Mempersoalkan Kembali Efektivitas Ilmu Pemerintahan

Oleh. Muhadam Labolo

Ada saatnya kita renungkan kembali tentang seberapa efektif ilmu pemerintahan menjawab problem pemerintahan hari-hari ini yang kian berat menimpa ruang-ruang pemerintahan. Problem itu tak hanya menyenggol institusi pemerintahan, juga mengabur tipis fungsinya, membatasi interaksinya, mengurangi otoritasnya, bahkan menumpulkan seninya. Pertanyaan sederhananya, masih efektifkah ilmu pemerintahan hadir untuk menengahi semua itu? Setidaknya, sejauhmana Ia turut berkontribusi?

Ketika orde baru jatuh di awal 1998, kita menyaksikan betapa ilmu-ilmu sosial seperti politik, administrasi dan hukum kehilangan muka memproyeksi kerapuhan rezim tersebut. Disisi lain dengan percaya diri ilmu pemerintahan hadir seraya merekonstruksi diri sebagai alternatif jawaban. Dalam masa itu Ia sibuk memberi jawaban akademik dan praktikal. Dengan cara hibrida dan eklektis, jawaban akademik disodorkan sembari memperkuat model-model pemerintahan secara aksiologik.

Problem pemerintahan sering berhadapan dengan fenomena yang sifatnya sekali lalu (insidentil) dan atau berulang (daily. Yang pertama membutuhkan pendekatan asimetrik (cash study), yang kedua perlu pendekatan simetrik. Semacam kunci khusus untuk setiap kasus. Bukan Kunci Inggris untuk semua jenis pintu. Persoalan berulang kini dengan mudah dijawab melalui algoritma artificial intelligent. Ia bahkan memiliki kemampuan berlipat dibanding jawaban pemerintah sekalipun (big data).

Pada objek materinya, yang selalu dipersoalkan berkaitan dengan penggunaan konsep-konsep konkrit seperti kewenangan, pelayanan, relasi, dan tujuan dari beroperasinya lembaga-lembaga pemerintahan (Wasistiono, 2023). Pada objek formalnya sangat sering dipercakapkan kelaikan dari konsep-konsep abstrak yang diadaptasi seperti kekuasaan, legitimasi, atau eksistensi pemerintahan (Ndraha, 2002). Kedua objek tersebut dijawab lewat argument ontologik, epistemologik, dan aksiologik.

Secara umum, pertanyaan akademik ditujukan pada seberapa penting lembaga-lembaga dan pemerintahan itu sendiri (government), apakah Ia berfungsi (governing), seberapa besar kewenangannya (governability), bagaimana Ia berinteraksi (governance), serta bagaimana Ia sebagai aktor berselancar secara etik dan estetik di ruang publik (governmentality). Pertanyaan-pertanyaan itu dijawab dengan memahami latar dekolonisasi ilmu pemerintahan (Sutoro, 2021).

Teori klasik seperti Roosevelt (1841) dan Blakelsee (1876) yang menulis government science menempatkan pemerintahan sebagai satu-satunya institusi pengatur telah lama ditinggalkan bersamaan dengan menguatnya subkultur sosial dan ekonomi dimasa Revolusi Perancis (1789-1799). Implikasinya institusi pemerintahan mengalami diferensiasi akibat menguatnya kekuatan politik, khususnya pada tiga cabang kekuasaan secara horisontal (Locke & Montesqueu).

Lebih dari itu fungsi-fungsi pemerintahan yang selama ini menjadi tanggungjawab tunggal pemerintah dalam ragam monarkhi tidak dapat dituntut semata. Dalam sistem yang meletakkan kedaulatan di tangan rakyat, pemerintah tak lain produk nyata dari subkultur sosial dan ekonomi. Faktanya tanpa suara (voice) dan modal (capital) pemerintah praktis tak ada. Relasi ini menguatkan tesis awal hubungan antara pemerintah dan yang memerintah sebagai akar dari pohon besar ilmu pemerintahan (kybernologi).

Teori pemerintahan klasik yang di topang kedaulatan Tuhan (teokrasi) dan tradisi (monarchi) berangsur ditinggalkan. Para pengagum demokrasi mengukuhkan dominasinya lewat slogan daulat rakyat.  Sekalipun konsep itu penuh luka pada level praksis, mayoritas pemerintahan di dunia beradaptasi lewat varian dan mekanisme yang dijustifikasi memenuhi esensi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (Lincoln, 1865). Mekanisme one man one vote dan fox populi fox dei diwujudkan melalui pilihan mekanisme demokrasi.

Kritik terhadap daulat Tuhan penuh kesucian dan sakral. Namun kekuasaan yang tak terbatas itu mudah dikhianati aktor dengan dan atas nama Tuhan. Absolutisme teokratik yang dipikirkan Agustinus hingga Hobbes sulit di kontrol. Tuhan tak mungkin diawasi, apalagi di kritik. Masalahnya ketiadaan kritik mengakibatkan banyak Tuhan berubah wajah menjadi Tiran. Hanya sedikit pemerintahan baik yang mampu dikendalikan oleh spiritualitas-religi. Religi kemudian dipisahkan dari persoalan pemerintahan (sekularisasi).

Agar kekuasaan yang dijalankan pemerintah (governability) dapat di kontrol oleh pemiliknya, pemikir era modern seperti Michel Foucalt (1926-1984) menyarankan tak hanya perlu dibagi secara horisontal sebagaimana gagasan pemikir klasik Locke, Rousseau, Montesqueu dan Kant, juga diinstitusionalisasikan dan didesentralisasikan agar terjadi pemencaran guna menghindari penumpukan kuasa di satu pihak. Kini, kuasa yang tercemar polusi popularitas berubah menjadi demagog yang meresentralisasi.

Kekuasaan dalam berbagai bentuknya seperti kewenangan dan urusan perlu didesentralisasikan. Bahkan lebih dari itu kekuasaan perlu dilembagakan. Tanpa itu, kekuasaan dengan segala atributnya mudah kehilangan pijakan, sentralistik dan sewenang-wenang. Terlalu sering kita menemukan bagaimana pemerintah bertindak sewenang-wenang untuk mencapai tujuan jangka pendek. Tak hanya itu, pun terlilit perilaku mencampuradukkan wewenang, selain melampaui wewenang yang diberikan.

Dalam sifatnya yang monopolistik, mempertahankan, dan memperluas, kekuasaan dan wewenang sering dimanipulasi agar dapat mengatur segala perkara, bila perlu wilayah domestik yang selama ini menjadi bilik private. Kekuasaan menggoda untuk dipertahankan dari satu periode, dua periode, tiga periode hingga seumur hidup. Bahkan jauh sebelum proses sirkulasi diadakan, pemegang kekuasaan ditentukan. Dalam sifatnya memperluas, kekuasaan menjadi wadah inkubasi bagi keluarga dekat (dinasti-nepotisme).

Dengan tiga strategi itu, kekuasaan pemerintah dapat dikendalikan agar tak sewenang-wenang. Tanpa kontrol, kekuasaan pemerintah dapat meluber hingga memagari laut, darat dan udara. Tanpa pelembagaan kekuasaan, bumi, air dan kekayaan alam dapat menjadi hak milik individu dan kelompok. Tanpa desentralisasi, kekuasaan pemerintah berubah menjadi sentralistik yang membatasi peran pemerintah daerah dan masyarakat lokal. Kecenderungan itu tampak menguat pasca kenekatan otonomi daerah selama 15 tahun terakhir dinilai menjadi gangguan bagi kepentingan pemerintah, khususnya investasi dan akselerasi perencanaan nasional.

Dalam konteks itu pola relasi pemerintah (governance) perlu ditata sedemikian rupa agar tak semata bersifat serba kepentingan pusat yang hirarkhis top-down. Kebijakan efisiensi dengan teknik pukul-rata termasuk dropping pejabat adalah sedikit indikasi. Karakteristik Weberian yang tuna fungsionalisasi mengembalikan kecenderungan birokrasi ke sifat strukturalistik dan formalistik (kaku dan robotik). Kondisi itu membuat pemerintah kesulitan melakukan agility dan cenderung kehilangan fleksibilitas sebagai ciri pemerintahan modern yang adaptif teknologi.

Kekakuan kini runtuh bersamaan dengan munculnya teknologi digital yang memaksa pemerintah mesti membuka diri (revolusi 4.0). Dunia menjadi lebih terang dengan sekat tipis (transparansi). Pemerintah yang terus bergantung pada dokumen hardcopy untuk dievaluasi seperti menunggu nasib menjadi Dinosaurus. Kekuatan elemen swasta dan civil society melampaui kemampuan pemerintah beradaptasi dengan perubahan yang dinamis. Mereka hampir menelan semua fungsi-fungsi pemerintahan.

Dampak dari semua itu menjadikan kebenaran bukan satu-satunya otoritas pemerintah. Realitas post truth telah mengaburkan batas-batas kebenaran. Beruntungnya pemerintah merupakan institusi yang memiliki sumber daya lebih dibanding kekuataan lain sehingga dengan mudah memproduksi kebenaran untuk tidak dikatakan kebohongan baru (hoax). Tak heran bila pemerintah menjadi satu-satunya produsen hoax paling sempurna sehingga sulit membedakan mana projek strategis nasional dan mana projek oligarkhi.

Kewenangan pemerintah seperti susut oleh kekuasaan yang terdistribusi. Untuk menengahi Pagar Laut misalnya, publik mesti merengut dahi, siapa yang berkewenangan? Apakah pemerintah, swasta, ataukah rakyat dalam bingkai berpemerintahan. Fungsi-fungsi ekonomi pemerintah dalam kerangka distribusi dan alokasi semakin besar. Sementara kemampuan stabilisasi mengecil seperti balon yang kempes karena efek pembesaran pada fungsi distribusi dan alokasi. Dalam istilah Rondinelli (1943-2007), privatisasi yang berlebihan.

Pada aras praktikal, pemerintah kehilangan keterampilan dan seni mengatasi dinamika persoalan yang berdesakan (governmentality). Mereka yang hanya duduk dibangku singgasana seperti raja tak laku dibanding mereka yang turun ke gorong-gorong. Kemajuan teknologi informasi kini mampu menyulap manusia jadi malaikat. Fakta tak ada artinya tanpa polesan teknologi. Publik digugah lewat tiktok, whats up, twitter, line, hingga beragam aplikasi media sosial. Kebenaran menjadi samar-samar.  

Realitas kini menuntut pesona ketimbang bukti. Ini pula yang dieksploitasi lewat politik pencitraan dalam 10 tahun terakhir. Keterampilan dan seni pemerintahan yang mahal dan bernilai tinggi tak jarang digunakan untuk menyamarkan kejahatan lewat tenaga pendengung buzzer dan influencer. Eksistensi warga negara raib dalam dunia nyata menjadi warga maya (netizen). Arus utama bergantung pada influenzer ketimbang berharap pada otoritas seorang menteri yang miskin followers. Kualitas aktor pemerintahan rasanya sebanding dengan kuantitas bansos, susu dan sebangsanya.

Efektivitas ilmu pemerintahan yang ditopang kuat oleh ilmu politik, hukum, dan administrasi (tanpa mengecualikan kontribusi ilmu pengetahuan lain) secara eklektik dengan pendekatan multi, antar dan interdisipliner membutuhkan keberanian untuk menyajikan hasil-hasil epistemologis ke pergumulan pemerintahan yang tidak saja berupa jawaban akademik, juga strategis dan taktikal. Kritik teori sekaligus upaya penyempurnaannya patut dimunculkan selain model-model praktis yang kiranya relevan untuk digeneralisasi (limited generalization).

Sayangnya pemahaman pembelajar pemerintahan terhadap perkembangan konsep-konsep utama seperti government, governing, governance, governability & governmetality sebagai objek material dan formalnya mati suri. Sebagai contoh, produksi ilmuan pemerintahan di level pasca sarjana IPDN yang mencapai lebih dari 317 doktor selama 10 tahun terakhir belum mampu bertransformasi ke lapangan pemerintahan. Sekolah pasca tak lebih sebagai industri pendidikan yang berorientasi business oriented ketimbang melahirkan manfaat bagi aktor dan lingkungan pemerintahan.

Manfaat dalam arti signifikan setidaknya ditunjukkan oleh semakin baiknya para aktor pemerintahan lewat indikasi melandainya angka korupsi sebagai musuh kolektif (common enemy). Pada keberfaedahan luas yaitu meningkatnya kesejahteraan sebagai limpahan atas inovasi maupun penerapan model-model pemerintahan yang dirasakan langsung oleh lingkungan organisasi dan masyarakat luas. Disinilah kontribusi dan efektivitas ilmu pemerintahan diperlihatkan melalui fungsi akademiknya, baik kedalam (inward looking) maupun keluar (outward looking).

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian