnya bisa menjadi acuan untuk merancang tujuan pada level makro hingga mikro. Ambil contoh delapan belas problem utama pemerintahan yang dikemukakan Tempo (2024). Bukan mengulang kritik nawacita vs nawadosa. Tentu saja termasuk kemiskinan ekstrem, stunting, inflasi, dan investasi.

Kedua, pembangunan pemerintahan mesti difokuskan pada penertiban kuasa. Pada level selanjutnya adalah kewenangan, urusan, program, hingga kegiatan yang lebih fokus dan clearly. Membiasakan kekuasaan tak dilembagakan dengan baik sama artinya menurunkan potensi penggunaan kewenangan secara serampangan (fraud).

Indikasinya dengan mudah ditemukan dimana organ kekuasaan saling mencaplok, membonsai, bahkan mendelegetimasi kewenangan. Eksesnya hilangnya kepercayaan masyarakat pada otoritas sebagai penegas kepastian hukum. Wewenang mesti ditertibkan agar tak menyuburkan konflik baik vertikal maupun horisontal. 

Ketiga, relasi pemerintahan mesti dibangun bukan hanya kepada basis pemenang. Mereka yang kalah pun bagian dari yang akan diperintah. Dengan demikian posisi setiap warga negara sama dihadapan pemerintah. Relasi itu mesti dikuatkan agar pemerintah menjadi aset kolektif, bukan milik warna tertentu. Pemerintahan produk masyarakat dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Keempat, pembangunan pemerintahan perlu diarahkan pada penguatan tata kelola pelayanan. Realitas menunjukkan bahwa layanan pada sejumlah sektor vital belum sepenuhnya memperlihatkan kemakmuran. Salah satunya pemenuhan fungsi primer. Angka-angka statistik tak banyak menggembirakan dalam 10 tahun terakhir. Setidaknya pada aspek pendidikan, kesehatan, dan pertumbuhan ekonomi.

Menimbang semua itu, arah pembangunan pemerintahan kedepan harus mampu memperlihatkan konstruksi rumah tangga negara yang kuat, dengan pilar utama relasi antara pemerintah dan yang diperintah. Darisanalah tumbuh amanah (kuasa) untuk mengejawantahkan tujuan konstitusional lewat tata kelola pemerintahan yang semakin baik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Memosisikan Mahakarya Kybernologi Sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia[1]

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian