Memahami Kembali Kepamongprajaan
Oleh. Muhadam Labolo
Banyak orang lupa dengan istilah Pamongpraja. Termasuk mereka yang sejak awal memilih profesi sebagai Pamongpraja. Kepamongprajaan sendiri memiliki makna yang kompleks jika dibandingkan dengan istilah Pamongpraja. Pamongpraja secara sempit merujuk pada personifikasi tertentu.
Kepamongprajaan meliputi sejarah, organisasi, kebijakan, fungsi, nilai, dan profesi. Catatan singkat ini setidaknya dapat menjelaskan eksistensi Pamongpraja yang dalam perjalanannya mengalami pasang-surut. Dinamika tersebut lebih karena perubahan kebijakan pada setiap rezim.
Pertama, secara etimologis, Pamongpraja terdiri dari Pamong dan Praja. Pamong bermakna mengasuh (ngemong), membimbing dan mengarahkan. Makna ini menekankan pentingnya kedewasaan dalam relasi antara yang dituakan dengan kaum muda. Dalam dunia pendidikan jamak ditemukan hubungan senior-yunior untuk mentransformasikan nilai-nilai leadership.
Dua istilah lain yang sepadan pernah muncul seperti Pagarpraja dan Pangrehpraja. Yang pertama dimaknai pembatas, atau pelindung. Yang kedua berasosiasi dengan pemerintah sebagai subjek. Reh dalam lisan Jawa berarti memerintah (ngereh).
Kata ngereh diadaptasi dari Belanda. Recht, artinya aturan atau hukum. Aturan pada dasarnya dibuat pemerintah. Jadi istilah Pangreh lazim bersentuhan dengan hal-ikhwal pemerintahan. Pamong sering pula diidentikkan dengan syarat kemampuan pemimpin untuk bicara (ngomong), dan kemampuan mengendalikan kritik sebagai pemimpin (diomongin).
Kata Praja menurut kamus berkenaan dengan kota, desa, kesatuan masyarakat, maupun pelayan masyarakat. Jadi, Pamongpraja dapat diartikan seorang pelayan/pemimpin dalam pemerintahan yang memiliki tugas mengasuh, membimbing, serta memiliki kemampuan berkomunikasi dan mengelola aspirasi masyarakat.
Kedua, secara historis Pamongpraja lahir bersamaan dengan munculnya para penguasa di Jawa. Mereka bertugas melayani penguasa dan hidup sebagai birokrat dilingkungan pemerintahan. Jejaknya dapat dilacak di Kesultanan Jogjakarta. Kalaupun ada di tempat lain, mungkin dengan istilah berbeda tapi bukan Pamongpraja.
Mereka menjadi tulang punggung penguasa atau semacam birokrat traditional yang di sebut abdi dalem. Mereka rela mengorbankan hidupnya demi loyalitas tunggal kepada pemimpin tanpa pamrih. Melayani raja tentu saja tak ternilai disamping hak privilage yang menyertainya.
Pamongpraja dalam perspektif historis dimaknai sebagai pelayan atau pemimpin kelas menengah dalam birokrasi (feodal) yang memiliki loyalitas tunggal bagi kepentingan penguasa/pemerintah. Pamongpraja dimasa itu (pra-kemerdekaan) memiliki keistimewaan sebagai bagian dari penguasa.
Ketiga, Korps Pamongpraja salah satu organ struktural dalam lapisan birokrasi khas Indonesia. Organisasi Pamongpraja tak jarang diidentifikasi sebagai polisi pamongpraja. Organ ini bertugas menciptakan ketentraman dan ketertiban umum dan penegak kebijakan (perda) di tingkat lokal. Instrumennya di sebut Satuan Polisi Pamongpraja.
Keempat, Pamongpraja adalah produk kebijakan sejak UU 5/1974 Tentang Pokok-Pokok Pemda di Indonesia. Dimasa lalu, Pamongpraja adalah aktor yang melaksanakan urusan pemerintahan umum (algemene bestuuren) di daerah. Cakupan subjeknya luas, termasuk presiden, gubernur, bupati/walikota, camat dan lurah melalui jalur dekonsentratif.
Sayangnya, eksistensi Pamongpraja kehilangan pijakan sejak runtuhnya orba. Kebijakn desentralisasi lewat UU 22/1999 hanya menyisakan Lembaga Pendidikan Pamongpraja. Mereka yang lulus dari lemdik tersebut sejauh ini masih menyandang sebutan Pamongpraja Muda sebagaimana dikukuhkan oleh kepala negara.
Pendidikan Pamongpraja faktanya jauh lebih tua. Sebelum Indonesia merdeka, diawali terbentuknya OSVIA dan MOSVIA oleh Belanda (1911). Setelah kemerdekaan di bentuk KDC, APDN, IIP, STPDN, hingga transformasinya IPDN. Banyak tokoh penting lulusan pendidikan Pamongpraja yang menjadi bagian dari sejarah perjuangan bangsa.
Sebut saja HOS. Tjokroaminoto, tokoh Syarikat Islam (SI), Sutardjo Arthohadikusumo (anggota Boedi Utomo), Halim Perdanakusuma (tokoh AU), atau RM. Margono Djodjohadikusumo (kakek Prabowo). Di masa orde baru terdapat Moerdiono (mantan mensesneg) dan Prof. Selo Sumardjan (sosiolog nasional UI).
Kelima, secara fungsional Pamongpraja adalah sosok pemimpin yang melaksanakan tugas pemerintahan umum di daerah. Pamongpraja dapat dipilih dan diangkat sesuai kebutuhan yang dapat ditempatkan di pusat dan daerah. Fungsinya kini meluas seiring perubahan kebijakan yang menjadikannya bagian dari birokrasi modern.
Pamongpraja secara fungsional merupakan sosok pengintegrasi bangsa, berfungsi menghubungkan antara yang memerintah dan yang diperintah, serta melayani masyarakat dilapangan pemerintahan. Menimbang luasnya tanggungjawab, mereka dibekali kemampuan generalis-spesialis.
Dimasa lalu, Pamongpraja memiliki seperangkat nilai yang menjadi panduan dalam menjalankan tugas. Dalam kitab kuno Kepemimpinan Jawa (Serat Wulang Reh), nilai-nilai Pamongpraja diadaptasi dari delapan kepemimpinan alam (asthabrata).
Lepas dari itu Ndraha (2001) mengabstraksi menjadi sebelas nilai utama yaitu visioner, omni presence, conducting, peace making, coordinating, residu caring, turbulance serving, freez ermessen, generalis-specialist function, responsbility, dan magnanimous thinking.
Keenam, dewasa ini peran Pamongpraja mengalami pergeseran sekalipun posisinya tetap berada diantara elit dan alit. Pamongpraja merupakan profesi yang berfungsi melaksanakan tugas pemerintah di daerah (tugas pemerintahan umum), memiliki nilai sebagai karakteristik, dan bagian dari birokrasi yang melayani masyarakat, mediator, serta pengintegrasi bangsa.
Komentar
Posting Komentar